29 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

DS ‘Terpaksa Menikah’ Muda Karena Desas-desus Warga Desa

Foto: M Salsabyl Adn/JAWAPOS
DS, 20, perlahan berani keluar pekarangan rumah orang tuanya di Desa Mekarpawitan. Selama empat bulan, dia mengurung diri karena trauma menjadi korban fitnah dan disebut janda kecil oleh tetangga. Foto diambil pada Minggu, (2/4/2017).

MARAKNYA kasus pernikahan anak di Indonesia adalah miskonsepsi yang terpendam dari masyarakat Indonesia. Sebagian Masyarakat punya acuan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 13 tahun.

’’Kalau bicara kasus pernikahan pada usia anak, banyak yang menyangka usianya 11 atau 13 tahun. Tapi, saat kami sebut usianya 17 tahun, mereka malah marah,’’ kata Adolescent Officer UNICEF Indonesia Anissa Elok Budiyani. ”Itu hanya salah satu dari daftar panjang miskonsepsi yang terpendam di masyarakat Indonesia,” lanjutnya.

Hal tersebut semakin menjadi parah seiring berjalannya zaman. Paham-paham modernitas yang dirasa mulai mengubah keadaan masih disandingkan dengan norma-norma tradisional. Hal tersebut semakin merugikan para muda-mudi yang masa mudanya terenggut oleh janji pernikahan.

Tentu, remaja pria yang menikah muda juga terampas masa depannya. Namun, dalam hal ini, perempuan mendapat posisi yang lebih buruk. Harus mengambil tanggung jawab sebagai pencari nafkah, namun tetap harus menunduk di depan suami. Ambil saja contoh DS, 20, di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung.

Selama dua tahun, dia harus menjadi upik abu di zaman modern. Hanya saja, yang menjadi peran jahat bukanlah ibu dan saudara tiri. Melainkan pria yang harusnya menjadi pangeran berkuda putih. Semua itu berawal dari kabar palsu yang tersebar di desanya bahwa dia sedang hamil di luar nikah.

K, 22, sebenarnya hanya kenalan dari DS yang saat itu menumpang berteduh karena hujan deras. Dari sana, desas-desus mulai bahwa DS menjalin hubungan dengan K dan sudah hamil duluan. ’’Padahal, saya sudah punya pacar orang Kalimantan. Bukan dia,’’ ucapnya.

Perempuan yang waktu itu masih 16 sebenarnya tak ingin menganggap serius gosip tersebut. Apalagi, dia saat itu sedang bekerja di warung makan tante di Jakarta. Namun, bara malah menjadi api. Sampai-sampai, DS dan sang ibu datang ke dokter kandungan untuk mengecek kehamilannya.

’’Semua tes hasilnya negatif. Tapi, omongan tetangga masih saja. Sampai bilang kalau saya buat desa ini kotor,’’ kata perempuan yang kini sudah enam bulan cerai dengan suaminya.

DS mengaku bahwa dia bukanlah orang yang punya pikiran untuk menikah muda. Namun, karena tekanan sosial, akhirnya dia memutuskan untuk menjadi istri K saat dia dilamar. Dari sana, kehidupan DS mulai terjun bebas.

’’Saya tidak boleh keluar atau ke rumah, sedangkan mantan suami keluyuran dengan perempuan lain. Pernah, dia sempat menganggur empat bulan. Saya harus kerja di pabrik tekstil untuk bayar hutangnya,’’ ujarnya.

Di antara semua kesusahan tersebut, DS tetap diperlakukan buruk oleh suami. Kata-kata kasar sering muncul saat cekcok di rumah tangga. Sang suami pun selalu menyalahkan istri atas semua permasalahan yang ada. Sampai akhirnya setelah dua tahun menikah dia tak kuat lagi dan kembali ke rumah orang tua pada Idul Adha tahun lalu.

’’Saat cerai, saya minta motor yang cicilannya saya lunasin aja nggak mau. Katanya, saya nggak bisa cari uang buat suami,’’ ungkapnya.

Setelah membulatkan tekad, DS juga masih saja menjadi bahan olok-olok dari tetangga sekitar. Dia diberi gelar janda kecil di usianya yang ke 20 sampai dia jarang mau keluar rumah. ’’Kebetulan ibu memang lagi sakit kanker rahim. Jadi, saya berhenti kerja dan di rumah saja. Baru-baru ini akhirnya sedikit berani keluar rumah,’’ ujarnya.

Foto: M Salsabyl Adn/JAWAPOS
DS, 20, perlahan berani keluar pekarangan rumah orang tuanya di Desa Mekarpawitan. Selama empat bulan, dia mengurung diri karena trauma menjadi korban fitnah dan disebut janda kecil oleh tetangga. Foto diambil pada Minggu, (2/4/2017).

MARAKNYA kasus pernikahan anak di Indonesia adalah miskonsepsi yang terpendam dari masyarakat Indonesia. Sebagian Masyarakat punya acuan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 13 tahun.

’’Kalau bicara kasus pernikahan pada usia anak, banyak yang menyangka usianya 11 atau 13 tahun. Tapi, saat kami sebut usianya 17 tahun, mereka malah marah,’’ kata Adolescent Officer UNICEF Indonesia Anissa Elok Budiyani. ”Itu hanya salah satu dari daftar panjang miskonsepsi yang terpendam di masyarakat Indonesia,” lanjutnya.

Hal tersebut semakin menjadi parah seiring berjalannya zaman. Paham-paham modernitas yang dirasa mulai mengubah keadaan masih disandingkan dengan norma-norma tradisional. Hal tersebut semakin merugikan para muda-mudi yang masa mudanya terenggut oleh janji pernikahan.

Tentu, remaja pria yang menikah muda juga terampas masa depannya. Namun, dalam hal ini, perempuan mendapat posisi yang lebih buruk. Harus mengambil tanggung jawab sebagai pencari nafkah, namun tetap harus menunduk di depan suami. Ambil saja contoh DS, 20, di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung.

Selama dua tahun, dia harus menjadi upik abu di zaman modern. Hanya saja, yang menjadi peran jahat bukanlah ibu dan saudara tiri. Melainkan pria yang harusnya menjadi pangeran berkuda putih. Semua itu berawal dari kabar palsu yang tersebar di desanya bahwa dia sedang hamil di luar nikah.

K, 22, sebenarnya hanya kenalan dari DS yang saat itu menumpang berteduh karena hujan deras. Dari sana, desas-desus mulai bahwa DS menjalin hubungan dengan K dan sudah hamil duluan. ’’Padahal, saya sudah punya pacar orang Kalimantan. Bukan dia,’’ ucapnya.

Perempuan yang waktu itu masih 16 sebenarnya tak ingin menganggap serius gosip tersebut. Apalagi, dia saat itu sedang bekerja di warung makan tante di Jakarta. Namun, bara malah menjadi api. Sampai-sampai, DS dan sang ibu datang ke dokter kandungan untuk mengecek kehamilannya.

’’Semua tes hasilnya negatif. Tapi, omongan tetangga masih saja. Sampai bilang kalau saya buat desa ini kotor,’’ kata perempuan yang kini sudah enam bulan cerai dengan suaminya.

DS mengaku bahwa dia bukanlah orang yang punya pikiran untuk menikah muda. Namun, karena tekanan sosial, akhirnya dia memutuskan untuk menjadi istri K saat dia dilamar. Dari sana, kehidupan DS mulai terjun bebas.

’’Saya tidak boleh keluar atau ke rumah, sedangkan mantan suami keluyuran dengan perempuan lain. Pernah, dia sempat menganggur empat bulan. Saya harus kerja di pabrik tekstil untuk bayar hutangnya,’’ ujarnya.

Di antara semua kesusahan tersebut, DS tetap diperlakukan buruk oleh suami. Kata-kata kasar sering muncul saat cekcok di rumah tangga. Sang suami pun selalu menyalahkan istri atas semua permasalahan yang ada. Sampai akhirnya setelah dua tahun menikah dia tak kuat lagi dan kembali ke rumah orang tua pada Idul Adha tahun lalu.

’’Saat cerai, saya minta motor yang cicilannya saya lunasin aja nggak mau. Katanya, saya nggak bisa cari uang buat suami,’’ ungkapnya.

Setelah membulatkan tekad, DS juga masih saja menjadi bahan olok-olok dari tetangga sekitar. Dia diberi gelar janda kecil di usianya yang ke 20 sampai dia jarang mau keluar rumah. ’’Kebetulan ibu memang lagi sakit kanker rahim. Jadi, saya berhenti kerja dan di rumah saja. Baru-baru ini akhirnya sedikit berani keluar rumah,’’ ujarnya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/