22.8 C
Medan
Saturday, June 22, 2024

Nelayan Myanmar Suka Mabuk Tuak

BELAWAN- Rasa trauma masih membekas dari raut wajah para penghuni di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Jalan Pasar Gang Pekong Kecamatan Medan Belawan, Sabtu (6/4) .

Para imigran dari Iran, Afganistan, Bangladesh, Myanmar dan Sri Langka terlihat duduk melihat hilir mudik petugas laboratorium forensik (labfor) memeriksa lantai dua ruangan yang masih tercium aroma tak sedap pasca-penyerangan delapan nelayan warga negara Myanmar oleh pengungsi Rohingya.

TUNTUTAN: Puluhan imigran Rohingya duduk bersama  Rudenim Belawan, Sabtu (6/4). Menyusul insiden ‘Jumat malan berdarah’  menewaskan 8 nelayan WN Myanmar, mereka mengaku trauma  menuntut fasilitas ruangan khusus. //FACHRIL/POSMETRO MEDAN/SMG
TUNTUTAN: Puluhan imigran Rohingya duduk bersama di Rudenim Belawan, Sabtu (6/4). Menyusul insiden ‘Jumat malan berdarah’ yang menewaskan 8 nelayan WN Myanmar, mereka mengaku trauma dan menuntut fasilitas ruangan khusus. //FACHRIL/POSMETRO MEDAN/SMG

Di luar ruang tahanan, persisnya di pos penjagaan, tiga nelayan yang selamat dari penyerangan karena tidur berbeda lantai dengan delapan rekannya, tampak terduduk lesu.

Ketiganya adalah Kyew Kyaw (25), Win Thike Oo dan Soe Paing.

Kendati tak bisa berbahasa Indonesia, namun ketiganya mengerti saat diajak berkomunikasi.

Kyew Kyaw (25), salah satu dari ketiganya menuturkan dirinya selamat dari maut karena pada malam kejadian mereka tidak berada di dalam ruang tahanan bersama ke delapan korban.

”Kami bertiga malam itu tak sama dengan mereka (korban). Kami berada di pos penjaga.

Jadi kami kurang begitu tahu kejadian di dalam,” kata Kyew.

Meskipun tak tahu secara pasti kejadian malam itu, tapi dia sempat mendengar ada keributan di dalam ruang tahanan. Itu diketahuinya setelah melihat petugas penjagaan keluar. Tak lama polisi masuk ke dalam rumah detensi.

“Malam itu yang kami tahu cuma petugas sibuk, tak lama polisi datang dan masuk. Terus kami mendengar suara ada yang mati di dalam,” sebutnya.

Menurut Kyew, perilaku delapan teman mereka itu memang nakal dan suka mabukmabukan.

Tapi Kyew tak percaya bila rekannya Aye Win yang melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan Rohingya. “Itu tuduhan tak benar. Kalau mereka suka minum ya, betul. Tapi kalau sampai memperkosa tak mungkin berani,” ucapnya.

Kalau menikmati minuman keras, kata dia, para nelayan Myanmar itu biasanya dudukduduk di luar rumah detensi atau di warung tuak persis di depan pekong berjarak yang sekitar 50 meter dari Rudenim Belawan.

“Sekitar 10 hari lalu kami sempat minum tuak di warung depan. Setelah itu kembali balik ke sini lagi,’’ katanya.

Kyew mengakui rekannya Aye Win pernah ‘mengganggu’ imigran perempuan Rohingya, tapi itu pun sebatas memegang bahu.

“Dia pernah memegang bahu perempuan Rohingya tapi tak memperkosa. Mungkin kejadiam malam itu karena dendam,” katanya.

Berbeda dengan penuturan, Kyew. Korban selamat lainnya, Win Thike Oo menduga bentrokan diduga dipicu oleh konflik di negara mereka.

“Mereka ribut karena persoalan dari negara kita. Mungkin karena itu mereka balas dendam,” ungkap Win yang langsung terdiam begitu ditegur oleh Kyew.

Sementara itu, Mohammad Khofi (40), imigran Rohingya yang tak ikut terlibat bentrokan saat ditanyai mengakui, selama berada di dalam tahanan, Aye Win sering terlihat dalam kondisi mabuk. Para nelayan dan rekan- rekannya bisa bebas keluar dari dalam ruang tahanan.

“Tengah malam sekitar jam 1 saya pernah lihat dia orang keluar dari ruang tahanan setelah minta izin sama petugas jaga. Jalan menuju ke rumah di sebelah tempat perempuan Rohingya tinggal. Belakangan ada yang mengaku diperkosa,” kata Khofi.

Dikatakan, aduan pemerkosaan atas pengungsi perempuan Rohingya tidak hanya terjadi sekali, tapi sudah tiga kali. “Yang diperkosa bukan satu orang tapi tiga orang, itu yang menyebabkan bentrok,” cetusnya.

Malam saat kejadian, Khofi mengaku tidak terlibat, dia hanya berada di depan pintu masuk ruang tahanan. Seorang petugas jaga bernama Riko yang hendak masuk untuk mengamankan situasi dihalanginya karena takut ikut menjadi korban.”Saya sempat melarang penjaga masuk. Saya bilang jangan masuk nanti bisa dibunuh mereka. Terus penjaga lari ke depan,” cetusnya.

Kasi Registrasi dan Pelaporan Rudenim Belawan, Rida Agustian membantah kalau bentrokan yang menewaskan delapan warga negara Myanmar itu disebabkan persoalan di negara mereka.

“Pemicunya jelas karena pelecehan seks.

Tak ada masalah lain. Kasusnya sudah ditangani polisi, “ katanya.

Hingga Sabtu (6/4) kemarin, Polres Pelabuhan Belawan terus melakukan pemeriksaan terhadap ke 18 orang tersangka imigran gelap etnis Rohingya yang terlibat pembantaian 8 warga negara (WN) Myanmar di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Belawan. Belasan tersangka dijerat Pasal 170 jo Pasal 340 subsider Pasal 338 KUHPidana dengan ancaman hukuman maksimal seumur hidup.

Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Belawan AKP Yudi Friyanto mengatakan, dalam proses penyidikan polisi mengalami kesulitan karena tersangka hanya paham bahasa Myanmar.

Mereka tidak bisa berbahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia.

“Proses hukum terus berjalan. Kendalanya memang dalam bahasa. Kami sudah mendatangkan orang yang paham bahasa Myanmar,” ujar Yudi, Sabtu (6/4).

Dari hasil pemeriksaan dan pra-rekonstruksi yang digelar di Mapolres KP3 Belawan, peran para pelaku penganiayaan mulai teridentifikasi satu per satu. Para pelaku menggunakan benda tumpul saat menghabisi nyawa delapan nelayan warga negara Myanmar. Aksi penyerangan yang dilakukan secara bersama-sama oleh belasan imigran Rohingya itu dipicu oleh pelecehan seksual dilakukan oleh seorang nelayan Myanmar berinisial AW.

Pelecehan seksual itu sudah dilaporkan kepada petugas keamanan di Rudenim Belawan.

Petugas menindak AW dengan menamparnya saat pertemuan antar-kedua belah pihak. Merasa tidak senang, AW melakukan ancaman terhadap kelompok pengungsi Rohingya.

Merasa diteror, sejumlah pengungsi Rohingya melakukan pertemuan gelap untuk melakukan perlawanan. Berawal dengan penikaman Ali, orang yang dituakan di kelompok Rohingya, penyerangan terencana yang dilakukan oleh para lelaki Rohingya berujung tewasnya delapan nelayan asal Myanmar tersebut. Tiga rekan mereka selamat lantaran tidur di lantai berbeda.

“Kami menduga ini sudah terencana. Perbuatan ke 18 tersangka ini dijerat pasal 170 jo 340 subsider pasal 338 KUHP dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun atau maksimal seumur hidup,” kata, Yudi. (rul)

BELAWAN- Rasa trauma masih membekas dari raut wajah para penghuni di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Jalan Pasar Gang Pekong Kecamatan Medan Belawan, Sabtu (6/4) .

Para imigran dari Iran, Afganistan, Bangladesh, Myanmar dan Sri Langka terlihat duduk melihat hilir mudik petugas laboratorium forensik (labfor) memeriksa lantai dua ruangan yang masih tercium aroma tak sedap pasca-penyerangan delapan nelayan warga negara Myanmar oleh pengungsi Rohingya.

TUNTUTAN: Puluhan imigran Rohingya duduk bersama  Rudenim Belawan, Sabtu (6/4). Menyusul insiden ‘Jumat malan berdarah’  menewaskan 8 nelayan WN Myanmar, mereka mengaku trauma  menuntut fasilitas ruangan khusus. //FACHRIL/POSMETRO MEDAN/SMG
TUNTUTAN: Puluhan imigran Rohingya duduk bersama di Rudenim Belawan, Sabtu (6/4). Menyusul insiden ‘Jumat malan berdarah’ yang menewaskan 8 nelayan WN Myanmar, mereka mengaku trauma dan menuntut fasilitas ruangan khusus. //FACHRIL/POSMETRO MEDAN/SMG

Di luar ruang tahanan, persisnya di pos penjagaan, tiga nelayan yang selamat dari penyerangan karena tidur berbeda lantai dengan delapan rekannya, tampak terduduk lesu.

Ketiganya adalah Kyew Kyaw (25), Win Thike Oo dan Soe Paing.

Kendati tak bisa berbahasa Indonesia, namun ketiganya mengerti saat diajak berkomunikasi.

Kyew Kyaw (25), salah satu dari ketiganya menuturkan dirinya selamat dari maut karena pada malam kejadian mereka tidak berada di dalam ruang tahanan bersama ke delapan korban.

”Kami bertiga malam itu tak sama dengan mereka (korban). Kami berada di pos penjaga.

Jadi kami kurang begitu tahu kejadian di dalam,” kata Kyew.

Meskipun tak tahu secara pasti kejadian malam itu, tapi dia sempat mendengar ada keributan di dalam ruang tahanan. Itu diketahuinya setelah melihat petugas penjagaan keluar. Tak lama polisi masuk ke dalam rumah detensi.

“Malam itu yang kami tahu cuma petugas sibuk, tak lama polisi datang dan masuk. Terus kami mendengar suara ada yang mati di dalam,” sebutnya.

Menurut Kyew, perilaku delapan teman mereka itu memang nakal dan suka mabukmabukan.

Tapi Kyew tak percaya bila rekannya Aye Win yang melakukan pelecehan seksual terhadap perempuan Rohingya. “Itu tuduhan tak benar. Kalau mereka suka minum ya, betul. Tapi kalau sampai memperkosa tak mungkin berani,” ucapnya.

Kalau menikmati minuman keras, kata dia, para nelayan Myanmar itu biasanya dudukduduk di luar rumah detensi atau di warung tuak persis di depan pekong berjarak yang sekitar 50 meter dari Rudenim Belawan.

“Sekitar 10 hari lalu kami sempat minum tuak di warung depan. Setelah itu kembali balik ke sini lagi,’’ katanya.

Kyew mengakui rekannya Aye Win pernah ‘mengganggu’ imigran perempuan Rohingya, tapi itu pun sebatas memegang bahu.

“Dia pernah memegang bahu perempuan Rohingya tapi tak memperkosa. Mungkin kejadiam malam itu karena dendam,” katanya.

Berbeda dengan penuturan, Kyew. Korban selamat lainnya, Win Thike Oo menduga bentrokan diduga dipicu oleh konflik di negara mereka.

“Mereka ribut karena persoalan dari negara kita. Mungkin karena itu mereka balas dendam,” ungkap Win yang langsung terdiam begitu ditegur oleh Kyew.

Sementara itu, Mohammad Khofi (40), imigran Rohingya yang tak ikut terlibat bentrokan saat ditanyai mengakui, selama berada di dalam tahanan, Aye Win sering terlihat dalam kondisi mabuk. Para nelayan dan rekan- rekannya bisa bebas keluar dari dalam ruang tahanan.

“Tengah malam sekitar jam 1 saya pernah lihat dia orang keluar dari ruang tahanan setelah minta izin sama petugas jaga. Jalan menuju ke rumah di sebelah tempat perempuan Rohingya tinggal. Belakangan ada yang mengaku diperkosa,” kata Khofi.

Dikatakan, aduan pemerkosaan atas pengungsi perempuan Rohingya tidak hanya terjadi sekali, tapi sudah tiga kali. “Yang diperkosa bukan satu orang tapi tiga orang, itu yang menyebabkan bentrok,” cetusnya.

Malam saat kejadian, Khofi mengaku tidak terlibat, dia hanya berada di depan pintu masuk ruang tahanan. Seorang petugas jaga bernama Riko yang hendak masuk untuk mengamankan situasi dihalanginya karena takut ikut menjadi korban.”Saya sempat melarang penjaga masuk. Saya bilang jangan masuk nanti bisa dibunuh mereka. Terus penjaga lari ke depan,” cetusnya.

Kasi Registrasi dan Pelaporan Rudenim Belawan, Rida Agustian membantah kalau bentrokan yang menewaskan delapan warga negara Myanmar itu disebabkan persoalan di negara mereka.

“Pemicunya jelas karena pelecehan seks.

Tak ada masalah lain. Kasusnya sudah ditangani polisi, “ katanya.

Hingga Sabtu (6/4) kemarin, Polres Pelabuhan Belawan terus melakukan pemeriksaan terhadap ke 18 orang tersangka imigran gelap etnis Rohingya yang terlibat pembantaian 8 warga negara (WN) Myanmar di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Belawan. Belasan tersangka dijerat Pasal 170 jo Pasal 340 subsider Pasal 338 KUHPidana dengan ancaman hukuman maksimal seumur hidup.

Kasat Reskrim Polres Pelabuhan Belawan AKP Yudi Friyanto mengatakan, dalam proses penyidikan polisi mengalami kesulitan karena tersangka hanya paham bahasa Myanmar.

Mereka tidak bisa berbahasa Inggris, apalagi bahasa Indonesia.

“Proses hukum terus berjalan. Kendalanya memang dalam bahasa. Kami sudah mendatangkan orang yang paham bahasa Myanmar,” ujar Yudi, Sabtu (6/4).

Dari hasil pemeriksaan dan pra-rekonstruksi yang digelar di Mapolres KP3 Belawan, peran para pelaku penganiayaan mulai teridentifikasi satu per satu. Para pelaku menggunakan benda tumpul saat menghabisi nyawa delapan nelayan warga negara Myanmar. Aksi penyerangan yang dilakukan secara bersama-sama oleh belasan imigran Rohingya itu dipicu oleh pelecehan seksual dilakukan oleh seorang nelayan Myanmar berinisial AW.

Pelecehan seksual itu sudah dilaporkan kepada petugas keamanan di Rudenim Belawan.

Petugas menindak AW dengan menamparnya saat pertemuan antar-kedua belah pihak. Merasa tidak senang, AW melakukan ancaman terhadap kelompok pengungsi Rohingya.

Merasa diteror, sejumlah pengungsi Rohingya melakukan pertemuan gelap untuk melakukan perlawanan. Berawal dengan penikaman Ali, orang yang dituakan di kelompok Rohingya, penyerangan terencana yang dilakukan oleh para lelaki Rohingya berujung tewasnya delapan nelayan asal Myanmar tersebut. Tiga rekan mereka selamat lantaran tidur di lantai berbeda.

“Kami menduga ini sudah terencana. Perbuatan ke 18 tersangka ini dijerat pasal 170 jo 340 subsider pasal 338 KUHP dengan ancaman hukuman di atas 5 tahun atau maksimal seumur hidup,” kata, Yudi. (rul)

Previous article
Next article

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/