Kebutuhan ekonomi memaksa jutaan orang tua Tiongkok meninggalkan putra dan putrinya di kampung halaman. Sebab, mereka memutuskan untuk mengadu nasib di kota. Akibatnya, sekitar 61 juta anak di Negeri Panda itu merasa terabaikan. Mereka menjadi generasi patah hati yang merasa ditolak orang tua mereka sendiri.
“SAYA harap mereka bisa pulang pada liburan musim semi (Imlek) ini. Saya sering merasa hanya menjadi beban dan tidak diinginkan orang tua saya,” kata Xiaoli, bocah 12 tahun yang orang tuanya bekerja di ibu kota. Xiaoli adalah salah seorang responden survei Centre for Child Rights and Corporate Social Responsibility (CCRCSR) tentang anak-anak yang menjadi korban ambisi ekonomi orang tua mereka.
Di wilayah pedalaman Tiongkok, jutaan anak lain juga merasa terabaikan seperti Xiaoli. A-ying, ibu dua anak yang meninggalkan buah hatinya di kampung halaman demi memburu yuan di Kota Beijing, mengakuinya. Dia mengungkapkan bahwa anak lelakinya tidak pernah bersedia berbicara dengan dirinya melalui telepon. “Dia membenci kami (A-ying dan suaminya). Sebab, kami tidak mengasuhnya,” ujar perempuan 33 tahun tersebut.
Sebagai bentuk kemarahan, anak lelaki A-ying itu lantas tidak pernah ingin berkomunikasi dengan orang tuanya melalui telepon. “Dia menyalahkan kami karena membuat dirinya tidak bisa menikmati kehidupan yang wajar. Mungkin, seharusnya kami memang tinggal bersama. Dengan begitu, hubungan kami sebagai anak dan orang tua harmonis,” paparnya sebagaimana dilansir CNN kemarin (5/2).
Selain perasaan terabaikan atau tidak diinginkan, sebenarnya ada ancaman lain yang lebih serius mengintai anak-anak seperti Xiaoli. Karena rapuh secara mental, anak-anak dari generasi patah hati itu cenderung lebih mudah terjerumus pada hal-hal yang negatif. Atau, lebih parah lagi, mereka menjadi lebih mudah masuk perangkap orang-orang jahat maupun pihak yang tidak bertanggung jawab.
Putri Chen, misalnya. Sejak sekitar tiga tahun lalu, bocah perempuan tersebut tinggal bersama sang nenek. Sebab, Chen dan si istri memilih untuk mencari rezeki di Kota Guangzhou demi meningkatkan taraf kehidupan mereka. Faktor usia dan keterbatasan fisik membuat nenek yang diberi mandat untuk mengasuh gadis sembilan tahun itu tidak bisa setiap saat mengawasi aktivitas cucunya.
Sampai suatu hari pada November 2013, putri Chen tersbeut mendesak orang tuanya pulang ke kampung di Xiangxiang, Provinsi Hunan. “Dia terus-menerus menelepon kami dan meminta kami segera pulang. Dia sakit dan merasa tertekan,” jelas bapak satu anak tersebut.
Awalnya, Chen dan istrinya tidak terlalu menggubris permintaan putri tunggal mereka. Mereka menganggap bocah yang namanya dirahasiakan itu hanya sedang rindu kepada mereka. Tetapi, si putri tidak menyerah. Dia terus meminta orang tuanya pulang. “Suatu kali dia berkata bahwa dirinya merasa kesakitan pada alat vitalnya. Kami langsung sadar, sesuatu yang sangat buruk telah menimpa putri kami,” terangnya.
Bersama si istri, Chen pun langsung pulang ke Xiangxiang. Benar saja, si putri baru saja menjadi korban pemerkosaan. Ironisnya, pria bejat yang tega merenggut kegadisan bocah belia tersebut adalah salah seorang guru di sekolahnya. “Setelah memerkosa putri saya, guru itu memberi dua buku tulis baru sebagai imbalan,” ucap Chen getir.
Ternyata, guru bejat tersebut tidak hanya memerkosa putri Chen. Berdasar hasil investigasi, dia juga memerkosa empat siswi lain yang usianya masih di bawah 14 tahun. “Tidak pernah terlintas dalam benak kami, kejahatan seperti itu bisa terjadi di sekolah,” ungkapnya. Chen pun berusaha keras menyeret si guru bejat ke ranah hukum.
Sayangnya, Chen hanya berjuang sendirian. Sebab, orang tua empat korban yang lain memilih berdamai dengan pemerkosa. Mereka bahkan mencabut laporan setelah guru bejat itu memberi sogokan 10.000 yuan atau sekitar Rp 19,8 juta. Hanya Chen yang menolak uang damai itu dan memilih melanjutkan proses hukum. Tetapi, sampai sekarang pun polisi belum memproses kasus guru bejat tersebut.
Perlakuan tidak adil itu membuat Chen geram. Dia berencana memprotes pihak sekolah putrinya jika sampai liburan Imlek berakhir belum ada kelanjutan kasus guru bejat tersebut. “Tidak ada cara lain. Mungkin, kami memang harus menempuh jalur kekerasan untuk memastikan tidak ada siswi atau anak perempuan lain yang mengalami kejahatan seperti putri kami,” tandasnya. (CNN/hep/c14/tia)