26 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Syachrul Anto: Nyawa Ini untuk Menolong Orang

FEDRIK TARIGAN/JAWA POS/jpg
KENANGAN: Satiri Ahmad, Ajie Oye, Syahrul Anto, Hendrata Yudha dan Ibhenk saat berada di Kapal Sadewa, di perairan Utara Karawang.

JAKARTA, SUMUTPOS.Co – Dalam pesan terakhirnya kepada sang istri, Anto berbicara tentang takdir. Datang dari berbagai latar belakang, para relawan penyelam harus bertarung dengan derasnya arus bawah laut dan ancaman bakteri untuk melakukan evakuasi.

OLEH : DRIAN BINTANG, Surabaya & JUNEKA-TAUFIQURRAHMAN

SELAMA berada di perairan Karawang, tiap kali berpindah tempat, Syachrul Anto tak pernah lupa mengabari sang istri Lyan Kurniawati. Baik berupa pesan tertulis, foto, maupun titik koordinat keberadaan dia.

Anto, sapaan akrab pria 48 tahun itu, berada di perairan Karawang sebagai relawan penyelam. Untuk turut mencari korban pesawat Lion Air JT 610 yang jatuh di perairan itu pada Senin lalu (29/10).

Tapi, pada Jumat pagi lalu (2/11), pesan yang diterima Lyan dari sang suami sungguh tak biasa. Pria humoris tersebut mendadak berbicara mengenai takdir.

“Pagi itu, satu demi satu penumpang mendekat ke pintu keberangkatan. Sekitar 180 penumpang mendekati takdirnya. Ada yang tertinggal karena macet, ada juga yang batal karena urusan lain. Tak ada yang tertukar. Allah menyeleksi dengan perhitungan yang tak pernah salah,” tulis Anto.

Ternyata, itulah pesan terakhir Anto. Malamnya, sekitar pukul 20.00 WIB, saat Lyan masih di Jogjakarta, kabar duka itu datang: sang suami, ayah dua anaknya, meninggal. “Saya yang ngerasa kalau dia itu capek, tapi dia selalu kukuh untuk berangkat,” kata Lyan sembari terisak di rumah duka di kawasan Bendul Merisi, Surabaya, kemarin.

Anto tergabung dalam Indonesian Diver Rescue Team (IDRT), kumpulan penyelam berlisensi yang telah berpengalaman dalam berbagai misi evakuasi. Kabar musibah pesawat Lion Air bagaikan undangan bagi para anggota IDRT.

Mereka langsung berdatangan ke Jakarta International Cargo Terminal (JICT) II. Ikut dalam evakuasi bersama unsur lain di bawah koordinasi Basarnas.

Sambil membawa peralatan selam masing-masing. Mulai tabung udara sampai kompresor. Peralatan kesehatan mulai cairan antiseptik hingga sarung tangan lateks. Logistik lain juga berdatangan.

Rendra Hertiadhi (50), penyelam dengan kualifikasi instruktur trainer, menuturkan, total ada 23 orang yang bergabung di posko yang didirikan di JICT II itu. Mereka bergantian ke lokasi pencarian korban pesawat Lion Air yang jatuh di perairan Karawang, sekitar dua jam perjalanan dari dermaga di Jakarta Utara itu.

“Minimal yang ikut rescue itu diver master atau instruktur. Kalau latar belakang, bermacam-macam. Ada yang polisi, wiraswasta, dan memang instruktur selam,” kata Rendra yang punya usaha kuliner di Jakarta.

Untuk mengevakuasi korban dari dalam air, diperlukan keahlian khusus yang telah terlatih dan berpengalaman. Apalagi, pesawat tersebut jatuh di kedalaman 30-35 meter yang termasuk penyelaman dalam.

Selain itu, arus bawah laut yang kencang sampai 3 knot menjadi tantangan tersendiri. Meski, bisa diatasi dengan berbagai strategi seperti penyesuaian arus pasang surut laut. Sebab, arus bawah kencang saat pasang dan surut.

“Menyelam mengikuti arus sehingga sampai ke objek. Atau pakai alat underwater scooter untuk melawan arus,” jelas Rendra yang pernah terlibat dalam evakuasi korban jatuhnya AirAsia QZ 8501 di Selat Karimata pada Desember 2014.

Menurut dia, kondisi lokasi kecelakaan Lion Air dan AirAsia tak jauh berbeda. Di AirAsia, kedalaman airnya 35-38 meter, sedangkan Lion Air 30-35 meter. Hanya, di Selat Karimata dekat Pangkalan Bun itu dasar lautnya kebanyakan pasir.

Sedangkan kontur perairan Karawang berlumpur hampir selutut sehingga mudah keruh. “Kalau angin, efeknya ke gelombang nanti ada turbulensi di dasar. Kan dasarnya lumpur, naik airnya keruh, jarak pandang pendek,” ungkapnya.

Tantangan lain adalah masalah kesehatan. Sebab, yang dievakuasi adalah jenazah yang terendam air. Bakteri-bakteri pun rawan menempel pada tubuh dan peralatan selam. “Makanya begitu keluar dari air setelah evakuasi itu langsung diberi cairan disinfektan. Juga pakai alkohol,” kata Rendra.

Saat evakuasi korban AirAsia dulu, jasa Anto sangat dikenang. Sebab, dialah yang berhasil menemukan jenazah kopilot pesawat tersebut. “Waktu gempa di Palu kemarin dia juga ikut, tapi cuma ditempatkan di dapur,” tambah Lyan tentang sang suami yang kemarin dimakamkan di Surabaya tersebut.

Anto aktif menyelam sejak 2014. Karena itu, begitu diminta menggantikan seorang teman untuk mencari korban jatuhnya Lion Air, dengan segera dia berangkat.

Padahal, saat itu dia berposisi di Jogjakarta. Menghadiri acara keluarga bersama sang istri. Peralatan selamnya pun ada di Makassar, kota tempat dia mengelola usaha ekspedisi. “Dia pinjam peralatan dari seorang temannya anggota Basarnas,” ujar Lyan.

Lyan yang sudah hafal jiwa sosial sang suami pun tak menghalangi. Meski, tak seperti biasanya, untuk kepergian kali ini, dia agak berat melepaskan.

Kepala Basarnas Muhammad Syaugi menyampaikan duka dan keprihatinan atas gugurnya Anto. Dia memuji almarhum sebagai sosok militan, senior, dan memiliki jam selam yang cukup tinggi.

“Namun, kalau Tuhan menghendaki lain, tidak ada satu pun yg mampu mencegah,” ucap Syaugi.

Menurut laporan yang diterima, dua personel IDRT, termasuk Anto, pada Jumat sore menyelam turun ke dasar untuk mengecek apakah masih ada sisa korban atau barang. Rekan menyelam Anto sedang mengamati dasar. Saat dia menoleh, Anto sudah tidak ada. “Ternyata sudah naik jauh ke atas. Ditemukan tim SAR. Pingsan,” jelas Syaugi.

Anto langsung diangkat ke atas kapal dan diperiksa tim dokter. Sempat sadar beberapa saat. Tim Basarnas langsung memasukkannya ke dalam tabung untuk didekompresi. Pria yang lahir di Makassar tapi besar di Surabaya itu lantas dilarikan secepatnya ke RSUD Koja. Tapi, nyawanya tak tertolong. “Almarhum adalah pahlawan kemanusiaan,” kata Syaugi.

Di mata keluarga besar, Anto dikenal sebagai pribadi yang supel. Dia tahu bagaimana cara mencairkan suasana. Terutama ketika ada acara kumpul keluarga besar. “Dia (Anto, Red) itu ngerti caranya bercanda, tapi di waktu yang tepat juga,” ungkap kakak ipar Anto, Ibnu Abdillah.

Bayu Wardoyo, team leader IDRT, mengenang Anto sebagai sosok yang berkomitmen tinggi pada kemanusiaan. Di berbagai medan. Baik di laut maupun darat. “Kata-kata yang selalu dia ucapkan, nyawa ini untuk menolong orang,” ujar Bayu.

Bahkan, menurut sang istri, Anto sebenarnya sudah berencana mendirikan yayasan sosial. “Cita-cita suami saya itu mulia, ingin berguna bagi banyak orang. Saya harap dia bisa menginspirasi banyak orang dengan kepergiannya ini,” kata Lyan. (*/c5/ttg)

FEDRIK TARIGAN/JAWA POS/jpg
KENANGAN: Satiri Ahmad, Ajie Oye, Syahrul Anto, Hendrata Yudha dan Ibhenk saat berada di Kapal Sadewa, di perairan Utara Karawang.

JAKARTA, SUMUTPOS.Co – Dalam pesan terakhirnya kepada sang istri, Anto berbicara tentang takdir. Datang dari berbagai latar belakang, para relawan penyelam harus bertarung dengan derasnya arus bawah laut dan ancaman bakteri untuk melakukan evakuasi.

OLEH : DRIAN BINTANG, Surabaya & JUNEKA-TAUFIQURRAHMAN

SELAMA berada di perairan Karawang, tiap kali berpindah tempat, Syachrul Anto tak pernah lupa mengabari sang istri Lyan Kurniawati. Baik berupa pesan tertulis, foto, maupun titik koordinat keberadaan dia.

Anto, sapaan akrab pria 48 tahun itu, berada di perairan Karawang sebagai relawan penyelam. Untuk turut mencari korban pesawat Lion Air JT 610 yang jatuh di perairan itu pada Senin lalu (29/10).

Tapi, pada Jumat pagi lalu (2/11), pesan yang diterima Lyan dari sang suami sungguh tak biasa. Pria humoris tersebut mendadak berbicara mengenai takdir.

“Pagi itu, satu demi satu penumpang mendekat ke pintu keberangkatan. Sekitar 180 penumpang mendekati takdirnya. Ada yang tertinggal karena macet, ada juga yang batal karena urusan lain. Tak ada yang tertukar. Allah menyeleksi dengan perhitungan yang tak pernah salah,” tulis Anto.

Ternyata, itulah pesan terakhir Anto. Malamnya, sekitar pukul 20.00 WIB, saat Lyan masih di Jogjakarta, kabar duka itu datang: sang suami, ayah dua anaknya, meninggal. “Saya yang ngerasa kalau dia itu capek, tapi dia selalu kukuh untuk berangkat,” kata Lyan sembari terisak di rumah duka di kawasan Bendul Merisi, Surabaya, kemarin.

Anto tergabung dalam Indonesian Diver Rescue Team (IDRT), kumpulan penyelam berlisensi yang telah berpengalaman dalam berbagai misi evakuasi. Kabar musibah pesawat Lion Air bagaikan undangan bagi para anggota IDRT.

Mereka langsung berdatangan ke Jakarta International Cargo Terminal (JICT) II. Ikut dalam evakuasi bersama unsur lain di bawah koordinasi Basarnas.

Sambil membawa peralatan selam masing-masing. Mulai tabung udara sampai kompresor. Peralatan kesehatan mulai cairan antiseptik hingga sarung tangan lateks. Logistik lain juga berdatangan.

Rendra Hertiadhi (50), penyelam dengan kualifikasi instruktur trainer, menuturkan, total ada 23 orang yang bergabung di posko yang didirikan di JICT II itu. Mereka bergantian ke lokasi pencarian korban pesawat Lion Air yang jatuh di perairan Karawang, sekitar dua jam perjalanan dari dermaga di Jakarta Utara itu.

“Minimal yang ikut rescue itu diver master atau instruktur. Kalau latar belakang, bermacam-macam. Ada yang polisi, wiraswasta, dan memang instruktur selam,” kata Rendra yang punya usaha kuliner di Jakarta.

Untuk mengevakuasi korban dari dalam air, diperlukan keahlian khusus yang telah terlatih dan berpengalaman. Apalagi, pesawat tersebut jatuh di kedalaman 30-35 meter yang termasuk penyelaman dalam.

Selain itu, arus bawah laut yang kencang sampai 3 knot menjadi tantangan tersendiri. Meski, bisa diatasi dengan berbagai strategi seperti penyesuaian arus pasang surut laut. Sebab, arus bawah kencang saat pasang dan surut.

“Menyelam mengikuti arus sehingga sampai ke objek. Atau pakai alat underwater scooter untuk melawan arus,” jelas Rendra yang pernah terlibat dalam evakuasi korban jatuhnya AirAsia QZ 8501 di Selat Karimata pada Desember 2014.

Menurut dia, kondisi lokasi kecelakaan Lion Air dan AirAsia tak jauh berbeda. Di AirAsia, kedalaman airnya 35-38 meter, sedangkan Lion Air 30-35 meter. Hanya, di Selat Karimata dekat Pangkalan Bun itu dasar lautnya kebanyakan pasir.

Sedangkan kontur perairan Karawang berlumpur hampir selutut sehingga mudah keruh. “Kalau angin, efeknya ke gelombang nanti ada turbulensi di dasar. Kan dasarnya lumpur, naik airnya keruh, jarak pandang pendek,” ungkapnya.

Tantangan lain adalah masalah kesehatan. Sebab, yang dievakuasi adalah jenazah yang terendam air. Bakteri-bakteri pun rawan menempel pada tubuh dan peralatan selam. “Makanya begitu keluar dari air setelah evakuasi itu langsung diberi cairan disinfektan. Juga pakai alkohol,” kata Rendra.

Saat evakuasi korban AirAsia dulu, jasa Anto sangat dikenang. Sebab, dialah yang berhasil menemukan jenazah kopilot pesawat tersebut. “Waktu gempa di Palu kemarin dia juga ikut, tapi cuma ditempatkan di dapur,” tambah Lyan tentang sang suami yang kemarin dimakamkan di Surabaya tersebut.

Anto aktif menyelam sejak 2014. Karena itu, begitu diminta menggantikan seorang teman untuk mencari korban jatuhnya Lion Air, dengan segera dia berangkat.

Padahal, saat itu dia berposisi di Jogjakarta. Menghadiri acara keluarga bersama sang istri. Peralatan selamnya pun ada di Makassar, kota tempat dia mengelola usaha ekspedisi. “Dia pinjam peralatan dari seorang temannya anggota Basarnas,” ujar Lyan.

Lyan yang sudah hafal jiwa sosial sang suami pun tak menghalangi. Meski, tak seperti biasanya, untuk kepergian kali ini, dia agak berat melepaskan.

Kepala Basarnas Muhammad Syaugi menyampaikan duka dan keprihatinan atas gugurnya Anto. Dia memuji almarhum sebagai sosok militan, senior, dan memiliki jam selam yang cukup tinggi.

“Namun, kalau Tuhan menghendaki lain, tidak ada satu pun yg mampu mencegah,” ucap Syaugi.

Menurut laporan yang diterima, dua personel IDRT, termasuk Anto, pada Jumat sore menyelam turun ke dasar untuk mengecek apakah masih ada sisa korban atau barang. Rekan menyelam Anto sedang mengamati dasar. Saat dia menoleh, Anto sudah tidak ada. “Ternyata sudah naik jauh ke atas. Ditemukan tim SAR. Pingsan,” jelas Syaugi.

Anto langsung diangkat ke atas kapal dan diperiksa tim dokter. Sempat sadar beberapa saat. Tim Basarnas langsung memasukkannya ke dalam tabung untuk didekompresi. Pria yang lahir di Makassar tapi besar di Surabaya itu lantas dilarikan secepatnya ke RSUD Koja. Tapi, nyawanya tak tertolong. “Almarhum adalah pahlawan kemanusiaan,” kata Syaugi.

Di mata keluarga besar, Anto dikenal sebagai pribadi yang supel. Dia tahu bagaimana cara mencairkan suasana. Terutama ketika ada acara kumpul keluarga besar. “Dia (Anto, Red) itu ngerti caranya bercanda, tapi di waktu yang tepat juga,” ungkap kakak ipar Anto, Ibnu Abdillah.

Bayu Wardoyo, team leader IDRT, mengenang Anto sebagai sosok yang berkomitmen tinggi pada kemanusiaan. Di berbagai medan. Baik di laut maupun darat. “Kata-kata yang selalu dia ucapkan, nyawa ini untuk menolong orang,” ujar Bayu.

Bahkan, menurut sang istri, Anto sebenarnya sudah berencana mendirikan yayasan sosial. “Cita-cita suami saya itu mulia, ingin berguna bagi banyak orang. Saya harap dia bisa menginspirasi banyak orang dengan kepergiannya ini,” kata Lyan. (*/c5/ttg)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/