MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kondisi ekonomi global masih belum pulih, bahkan arahnya cenderung melambat. Kondisi ini juga berdampak pada rendahnya keinginan investor mendirikan gedung-gedung pencakar langit di Kota Medan. Hingga semester kedua 2019, belum satupun perusahaan atau investor yang mengajukan izin mendirikan bangunan (IMB) ke Pemko Medan. Pembangunan gedung tinggi masih stagnan.
SEBAGAI kota terbesar ketiga di Indonesia, roda pembangunan di Kota Medan cukup cepat. Hal itu terbukti dengan semakin banyaknya gedung-gedung pencakar langit berdiri, terutama sejak dipindahkannya Bandara Internasional dari kawasan Polonia ke Kualanamu, Deliserdang.
Saat ini, setidaknya ada sekitar 34 gedung dengan ketinggian antara 12 lantai hingga 30 lantai di ibukota Provinsi Sumatera Utara ini. Bahkan ada yang sampai 50 lantai, yakni gedung Podomoro City Deli Office Tower yang masih dalam tahap pembangunan.
Namun pembangunan gedung-gedung tinggi di Kota Medan tampaknya bakal stagnan pada 2020. Hingga semester kedua tahun 2019, belum ada satupun perusahaan atau investor yang mengajukan surat izin mendirikan bangunan (SIMB) untuk pembangunan gedung tinggi ke Dinas Perumahan Kawasan Permukiman dan Penata Ruang (PKPPR) Kota Medann
“Sampai saat ini secara resmi memang belum ada yang mengajukan izin mendirikan bangunan gedung tinggi untuk tahun 2020,” kata Kepala Dinas PKPPR Kota Medan, Benny Iskandar ST MT kepada Sumut Pos, Jumat (5/7).
Ditanya mengenai alasan belum adanya perusahaan atau investor yang mengajukan izin mendirikan bangunan gedung tinggi, Iskandar menyebutkan, karena kondisi pasar saat ini yang masih lesu. Gairah ekonomi yang masih rendah itu menjadi alasan belum adanya keinginan investor untuk mendirikan bangunan-bangunan tinggi sebagai pusat perkantoran dan bisnis di Kota Medan.
“Rata-rata alasan mereka yang tidak jadi atau menunda untuk mendirikan bangunan itu, ya karena kondisi pasar yang masih lesu. Kata para pengusaha itu, kondisi ekonomi sekarang ini jelas sangat berpengaruh,” ujarnya.
Namun begitu, lanjut Benny, hingga saat ini masih tetap ada beberapa pihak yang mulai mencari-cari informasi atas lokasi yang strategis untuk dilakukan pembangunan gedung-gedung tinggi sebagai pusat perkantoran dan bisnis lainnya. “Yang sudah cari-cari info tata ruang ke kita memang ada, tapi baru sebatas itu, belum sampai ke tahap pengajuan izin. Adapun yang lama-lama, tapi justru tidak dilanjutkan” ungkapnya.
Untuk lokasi yang paling sering ‘diintip’ atau bahkan mengajukan izin untuk mendirikan bangunan di Kota Medan, disebut Benny setidaknya ada di 4 titik. “Lokasi – lokasi yang dinilai strategis oleh para pemohon izin dikota Medan cukup banyak, setidaknya ada 4 titik dikota Medan, antara lain di jalan Kejaksaan, jalan Kapten Maulana Lubis, jalan Bandung dan jalan Ringroad,” terangnya.
Tetapi untuk tinggi bangunan gedung-gedung tinggi di Kota Medan, disebutkan Benny masih membutuhkan rekomendasi dari Pangkalan Udara (Lanud) Soewondo.
“Untuk di kota Medan, ketinggian gedung masih perlu izin Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) dari Lanud, maksimal 125 meter dan 80 meter, tergantung dari lokasi dan hal-hal lainnya. Atau rata-rata sekitar 25 sampai dengan 30 lantai,” tutupnya.
Tata Kota Berantakan
Menanggapi hal itu, pengamat tata kota Rafriandi Nasution tidak sepenuhnya membenarkan lesunya pasar, menjadi alasan para investor enggan membangun gedung-gedung tinggi sebagai pusat bisnis dan perkantoran di Kota Medan. Namun menurutnya, lebih kepada Kota Medan yang sudah jauh menurun potensi bisnisnya akibat tata kota yang ‘berantakan’.
“Kalau kita bicara tentang lesunya pasar, faktanya para investor masih gencar melakukan pembangunan di kota-kota lain di Indonesia. Kenapa? Karena kota lain punya tata kota yang baik. Lihat Kota Medan sekarang, sudah tidak jelas ke mana arahnya. Di mana pusat bisnis, di mana pusat perkantoran dan di mana kawasan perumahan, semuanya sudah bercampur dan berantakan,” ujarnya.
Begitupun dengan yang terjadi pada lahan eks Bandara Polonia, pembangunan yang dilakukan di kawasan itu sudah jauh melanggar aturan yang ada, termasuk KKOP. “Apalagi kalau kita bicara tata kota, nggak bisa di sana kita jadikan pusat bisnis. Tapi nyatanya malah dibangun CBD Polonia yang saat ini jadi pusat bisnis. Untuk jadi perumahan saja, harusnya menunggu Perpres itu dicabut baru bisa dibangun. Apalagi kalau dijadikan sebagai pusat bisnis,” ujarnya.
Seharusnya, kata Rafriandi, pusat bisnis diarahkan ke bandara ataupun pelabuhan yang ada di seputar Kota Medan. “Jadi kalau Belawan mau dibuat sentra bisnis besar untuk menyaingi Batam, itu baru benar. Tanjungmorawa ke arah Kualanamu jadi pusat perhotelan, juga benar,” bebernya.
Untuk Kota Medan, Rafriandi menyebutkan, sudah sangat ‘lari’ dari Masterplan yang ada. “Tak tahu lagi kita di Medan ini, mana kawasan bisnis, mana kawasan permukiman, semuanya sudah bercampur-campur. Ini kota Medan mau diapakan kita pun tak tahu,” jelasnya.
Begitupun dengan Bandara Kualanamu yang posisinya jauh dari Kota Medan, sebut Rafriandi, hal itu membuat bisnis perhotelan di Kota Medan semakin merosot. “Ngapain lagi orang luar ke Kota Medan? Dekat bandara sudah ada hotel, bahkan makin hari semakin banyak dan semakin maju dari hotel-hotel yang ada di Medan. Untuk ke lokasi wisata seperti Berastagi atau Danau Toba, mereka tinggal naik bus pariwisata dari Kualanamu. Artinya, kota Medan sudah sulit untuk dibangun karena sudah tak tahu ke mana arah pembangunannya, itu sangat sulit untuk investor,” terangnya.
Adapun sejumlah jalan di Kota Medan yang masih dilirik sejumlah investor seperti Jalan Kejaksaan, Jalan Kapten Maulana Lubis, Jalan Bandung dan kawasan Ringroad, disebut Rafriandi sah-sah saja. Namun hal itu juga cukup berat terjadi, karena jalan-jalan tersebut sudah terlalu padat dan bercampur dengan permukiman warga. “Paling hanya ringroad yang masih relevan, sisanya sudah sulit. Itu sebabnya Pemerintah Kota Medan ke depannya harus visioner dan bisa memperbaiki masterplannya. Intinya, Kota Medan sudah jauh dari masterplan dan sudah tidak layak jadi ibukota provinsi,” tandasnya.
Bisnis Ruko dan Rumah Komersil Lesu
Tak hanya gedung tinggi, sejak dua tahun terakhir, market rumah toko (ruko) dan rumah komersil lainnya di Kota Medan dan Sumatera Utara umumnya, juga mengalami kelesuan. Market menurun drastis dibanding masa kejayaan belasan tahun sebelumnya.
Pengakuan pengembang, menjual satu ruko saja susah. “Pembangunan perumahan komersil beberapa tahun belakangan bisa dikatakan ‘mati’. Pemicunya, ya karena kondisi ekonomi di Indonesia masih lesu. Udah gitu, bisnis toko habis dihajar oleh shopping online. Orang sekarang suka belanja online. Tidak lagi butuh pajangan di toko. Akibatnya demand (permintaan) ruko turun,” kata Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Sumatera Utara, Irwan Ray, kepada Sumut Pos, akhir tahun lalu.
Pemicu lainnya, karena pemerintah membuat program rumah bersubsidi bagi masyarakat
berpenghasilan rendah (MBR). Sebelum program rumah subsidi DP 5 persen itu diluncurkan pemerintah, bisnis ruko masih menjanjikan.
“Katakanlah kita jual 10 ruko, masih bisa laku setengahnya. Tapi sekarang, jual satu saja susah. Pasar ruko sudah terjun bebas. Begitupun demandnya masih ada. Hanya saja kalau mau dipresentase, pasarnya sudah menurun 80 persen,” katanya.
Dampaknya, kata dia, tidak sedikit konsumen yang memilih menjual kembali atau menyewakan ruko-ruko yang telah dibelinya. Dan itu normal. Karena pembeli tentu akan mencari subsitusi atas investasinya, jika pasar lesu. “Saya kira dua tahun ini, pasar rumah komersil mengalami penurunan drastis. Dan itu diawali sejak program rumah subsidi sejuta rumah oleh Jokowi,” katanya.
Ia mencontohkan, jika dilakukan hitung-hitungan, konsumen mending membeli beberapa unit rumah subsidi Jokowi lalu menggabungkannya menjadi satu, ketimbang harus membeli satu ruko ataupun perumahan komersil dengan ukuran besar.
Tentang pembangunan rumah komersil atau non subsidi di Medan, masih mengalami pertumbuhan bagi rumah yang memiliki harga jual Rp150 juta ke atas. Namun pertumbuhannya lambat. (map/adz)