Siapkan Nelayan Pantura Melaut di Natuna
JAKARTA, SUMUTPOS.CO – Pemerintah menegaskan bahwa Indonesia tidak punya masalah, apalagi berkonflik dengan Tiongkok. Meski begitu, tetap harus tegas terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kapal ikan dan Coast Guard Tiongkok di Natuna Utara. Setelah meningkatkan intensitas operasi dengan menambah KRI, pemerintah akan mengirim nelayan untuk melaut di sana.
Presiden Joko Widodo kemarin angkat bicara terkait klaim Tiongkok terhadap perairan Natuna Utara. Jokowi menegaskan bahwa Natuna merupakan bagian dari wilayah Indonesia yang sah. Sehingga pemerintah tidak akan melakukan upaya tawar-menawar soal kedaulatan negara di kawasan tersebut.
“Tidak ada yang namanya tawar menawar mengenai kedaulatan, mengenai teritorial negara kita,” ujarnya saat membuka sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta Senin (6/1). Dia menambahkan, pernyataan yang disampaikan pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) terhadap Tiongkok sudah sesuai.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mohammad Mahfud MD juga menegaskan hal itu usai bertemu dengan 120 nelayan dari Pantai Utara Jawa di Jakarta. Dia menyebut, pemerintah akan mengirim nelayan untuk melaut di sana. “Kita mau memobilisasi nelayan-nelayan dari Pantura dan mungkin pada gilirannya dari daerah-daerah lain,” ungkap dia kemarin.
Kehadiran para nelayan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Natuna Utara akan melengkapi operasi yang dilakukan oleh TNI bersama Badan Keamanan Laut (Bakamla). Juga menegaskan bahwa negara hadir dan ada di sana. “Negara hadir itu minimal dalam dua hal. Satu peningkatan patroli, yang kedua aktivitas nelayan kita sendiri,” imbuhnya.
Di hadapan para nelayan, Mahfud menyampaikan bahwa yang dimasuki kapal ikan dan Coast Guard Tiongkok merupakan daerah kaya sumber daya laut. Beraneka macam jenis ikan berkumpul di sana. Tersedia dan melimpah. Dia menegaskan, Indonesia berhak atas kekayaan tersebut. “ Saudara juga berhak atas ikan-ikan dan pemanfaatan sumber daya laut di sana,” ujar dia.
Semua itu sudah tercatat dalam hukum laut (UNCLOS). Bahwa ZEE Indonesia di Natuna Utara bagian dari Indonesia. “Hukum internasional mengatakan bahwa perairan yang mereka (Tiongkok) masuki itu adalah perairan sah kita, Indonesia dan kita berhak mengeksplorasi,” terang pria yang pernah mejabat menteri pertahanan (menhan) tersebut.
Mahfud mengakui, walau sudah ada perintah dari presiden, kehadiran negara di Natuna Utara sempat kurang. Namun demikian, itu tidak berarti ZEE boleh sembarangan dimasuki. “Oleh sebab itu, keputusan pemerintah itu pertama menyatakan siapa pun, negara lain tidak boleh masuk ke situ tanpa izin dari pemerintah kita,” ujarnya.
Apabila masih ada yang berani masuk tanpa izin, apalagi sampai mengambil sumber daya laut di sana, Mahfud menyebutkan bahwa itu sama saja dengan pencuri. “Melanggar hukum dan kita usir,” tegas Mahfud. Dia juga menyebut, hubungan baik antara Indonesia dengan Tiongkok harus tetap berlangsung. Baik terkait ekonomi, perdagangan, maupun kerja sama lainnya.
Hanya, pemerintah tidak tinggal diam bila ada pelanggaran. Dengan tegas Mahfud menyampaikan, langkah-langkah yang dilaksanakan pemerintah tidak lain demi kedaulatan negara. “Jadi, tidak ada perang. Tetapi tidak ada nego. Karena kalau menego berarti kita mengakui itu milik bersama,” tutur mantan ketua Mahkamah Konstitisi (MK) tersebut.
Walau belum dipastikan kapan ratusan nelayan itu berangkat ke Natuna, Mahfud menjamin mereka akan dibantu. Mulai izin, fasilitas, sampai jaminan keamanan. “Kami koordinasikan terus mulai hari ini (kemarin) dengan instansi terkait, dengan KKP, dengan pemda, dengan Kemendagri, nanti tingkat ini, koordinasi umum akan dilakukan oleh pak sesmenko,” bebernya.
Dalam kesempatan yang sama, perwakilan nelayan asal Tegal, Riswanto menyampaikan bahwa dia bersama rekan-rekannya siap melaut ke Natuna Utara. Namun demikian, masih perlu pembicaraan dan persiapan teknis untuk keberangkatan mereka ke sana. Termasuk di antaranya soal kapal dan izin yang dibutuhkan.
Berdasar pengalaman nelayan-nelayan Pantura yang pernah melaut ke Natuna Utara, Riswanto menyampaikan bahwa kapal yang memungkinkan untuk mencari ikan di Natuna Utara adalah kapal dengan gross tonnage atau GT di atas 150. “Karena jaraknya (dari Pantura ke Natuna) jauh,” ungkap dia kemarin.
Selain kapal besar, pria yang juga ketua DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Tegal itu menyampaikan bahwa untuk melaut di Natuna Utara dibutuhkan operasional yang besar. Mengingat pencarian ikan bisa sampai dua atau tiga bulan. “Kalau dua sampai tiga bulan itu (biaya operasional) hampir Rp 500 juta,” imbuhnya.
Karena itu, pihaknya berharap besar pemerintah membantu perizinan agar lebih mudah. Sebab, izin untuk kapal di atas 30 GT ada di pemerintah pusat. Mereka juga berharap ada kebijaksanaan terkait bahan bakar minyak (BBM). Subsidi BBM yang saat ini hanya berlaku untuk kapal di bawah 30 GT, dia harapkan bisa berlaku untuk kapal yang akan melaut ke Natuna.
Riswanto mengakui, harapan itu sudah disampaikan langsung dalam pertemuan yang dilaksanakan di Kemenko Polhukam. “Harapannya (ada BBM subsidi) kalau memang kami mau ke sana,” bebernya. Secara prinsip, lanjut dia, nelayan-nelayan dari Pantura juga siap bekerja sama dengan nelayan lokal dari Natuna.
Sebelum berangkat ke Natuna, kata dia, pemerintah juga akan mengundang nelayan-nelayan lain dari seluruh Indonesia untuk membicarakan hal serupa terkait pemanfaatan sumber daya laut di sana. Siapa saja dan dari mana saja yang berangkat lebih dulu, akan dibicarakan lebih lanjut. “Teknisnya nanti dari KKP,” imbuhnya.
Kemarin, Kepala Bakamla Laksdya Bakamla A. Taufiqoerrochman juga menyampaikan bahwa saat ini yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mengirim kapal-kapal ikan besar dari Pantura ke Natuna Utara. “Sambil kita gaungkan bahwa China telah melanggar hukum internasional,” ungkapnya. Dia pun memastikan, Bakamla akan mengawal kapal-kapal ikan itu.
Terpisah, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Sisriadi mengungkapkan, pihaknya sudah melaksanakan bagian dan tugas pengamanan di Natuna Utara.”Urusan TNI adalah urusan pengamanan laut, perbatasan di wilayah laut, urusan pengamatan, dan pengintaian di wilayah kedaulatan dan ZEE kita,” bebernya.
Tugas itu sudah dilaksanakan dengan mengirim prajurit maupun alat utama sistem persenjataan ke Natuna Utara. Semuanya digerakan oleh panglima TNI melalui Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Kogabwilhan) 1. Perkara lain terkait upaya diplomasi agar situasi dan kondisi di Natuna membaik, disebut Sisriadi, sudah menjadi urusan diplomatik.
Menteri Luar Negeri Retno L.P. Marsudi menyampaikan, arahan presiden sangat jelas. Pemerintah akan terus berkomunikasi dengan Tiongkok. Retno optimistis upaya tersebut akan berakhir baik. Mengingat sikap Indonesia dipastikan di dukung dunia Internasional. “Karena prinsip tersebut diadopsi UN Convention dan merupakan kewajiban untuk tunduk,” ujarnya.
Retno menambahkan, dalam komunikasi Indonesia tidak menuntut apa pun terhadap Tiongkok selain meminta mereka mematuhi hukum internasional, termasuk di UNCLOS. “Nine dash line yg diklaim Tiongkok, sampai kapan pun juga Indonesia tidak akan mengakui dan apa yang disampaikan Pak Presiden bahwa itu bukan hal yang harus dikompromikan,” tuturnya.
Sementara itu, PB NU mendesak Pemerintah Tiongkok berhenti melakukan tindakan provokatif atas kedaulatan wilayah perairan Indonesia yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konvensi Hukum Laut PBB, UNCLOS 1982. Ketua Umum PB NU Said Aqil Siroj menyebut, Kepulauan Natuna masuk dalam 200 mil laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang telah diratifikasi sejak 1994.
“Karena itu, tindakan Coast Guard Tiongkok mengawal kapal nelayan berbendera Tiongkok di perairan Natuna sebagai bentuk provokasi politik yang tidak bisa diterima,” terang dia saat konferensi pers di kantor PB NU Jalan Kramat Raya kemarin. NU mendukung sikap tegas Pemerintah RI terhadap Tiongkok.
Di antaranya yang dilakukan oleh menlu dan Bakamla. Termasuk untuk mengusir dan menenggelamkan kapal-kapal asing yang melakukan aktivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) di seluruh perairan RI sebagai manifestasi dari Archipelagic State Principle yang dimandatakan oleh Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.
Meski Tiongkok merupakan investor terbesar ketiga di Indonesia, PB NU meminta Pemerintah Indonesia tidak lembek dan tidak menegosiasikan perihal kedaulatan teritorial dengan kepentingan ekonomi. “Keutuhan dan kesatuan wilayah NKRI, di darat, laut, dan juga di udara adalah harga mati yang tidak bisa ditukar dengan kepentingan apa pun,” tegasnya.
Dalam jangka panjang, NU meminta pemerintah mengarusutamakan fungsi laut dan maritim sebagai kekuatan ekonomi dan geopolitik. Menurut tokoh asal Cirebon itu, kedudukan laut amat strategis sebagai basis pertahanan. Karena itu, pulau-pulau perbatasan, termasuk yang rawan gejolak di Laut Selatan China, tidak boleh lagi disebut sebagai pulau terluar, tetapi terdepan.
Dia menyampaikan, ketidaksungguhan pemerintah dalam melaksanakan konsep pembangunan berparadigma maritim, termasuk dalam geopolitik, ekonomi, dan pertahanan, akan membuat Indonesia kehilangan 75 persen potensinya untuk maju, sejahtera, dan memimpin dunia sebagai bangsa bahari seperti amanat founding fathers.
Dalam pandangan NU sebagaimana dinyatakan oleh sang pendiri Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari bahwa hukum membela keutuhan tanah air adalah fardhu ‘ain, yaitu wajib bagi setiap orang Islam. “Dan barang siapa mati demi tanah airnya, maka ia mati syahid,” jelas Said. (far/lum/syn)