30 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Langgar Izin dan Resahkan Masyarakat Jalan Pancing I, Bengkel di Tengah Pemukiman Diminta Tutup

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Masyarakat Jalan Pancing I, Lingkungan III, Kelurahan Besar, Medan Labuhan, merasa keberatan dengan beroperasinya gudang yang digunakan sebagai bengkel pembuatan sparepart mesin-mesin pengolahan kelapa sawit. Pasalnya, suara dari bengkel tersebut sangat mengganggu ketenangan masyarakat di sana.

RAPAT: Suasana rapat dengar pendapat Komisi II DPRD Medan membahas keberatan warga atas keberadaan bengkel sparepart mesin pengolahan kelapa sawit, Senin (5/10).
RAPAT: Suasana rapat dengar pendapat Komisi II DPRD Medan membahas keberatan warga atas keberadaan bengkel sparepart mesin pengolahan kelapa sawit, Senin (5/10).

“Suara membanting-banting besi di bengkel itu sudah sangat bising, di luar toleransi, masyarakat sudah sangat terganggu,” kata Eko, warga yang keberatan atas beroperasinya bengkel tersebut saat rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi II DPRD Medan, Senin (5/10). Rapat tersebut dipimpin Sudari ST dan dihadiri sejumlah anggota Komisi II serta Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Syarif Armansyah Lubis.

Menurut Eko, saat ada petugas konsultan lingkungan hidup yang mengecek langsung ke lokasi saat bengkel beroperasi, bengkel itu memang mengeluarkan suara yang sangat berisik, yakni di atas 85 desibel (satuan untuk mengukur intensitas suara). Sedangkan menurut aturan ambang batas suara yang layak didengar manusia sesuai Kementerian Lingkungan Hidup, harus di bawah 70 desibel.

“Padahal gudang yang dijadikan bengkel itu berdiri di pemukiman padat penduduk. Lingkungan III ini apakah tempat industri atau tidak? Ini jelas bukan kawasan industri. Tapi kenapa diizinkan untuk beroperasi? Kalau mau beroperasi, silakan pindah saja ke KIM, jangan di pemukiman, masyarakat terganggu,” tegas Eko.

Sedangkan Edi, warga lainnya justru mempertanyakan soal izin yang dimiliki bengkel tersebut. Sejumlah warga mengaku bersedia menandatangi surat karena disebut bahwa surat itu adalah salah satu syarat kepengurusan IMB. Padahal belakangan diketahui, surat itu untuk izin kebersediaan warga akan adanya bengkel di sana.

“Awalnya kami disuruh mantan kepling yang diminta pemilik bengkel untuk menandatangani surat di atas kertas biasa tanpa materai, katanya itu untuk IMB saja. Eh ternyata belakangan pemilik bengkel punya surat tidak keberatan warga akan adanya bengkel itu. Anehnya lagi, justru tandatangan kami sudah diatas materai dengan tinta cair. Padahal kami tidak pernah menandatangani surat di atas materai, surat dari mana itu? Siapa yang memalsukan tandatangan kami?” tegas Edi bersama Burhanuddin yang sama-sama merasa tak pernah menandatangani surat bermaterai itu.

Kepada Saim yang merupakan pemilik bengkel, Sudari meminta penjelasan. Ia menyebutkan, apa yang dilakukan pengelola bengkel adalah pelanggaran berat. “Anda harusnya tahu aturan kalau buka usaha di kampung orang. Anda sebagai pebisnis juga seharusnya tahu kalau itu bukan lokasi industri tetapi pemukiman penduduk. Saya heran, apa yang membuat DLH dan PKPPR mengizinkan ini beroperasi?” kata Sudari.

Menjawab hal ini, Saim pemilik bengkel mengaku sudah meminta izin kepada masyarakat sekitar. Bengkel tersebut bergerak di bidang konstruksi pembuatan sparepart komponen mesin di pabrik kepala sawit. Ia juga mengaku memiliki berbagai izin seperti UKL UPL, Dokumen Amdal, Izin dari DPMPTSP dan Izin lingkungan. “Izin-izin saya sudah lengkap pak,” kata Saim.

Kadis Lingkungan Hidup Kota Medan, Armansyah Lubis mengaku, kalau yang menandatangani rekomendasi itu adalah Kadis sebelum dirinya. Itupun, DLH tidak akan menandatangani surat rekomendasi bila sebelumnya Dinas PKPPR tidak memberikan rekomendasi awal. “Rekomendasi yang dikeluarkan DLH sesuai rekomendasi yang dikeluarkan TRTB (PKPPR). Mereka izinkan, itu karena lokasinya ada di zona K1. Lalu, pengusaha membuat permohonan UKL UPL melalui konsultan, bukan melalui petugas kami, jadi tidak ada keterlibatan kami di situ,” jawabnya.

Menanggapi hal itu, Sudari meminta agar DLH dan Dinas PKPPR meninjau ulang bengkel tersebut. Bila bengkel itu terbukti tak memenuhi syarat, maka DLH dan PKPPR diminta mencabut izinnya. Apalagi, menurut RTRW kawasan tersebut adalah pemukiman yang hanya diperbolehkan untuk perdagangan K1, tapi faktanya justru menjadi bengkel produksi.

Namun begitu, Komisi II merekomendasikan, bengkel tersebut boleh beroperasi jika sudah menggunakan peredam suara yang memenuhi ambang batas suara di bawah 70 desibel. Jika tidak, maka bengkel dilarang beroperasi. “Masalah di Jalan Pancing I itu sudah banyak sekali, tolong pengusaha jangan nambah-nambah masalah. Sekarang juga anda harus tandatangani surat pernyataan tidak akan beroperasi sebelum meredam suara dibawah ambang batas. Tapi kalau nanti memang setelah ditinjau bengkel anda tidak layak beroperasi disana, maka bengkel itu memang harus ditutup atau dipindahkan,” pungkasnya.

Usai RDP, pemilik bengkel menandatangani surat perjanjian jika bengkelnya tidak akan beroperasi sebelum adanya peredam suara. (map)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Masyarakat Jalan Pancing I, Lingkungan III, Kelurahan Besar, Medan Labuhan, merasa keberatan dengan beroperasinya gudang yang digunakan sebagai bengkel pembuatan sparepart mesin-mesin pengolahan kelapa sawit. Pasalnya, suara dari bengkel tersebut sangat mengganggu ketenangan masyarakat di sana.

RAPAT: Suasana rapat dengar pendapat Komisi II DPRD Medan membahas keberatan warga atas keberadaan bengkel sparepart mesin pengolahan kelapa sawit, Senin (5/10).
RAPAT: Suasana rapat dengar pendapat Komisi II DPRD Medan membahas keberatan warga atas keberadaan bengkel sparepart mesin pengolahan kelapa sawit, Senin (5/10).

“Suara membanting-banting besi di bengkel itu sudah sangat bising, di luar toleransi, masyarakat sudah sangat terganggu,” kata Eko, warga yang keberatan atas beroperasinya bengkel tersebut saat rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi II DPRD Medan, Senin (5/10). Rapat tersebut dipimpin Sudari ST dan dihadiri sejumlah anggota Komisi II serta Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Syarif Armansyah Lubis.

Menurut Eko, saat ada petugas konsultan lingkungan hidup yang mengecek langsung ke lokasi saat bengkel beroperasi, bengkel itu memang mengeluarkan suara yang sangat berisik, yakni di atas 85 desibel (satuan untuk mengukur intensitas suara). Sedangkan menurut aturan ambang batas suara yang layak didengar manusia sesuai Kementerian Lingkungan Hidup, harus di bawah 70 desibel.

“Padahal gudang yang dijadikan bengkel itu berdiri di pemukiman padat penduduk. Lingkungan III ini apakah tempat industri atau tidak? Ini jelas bukan kawasan industri. Tapi kenapa diizinkan untuk beroperasi? Kalau mau beroperasi, silakan pindah saja ke KIM, jangan di pemukiman, masyarakat terganggu,” tegas Eko.

Sedangkan Edi, warga lainnya justru mempertanyakan soal izin yang dimiliki bengkel tersebut. Sejumlah warga mengaku bersedia menandatangi surat karena disebut bahwa surat itu adalah salah satu syarat kepengurusan IMB. Padahal belakangan diketahui, surat itu untuk izin kebersediaan warga akan adanya bengkel di sana.

“Awalnya kami disuruh mantan kepling yang diminta pemilik bengkel untuk menandatangani surat di atas kertas biasa tanpa materai, katanya itu untuk IMB saja. Eh ternyata belakangan pemilik bengkel punya surat tidak keberatan warga akan adanya bengkel itu. Anehnya lagi, justru tandatangan kami sudah diatas materai dengan tinta cair. Padahal kami tidak pernah menandatangani surat di atas materai, surat dari mana itu? Siapa yang memalsukan tandatangan kami?” tegas Edi bersama Burhanuddin yang sama-sama merasa tak pernah menandatangani surat bermaterai itu.

Kepada Saim yang merupakan pemilik bengkel, Sudari meminta penjelasan. Ia menyebutkan, apa yang dilakukan pengelola bengkel adalah pelanggaran berat. “Anda harusnya tahu aturan kalau buka usaha di kampung orang. Anda sebagai pebisnis juga seharusnya tahu kalau itu bukan lokasi industri tetapi pemukiman penduduk. Saya heran, apa yang membuat DLH dan PKPPR mengizinkan ini beroperasi?” kata Sudari.

Menjawab hal ini, Saim pemilik bengkel mengaku sudah meminta izin kepada masyarakat sekitar. Bengkel tersebut bergerak di bidang konstruksi pembuatan sparepart komponen mesin di pabrik kepala sawit. Ia juga mengaku memiliki berbagai izin seperti UKL UPL, Dokumen Amdal, Izin dari DPMPTSP dan Izin lingkungan. “Izin-izin saya sudah lengkap pak,” kata Saim.

Kadis Lingkungan Hidup Kota Medan, Armansyah Lubis mengaku, kalau yang menandatangani rekomendasi itu adalah Kadis sebelum dirinya. Itupun, DLH tidak akan menandatangani surat rekomendasi bila sebelumnya Dinas PKPPR tidak memberikan rekomendasi awal. “Rekomendasi yang dikeluarkan DLH sesuai rekomendasi yang dikeluarkan TRTB (PKPPR). Mereka izinkan, itu karena lokasinya ada di zona K1. Lalu, pengusaha membuat permohonan UKL UPL melalui konsultan, bukan melalui petugas kami, jadi tidak ada keterlibatan kami di situ,” jawabnya.

Menanggapi hal itu, Sudari meminta agar DLH dan Dinas PKPPR meninjau ulang bengkel tersebut. Bila bengkel itu terbukti tak memenuhi syarat, maka DLH dan PKPPR diminta mencabut izinnya. Apalagi, menurut RTRW kawasan tersebut adalah pemukiman yang hanya diperbolehkan untuk perdagangan K1, tapi faktanya justru menjadi bengkel produksi.

Namun begitu, Komisi II merekomendasikan, bengkel tersebut boleh beroperasi jika sudah menggunakan peredam suara yang memenuhi ambang batas suara di bawah 70 desibel. Jika tidak, maka bengkel dilarang beroperasi. “Masalah di Jalan Pancing I itu sudah banyak sekali, tolong pengusaha jangan nambah-nambah masalah. Sekarang juga anda harus tandatangani surat pernyataan tidak akan beroperasi sebelum meredam suara dibawah ambang batas. Tapi kalau nanti memang setelah ditinjau bengkel anda tidak layak beroperasi disana, maka bengkel itu memang harus ditutup atau dipindahkan,” pungkasnya.

Usai RDP, pemilik bengkel menandatangani surat perjanjian jika bengkelnya tidak akan beroperasi sebelum adanya peredam suara. (map)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/