25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Dan, Adzan Berkumandang di Puncak Gunung

Foto: Puput Damanik/Sumut Pos Pemandangan dari atas Gunung Sorik Merapi, Madina.
Foto: Puput Damanik/Sumut Pos
Pemandangan dari atas Gunung Sorik Merapi, Madina.

Puput Julianti Damanik, Madina

 

Tiba saatnya waktu yang ditunggu-tunggu. Mendaki Gunung Sorik Merapi. Seharian memutari Desa Sibanggor Julu memang belum puas, tapi lebih akan mengganjal bila puncak itu, Sorik Merapi, belum didaki. Semua perkakas mendaki pun kami siapkan.

Tapi sayang, beberapa jam sebelum mendaki, kami kembali diingatkan. Peraturan untuk perempuan kembali dikeluarkan. Yah, perempuan dilarang ikut mendaki gunung berapi aktif tersebut.

Alasan perempuan dilarang mendaki gunung ini tak jauh dari alasan melarang perempuan keluar rumah setelah adzan magrib. “Wanita adalah makluk yang lemah sehingga harus ada yang menjaganya saat mendaki, dan menjaga hal yang tak diinginkan karena bukan muhrim, maka larangan tersebut diberlakukan,” ujar Sekdes M Sein Lubis saat mengunjungi kami di rumah Basarrudin Nasution.

Dari kelompok, akhirnya hanya Mawan dan Bani dari Sohib Nature yang berangkat. Mereka tak sendiri, karena ada 2 ranger yang menemani. Mereka pun akhirnya rela menceritakan seluruh pengalaman mendakinya.

Para pendaki berangkat sekitar pukul 01.00 WIB. Jam tersebut dipilih agar sunrise dapat terlihat di puncak. Beberapa rute untuk sampai di puncak cukup terjal, sekitar 80 derajat. Namun rasa lelah mendaki seketika hilang saat banyaknya tumbuhan dan hewan unik di sepanjang jalan. Begitulah kisah Mawan yang saat itu ikut mendaki.

“Ada kantung semar, anggrek, raflessia arnoldi dan ada juga tumbuhan obat-obatan seperti kunyit, jahe, kencur, dan lainnya. Ada pula hewan-hewan kecil seperti serangga dan burung,” kata Mawan semangat.

Lanjutnya, menurut warga, hewan lainnya seperti kambing hutan, tapir, kucing hutan, binturong, macan akar,harimau, beruang madu, rusa, kijang, landang, burung renggok, dan hewan langka lainnya masih ada di hutan tersebut. “Katanya memang masih ada, tapi kami gak ketemu saat ke atas,” ujar Mawan.

Banyak hal menarik lainnya yang disampaikan Mawan. Namun, hal paling berkesan adalah saat sang ranger melafaskan adzan di puncak Sorik Merapi. Sujud syukur karena masih diberi keselamatan juga dilakukan mereka.

Yah, seorang pendaki memang disarankan untuk melakukan adzan saat mau memulai daki ataupun setelah sampai di puncak. “Tidak ada perintah khusus, hanya saja beberapa pendaki yang melakukannya merasa perjalanan akan semakin ringan. Ini hanya tradisi,” ujar Sein menambahkan.

Kelelahan akhirnya terbayar saat melihat keindahan alam dari puncak Sorik Merapi yang ditempuh sekitar 4 jam lamanya. “Semua lelah terbayar saat berada di atas. Hal pertama yang kami lakukan bersujud kemudian adzan. Ranger kami yang saat itu adzan,” ujar Mawan.

Tambahnya, di puncak Sorik Merapi terdapat sebuah danau seperti puncak Gunung Ranjani. Danau itu pun, dipercaya sebagai danau tertinggi di Sumatera Utara (Sumut) dan menghasilkan belerang. Sorik Merapi ternyata juga telah didaki oleh pendaki-pendaki dari luar Indonesia. Seperti dari Jepang, Prancis, maupun negara Eropa lainnya.

“Banyak juga dari luar negeri atau orang bule yang datang kemari untuk mendaki. Tapi lagi-lagi memang di antaranya tidak diberi izin naik karena perempuan,” kata Sein.

Saat menanti rekan kami mendaki, kami pun memutuskan untuk mengelilingi Desa Sibanggor Julu hingga ke Desa Sibanggor Tonga. Ternyata keindahan alam tak sampai di situ saja, kami juga menemukan tempat pemandian air belerang, namun sayangnya tempat pemandian tersebut belum dikelolah dengan baik. Kamar mandi yang tersedia begitu kotor, begitu juga dengan seluruh kawasan yang ada.

Dua hari setelah berada di Sibanggor Julu memberikan kesan tersendiri. Masyarakatnya yang ramah, udaranya dingin, anginnya yang hangat-hangat kukuh merupakan kenangan yang berharga. Tak banyak, kami hanya berharap bisa kembali kemari dan dengan membawa sesuatu yang bisa berharga bagi Desa Sibanggor Julu.

“Setidaknya, kita bisa menjadi keluarga. Kami juga berharap dapat kembali lagi kemari dengan membawa lebih banyak lagi masyarakat Sumut atau luar negeri agar Desa Sibanggor Julu menjadi desa tujuan wisata,” ujar Mawan kepada Sein dan keluarga Basaruddin saat akan pamitan setelah selesai mendaki gunung. (rbb)

Foto: Puput Damanik/Sumut Pos Pemandangan dari atas Gunung Sorik Merapi, Madina.
Foto: Puput Damanik/Sumut Pos
Pemandangan dari atas Gunung Sorik Merapi, Madina.

Puput Julianti Damanik, Madina

 

Tiba saatnya waktu yang ditunggu-tunggu. Mendaki Gunung Sorik Merapi. Seharian memutari Desa Sibanggor Julu memang belum puas, tapi lebih akan mengganjal bila puncak itu, Sorik Merapi, belum didaki. Semua perkakas mendaki pun kami siapkan.

Tapi sayang, beberapa jam sebelum mendaki, kami kembali diingatkan. Peraturan untuk perempuan kembali dikeluarkan. Yah, perempuan dilarang ikut mendaki gunung berapi aktif tersebut.

Alasan perempuan dilarang mendaki gunung ini tak jauh dari alasan melarang perempuan keluar rumah setelah adzan magrib. “Wanita adalah makluk yang lemah sehingga harus ada yang menjaganya saat mendaki, dan menjaga hal yang tak diinginkan karena bukan muhrim, maka larangan tersebut diberlakukan,” ujar Sekdes M Sein Lubis saat mengunjungi kami di rumah Basarrudin Nasution.

Dari kelompok, akhirnya hanya Mawan dan Bani dari Sohib Nature yang berangkat. Mereka tak sendiri, karena ada 2 ranger yang menemani. Mereka pun akhirnya rela menceritakan seluruh pengalaman mendakinya.

Para pendaki berangkat sekitar pukul 01.00 WIB. Jam tersebut dipilih agar sunrise dapat terlihat di puncak. Beberapa rute untuk sampai di puncak cukup terjal, sekitar 80 derajat. Namun rasa lelah mendaki seketika hilang saat banyaknya tumbuhan dan hewan unik di sepanjang jalan. Begitulah kisah Mawan yang saat itu ikut mendaki.

“Ada kantung semar, anggrek, raflessia arnoldi dan ada juga tumbuhan obat-obatan seperti kunyit, jahe, kencur, dan lainnya. Ada pula hewan-hewan kecil seperti serangga dan burung,” kata Mawan semangat.

Lanjutnya, menurut warga, hewan lainnya seperti kambing hutan, tapir, kucing hutan, binturong, macan akar,harimau, beruang madu, rusa, kijang, landang, burung renggok, dan hewan langka lainnya masih ada di hutan tersebut. “Katanya memang masih ada, tapi kami gak ketemu saat ke atas,” ujar Mawan.

Banyak hal menarik lainnya yang disampaikan Mawan. Namun, hal paling berkesan adalah saat sang ranger melafaskan adzan di puncak Sorik Merapi. Sujud syukur karena masih diberi keselamatan juga dilakukan mereka.

Yah, seorang pendaki memang disarankan untuk melakukan adzan saat mau memulai daki ataupun setelah sampai di puncak. “Tidak ada perintah khusus, hanya saja beberapa pendaki yang melakukannya merasa perjalanan akan semakin ringan. Ini hanya tradisi,” ujar Sein menambahkan.

Kelelahan akhirnya terbayar saat melihat keindahan alam dari puncak Sorik Merapi yang ditempuh sekitar 4 jam lamanya. “Semua lelah terbayar saat berada di atas. Hal pertama yang kami lakukan bersujud kemudian adzan. Ranger kami yang saat itu adzan,” ujar Mawan.

Tambahnya, di puncak Sorik Merapi terdapat sebuah danau seperti puncak Gunung Ranjani. Danau itu pun, dipercaya sebagai danau tertinggi di Sumatera Utara (Sumut) dan menghasilkan belerang. Sorik Merapi ternyata juga telah didaki oleh pendaki-pendaki dari luar Indonesia. Seperti dari Jepang, Prancis, maupun negara Eropa lainnya.

“Banyak juga dari luar negeri atau orang bule yang datang kemari untuk mendaki. Tapi lagi-lagi memang di antaranya tidak diberi izin naik karena perempuan,” kata Sein.

Saat menanti rekan kami mendaki, kami pun memutuskan untuk mengelilingi Desa Sibanggor Julu hingga ke Desa Sibanggor Tonga. Ternyata keindahan alam tak sampai di situ saja, kami juga menemukan tempat pemandian air belerang, namun sayangnya tempat pemandian tersebut belum dikelolah dengan baik. Kamar mandi yang tersedia begitu kotor, begitu juga dengan seluruh kawasan yang ada.

Dua hari setelah berada di Sibanggor Julu memberikan kesan tersendiri. Masyarakatnya yang ramah, udaranya dingin, anginnya yang hangat-hangat kukuh merupakan kenangan yang berharga. Tak banyak, kami hanya berharap bisa kembali kemari dan dengan membawa sesuatu yang bisa berharga bagi Desa Sibanggor Julu.

“Setidaknya, kita bisa menjadi keluarga. Kami juga berharap dapat kembali lagi kemari dengan membawa lebih banyak lagi masyarakat Sumut atau luar negeri agar Desa Sibanggor Julu menjadi desa tujuan wisata,” ujar Mawan kepada Sein dan keluarga Basaruddin saat akan pamitan setelah selesai mendaki gunung. (rbb)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/