MEDAN-Soal pembatasan subsidi terus menjadi polemik masyarakat Sumatera Utara (Sumut). Selain soal antisipasi premium menuju pertamax, konsumen solar juga mulai kasak-kusuk.
Begitulah, pembatasan subsidi minyak bukan hanya untuk premium, solar juga akan dicabut subsidinya. Jika pengguna premium disarankan menyeberang ke pertamax, konsumen solar disarankan beralih ke Pertamina DEX. Masalahnya, seperti pertamax, DEX juga masih belum familiar di Sumut.
Menyikapi hal itu, Assistant Manager External Relation Pertamina Region I, Fitri Erika, mengatakan konsumen untuk tidak panik. Selain pembatasan BBM subsidi baru dilaksanakan 2013 mendatang untuk Sumatera, DEX pun sudah tersedia di Sumut. “Pertamina DEX dijual di mini market yang ada di SPBU, sistem penjualannya dengan menggunakan jerigen ukuran 10 liter dengan harga eceran di kisaran Rp120 ribu,” jelasnya, Jumat (6/1).
Dia mengakui, selama ini DEX belum dikenal dikarenakan belum ada SPBU yang memasang pompanya di Sumut, tapi untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya sudah diberlakukann
“Karena pencabutan nonsubsidi ini nantinya baru akan diberlakukan mulai wilayah Jawa, selanjutnya menyisir ke daerah lainnya,” sebutnya.
Seperti diketahui, selama 2011, kuota subsidi yang disalurkan Pertamina Sumbagut ke Sumatera Utara mengalami over (berlebih). Untuk premium, subsidi yang ditawarkan 1.426.455 Kl, dengan realisasi 1.464.810 kl atau over sekitar 3 persen. Sedangkan untuk Solar, kuota yang diberikan sekitar 1.013.433 Kl dengan realisasi 1.057.913 kl atau over sekitar 4 persen.
Lalu, bagaimana dengan 2012? Untuk pertanyaan ini Erika tak mampu memastikan karena masih menunggu regulasi pemerintah. “Sedangkan Januari ini, kuota yang kita jalankan, peraturan dan penetapannya masih sama dengan Januari 2011 yang lalu,” ujarnya.
Terlepas dari itu, soal pembatasan BBM subsidi ini harus diakui bisa menimbulkan panic buying. Hal ini diungkapkan Direktur Lembaga Advokasi dan Perlindungan Konsumen Medan, Farid Wajdi. Dosen Universitas Muhammdiyah Sumatera Utara Ini mengatakan panic buying merupakan budaya masyarakat Indonesia saat mendengar akan adanya kenaikan suatu barang.
Budaya yang rela mengantri selama berjam-jam demi mendapatkan harga murah ini telah mendarah daging di masyarakat. Dan budaya inilah yang harus diantisipasi bila sebuah kebijakan dari pemerintah keluar. “Panic buying ini yang harus menjadi perhatian khusus, sebelum menjadi petaka,” ujarnya, kemarin.
Masalah lain yang akan timbul adalah akan timbulnya gejolak atau gesekan sosial yang juga dipicu dari harga. Harga pertamax ditentukan dunia internasional, sedangkan pendapatan masyarakat kita tidak secara internasional. Hal ini secara tidak langsung akan mengakibatkan siapa yang mampu akan mendapatkan kesempatan lebih, sedangkan yang tidak hanya dapat melihat saja. “Ini dia sering terjadi gesekan yang akhirnya masyarakat hanya akan saling melihat,” ungkapnya.
Karena itu, seharusnya yang diperhatikan oleh pemerintah sebelum mengaminkan sebuah kebijakan adalah psikologi dan fasilitas yang ada. “Bayangkan betapa hebohnya peraturan ini nantinya, ketika kita dipaksa untuk sesuatu, tetapi uang dan fasilitas tidak ada,” tambahnya.
Psikologi masyarakat dan fasilitas yang ada harus disiapkan dengan matang. Kalau bisa memandang ke beberapa tahun yang lalu, saat kenaikan harga BBM mulai didengungkan, pemandangan jalanan macet karena adanya antrean panjang di berbagai SPBU menjadi dilema. Bahkan dalam antrean akan terlihat berbagai jerigen yang dibawa untuk stok BBM. “Budaya kita, mana yang murah itu yang dibeli,” tambahnya.
Sedangkan untuk fasilitas, yang seharusnya dilengkapi adalah SPBU. Terbukti tidak semua SPBU menjual Pertamax. Sedangkan masyarakat dipaksa untuk menggunakan pertamax. “Hanya ada beberapa titik untuk yang jual, bayangkan saat jam sibuk, SPBU tersebut akan menimbulkan kemacetan, sedangkan di SPBU lain sepi. Ini tidak adil bagi masyarakat, mereka dipaksa untuk beli, tapi beli juga dengan perjuangan, anehkan?” ungkapnya.
Karena itu, sebelum kejadian yang tidak memuaskan ini terjadi, menurut Farid, pemerintah harus fokus pada harga. “Jangan buang badan seperti kasus elpigi 3 Kg, yang banyak meledak. Ditanya yang ini, jawabnya yang sana bertanggung jawab. Ditanya yang sana, dijawab silahkan ke sini untuk lebih detail,” tambahnya.
Soal harga BBM tetap menjadi poin penting bagi kehidupan warga. Setidkanya beberapa warga mulai gelisah dengan pengeluaran yang meningkat. Seperti yang diungkapkan oleh Dosen Ekonomi Universitas Harapan, Zuwina. Selama ini, dia menggunakan BBM bersubsidi untuk menunjang kegiatannya. “Seminggu, saya akan mengeluarkan lebih dari Rp100 ribu untuk bahan bakar mobil, nah kalau diganti Pertamax, berarti saya keluarkan 2 kali lipat, berarti lebih dari Rp800 ribu per bulan,” tambah Zuwina.
Sementara itu, Edwin, pegawai Bank CIMB Niaga menyatakan lebih memilih membeli BBM di Petronas dibandingkan dengan Pertamina. “Dengan harga yang sama, tetapi kualitas yang berbeda, saya beli di Petronas Primax 88, harga sama dengan premium, tetapi primax 88 lebih bagus untuk mesin, lebih irit, pokoknya lebih dari hemat dari premium lah,” ujar Edwin.
Kalau pembatasan BBM ini, menurutnya hanya tinggal waktu saja dan belum yakin akan siap. “Belum tahu ya, yang pasti harus mengeluarkan lebih banyak lagi untuk transportasi, paling pilihannya lari ke sepeda motorlal,” tambahnya sambil tersenyum. (ril/ram)