25 C
Medan
Saturday, September 21, 2024

31 Kali Masuk Hotel Prodeo

Pahala PS Napitupulu, Aktivis Buruh Sumut

Kekayaan materi maupun jabatan mapan tidak menjadi ukuran bagi Pahala PS Napitupulu (52), dalam menjalani hidup ini. Dengan menikmati pekerjaan yang ada, dirinya terus berjuang demi satu ideologi.

Indra Juli, Medan

“Hidup harus bertahan dan pekerjaan ini yang diberikan Yang Kuasa sama ku. Yang penting kita harus tetap semangat, harus terus PD (Percaya Diri). Macam betul saja mereka itu,” ucap Pahala yang ditemui Sumut Pos di tempat usahanya seputaran Jalan Djamin Ginting/Padang Bulan Medan, Rabu (6/4).

Menyewa salah satu rumah toko (ruko) tiga lantai, dirinya membuka biro jasa untuk membantu masyarakat. Tidak hanya dalam pengurusan izin juga membantu pembukuan satu perusahaan. Sebagai alumni Sarjana Muda Manajemen Keuangan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU) dan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ekonomi USU, pekerjaan tadi pun memberinya kenikmatan tersendiri.

Dengan menikmati pekerjaannya, Pahala dapat menyisihkan sedikit demi sedikit pendapatan untuk membangun rumah tempat bernaung di Jalan Sejati Gang Kasih No 23A Karang Sari Polonia Medan. Bahkan bersama sang istri Yuliawati Maduwu dirinya menghantarkan kedua buah hatinya Bani Praseto Napitupulu (23) dan Melati Elisabet Napitupulu (21) mengecap pendidikan tinggi di universitas yang menjadi barometer pendidikan di Sumatera Utara (Sumut).

Namun di balik kesuksesan tadi, ada kisah pilu yang pernah dialami pria kelahiran Balige ini. Sebuah konsekuensi dari keinginan memperjuangkan ideologi yang diyakini sebagai kehidupan ideal bagi kaum buruh. “Seperti mengurusi pembukuan perusahaan yang tebal itu, saya juga menikmati saat berjuang membela kaum buruh yang terus dianiaya. Setengah dari penghasilan kubagi untuk dana pergerakan,” tegasnya.

Seperti yang dituturkan Pahala, pergerakan dalam memperjuangan nasib buruh sudah dimulai sejak duduk di bangku kuliah. Tak jarang dirinya turun seorang diri demi mempertahankan ideologi perjuangannya. Hingga akhirnya memutuskan bergabung dengan Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) 1992 pada 1996 silam.

Sebenarnya setelah menamatkan pendidikan dengan gelar sarjana muda (1984), putra ketiga dari enam bersaudara ini sudah bekerja sebagai honorer daerah di Kantor Wilayah Kehutanan Sumut. Satu bulan menjelang pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dirinya justru keluar dan memilih bekerja di PTP V. Lima tahun mengabdi, dirinya menempati posisi Acounting Pembukuan Inti. “Ketika itu masuk PNS gampang. Cukup jadi honor enam bulan bisa langsung diangkat,” kenangnya.

Keputusan untuk keluar membuatnya harus memulai dari nol lagi dan selama satu tahun bekerja serabutan. Tahun 1995, merupakan masa yang paling berkesan baginya saat merintis usaha biro jasa yang kini dikelolanya. Menunggu permintaan, Pahala menunggangi sepedamotor Honda Astuti 79 peninggalan sang Ayah untuk menjajakan kacang tojin, es ganepo, dan makanan ringan ke warung-warung makanan Kota Medan.

Namun dengan moto mempertahankan semangat di dalam diri, Pahala berhasil melewati masa sulit tersebut. Apalagi keputusan keluar dari kenyamanan tadi memberinya ruang dan waktu untuk terus menyuarakan harapan kaum buruh. Bahkan untuk itu dirinya membayar dengan 31 kali masuk hotel prodeo. Selain teror yang terus dirasakannya hingga saat ini. Seperti saat rumahnya diberondong peluru November 2010 silam.

“Banyaklah. Yang ban mobil dikoyak setengah, jadi kalau kita jalan di tikungan bannya pecah dan kita bisa terguling. Knalpot kereta pun pernah dipatah-patahkan. Ya saya cuma tersenyum saja. Terusterang saja, saya memang suka berkelahi untuk membela orang yang dianiaya,” beber Pahala.

Dirinya tak memungkiri bila dukungan anggota keluarga baik istri dan kedua buah hati merupakan kekuatannya. Apa yang bagi Pahala lebih berharga dibanding undangan dari pimpinan partai terbesar di masa orde baru dan tawaran komisi puluhan juta tiap bulannya. Dan hingga kini dirinya tetap berteriak hingga jeritan kaum buruh tidak lagi terdengar. (*)

Pahala PS Napitupulu, Aktivis Buruh Sumut

Kekayaan materi maupun jabatan mapan tidak menjadi ukuran bagi Pahala PS Napitupulu (52), dalam menjalani hidup ini. Dengan menikmati pekerjaan yang ada, dirinya terus berjuang demi satu ideologi.

Indra Juli, Medan

“Hidup harus bertahan dan pekerjaan ini yang diberikan Yang Kuasa sama ku. Yang penting kita harus tetap semangat, harus terus PD (Percaya Diri). Macam betul saja mereka itu,” ucap Pahala yang ditemui Sumut Pos di tempat usahanya seputaran Jalan Djamin Ginting/Padang Bulan Medan, Rabu (6/4).

Menyewa salah satu rumah toko (ruko) tiga lantai, dirinya membuka biro jasa untuk membantu masyarakat. Tidak hanya dalam pengurusan izin juga membantu pembukuan satu perusahaan. Sebagai alumni Sarjana Muda Manajemen Keuangan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara (USU) dan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ekonomi USU, pekerjaan tadi pun memberinya kenikmatan tersendiri.

Dengan menikmati pekerjaannya, Pahala dapat menyisihkan sedikit demi sedikit pendapatan untuk membangun rumah tempat bernaung di Jalan Sejati Gang Kasih No 23A Karang Sari Polonia Medan. Bahkan bersama sang istri Yuliawati Maduwu dirinya menghantarkan kedua buah hatinya Bani Praseto Napitupulu (23) dan Melati Elisabet Napitupulu (21) mengecap pendidikan tinggi di universitas yang menjadi barometer pendidikan di Sumatera Utara (Sumut).

Namun di balik kesuksesan tadi, ada kisah pilu yang pernah dialami pria kelahiran Balige ini. Sebuah konsekuensi dari keinginan memperjuangkan ideologi yang diyakini sebagai kehidupan ideal bagi kaum buruh. “Seperti mengurusi pembukuan perusahaan yang tebal itu, saya juga menikmati saat berjuang membela kaum buruh yang terus dianiaya. Setengah dari penghasilan kubagi untuk dana pergerakan,” tegasnya.

Seperti yang dituturkan Pahala, pergerakan dalam memperjuangan nasib buruh sudah dimulai sejak duduk di bangku kuliah. Tak jarang dirinya turun seorang diri demi mempertahankan ideologi perjuangannya. Hingga akhirnya memutuskan bergabung dengan Serikat Buruh Seluruh Indonesia (SBSI) 1992 pada 1996 silam.

Sebenarnya setelah menamatkan pendidikan dengan gelar sarjana muda (1984), putra ketiga dari enam bersaudara ini sudah bekerja sebagai honorer daerah di Kantor Wilayah Kehutanan Sumut. Satu bulan menjelang pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dirinya justru keluar dan memilih bekerja di PTP V. Lima tahun mengabdi, dirinya menempati posisi Acounting Pembukuan Inti. “Ketika itu masuk PNS gampang. Cukup jadi honor enam bulan bisa langsung diangkat,” kenangnya.

Keputusan untuk keluar membuatnya harus memulai dari nol lagi dan selama satu tahun bekerja serabutan. Tahun 1995, merupakan masa yang paling berkesan baginya saat merintis usaha biro jasa yang kini dikelolanya. Menunggu permintaan, Pahala menunggangi sepedamotor Honda Astuti 79 peninggalan sang Ayah untuk menjajakan kacang tojin, es ganepo, dan makanan ringan ke warung-warung makanan Kota Medan.

Namun dengan moto mempertahankan semangat di dalam diri, Pahala berhasil melewati masa sulit tersebut. Apalagi keputusan keluar dari kenyamanan tadi memberinya ruang dan waktu untuk terus menyuarakan harapan kaum buruh. Bahkan untuk itu dirinya membayar dengan 31 kali masuk hotel prodeo. Selain teror yang terus dirasakannya hingga saat ini. Seperti saat rumahnya diberondong peluru November 2010 silam.

“Banyaklah. Yang ban mobil dikoyak setengah, jadi kalau kita jalan di tikungan bannya pecah dan kita bisa terguling. Knalpot kereta pun pernah dipatah-patahkan. Ya saya cuma tersenyum saja. Terusterang saja, saya memang suka berkelahi untuk membela orang yang dianiaya,” beber Pahala.

Dirinya tak memungkiri bila dukungan anggota keluarga baik istri dan kedua buah hati merupakan kekuatannya. Apa yang bagi Pahala lebih berharga dibanding undangan dari pimpinan partai terbesar di masa orde baru dan tawaran komisi puluhan juta tiap bulannya. Dan hingga kini dirinya tetap berteriak hingga jeritan kaum buruh tidak lagi terdengar. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/