MEDAN,SUMUTPOS.CO – Pangkalan TNI Angkatan Udara (Lanud) Soewondo memberlakukan aturan baru bagi pengendara yang melintas di Jalan Kolonel Adi Sucipto. Setiap pengendara wajib memakai stiker khusus yang diterbitkan oleh Lanud Soewondo jika ingin melintasi area pangkalan militer tersebut. Dan yang membuat heboh, ada ’uang stiker’ yang dikenakan kepada pengendara.
PEMBERLAKUAN stiker itu sesuai Surat Edaran nomor : SE/02/VI/2018.
Dalam surat yang ditandatangani Komandan Lanud Soewondo, Kolonel Pnb Dirk Poltje Lengkey itu, pemberlakuan stiker bertujuan demi keamanan Lanud sebagai pangkalan militer. Selain itu, juga untuk mengurangi padatnya kendaraan yang melintas di sana karena hampir sertiap hari terjadi kemacetan Pengurusan stiker itu sendiri, bisa dilakukan di Kantor Satuan Polisi Militer. Dengan syarat, masyarakat harus menyerahkan fotocopy KTP, SIM dan STNK.
Dalam surat itu, memang sama sekali tidak menyebutkan soal biaya. Namun beredar kabar, ada kutipan untuk memperoleh stiker yang dikeluarkan oleh pihak Lanud Soewondo.
Terkait kutipan itu, Kepala Penerangan dan Perpustakaan (Kapentak) Lanud Soewondo, Mayor Jhoni Tarigan mengatakan, bagi masyarakat yang akan mengurus stiker itu memang dikenakan biaya. Untuk sepeda motor dikenai biaya sebesar Rp25 ribu dan mobil Rp30 ribu.
“Itu untuk biaya pembuatan stiker,” katanya kepada JawaPos.com (grup Sumut Pos), Kamis (6/9) petang.
Jhoni kemudian menjelaskan, kalau pemberlakuan sistem stiker ini lantaran, jalur Adi Sucipto adalah jalan kesatriaan. “Di lanud-lanud besar di Indonesia juga ada. Seiring dengan perkembangan ini kan, banyak sekali masyarakat-masyarakat kita yang lewat di jalan itu. Sehingga, fungsinya sudah hampir berubah. Itu sudah jadi jalan umum, padahal bukan,” katanya.
Kata dia, stiker itu diberlakukan untuk mengembalikan fungsi jalan kesatriaan. Sehingga, jalan itu tidak diperkenankan untuk dilewati masyarakat umum.
“Jalan Kesatriaan itu adalah jalannya kesatuan untuk Lanud Soewondo di sana. Jadi kalau namanya kesatrian itu wajib untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Jadi mengembalikan fungsi jalan itu,” jelasnya.
Dengan begitu mereka menetapkan agar masyarakat yang ada di seputar Lanud harus mengurus stiker itu jika ingin melintas. Misalnya, masyarakat yang ada di seputaran komplek mewah Malibu. “Kita butuh identitas, jadi bukan jual stiker,” katanya.
Soal ‘biaya stiker’ itupun menuai protes. Wakil Ketua DPRD Kota Medan Iswanda Nanda Ramli mengatakan, rencana kebijakan TNI AU tersebut perlu dikaji ulang. Sebab, jika memang benar harus mengeluarkan uang untuk mengurus stiker tentu membebani masyakarat kecil. “Kasihan warga yang tinggal di Kelurahan Sari Rejo kalau disuruh bayar membuat stiker. Soalnya, mereka setiap hari beraktivitas melewati kawasan militer TNI AU,” kata Nanda.
Untuk itu, Nanda meminta kepada TNI AU Soewondo Medan agar mengkaji ulang atau mempertimbangkan lagi demi kepentingan umum. “Saya harap bisa ditinjau kembali rencana itu sebelum benar-benar diterapkan. Sebab, rata-rata warga yang tinggal di sekitar sana masyarakat kecil. Apalagi, sekarang harga-harga kebutuhan mulai naik. Jadi, kalau disuruh bayar tentu menambah beban mereka,” ujarnya.
Tak jauh beda disampaikan Anggota DPRD Medan Ilhamsyah. Ia menilai, pemberlakuan stiker itu memberatkan warga. “Selama ini warga tidak pernah menentang kebijakan TNI AU (Soewondo Medan), seperti pembatasan kecepatan kendaraan maksimal 40 kilometer per jam serta jam melintas dari pukul 06.00 WIB sampai dengan 23.00 WIB. Warga memahami karena kawasan itu merupakan kawasan militer yang harus sangat diperhatikan keamanannya,” kata anggota dewan dari Fraksi Partai Golkar ini.
Ilhamsyah juag meminta agar persoalan ini segera disikapi oleh Pemko Medan, sehingga tidak menimbulkan masalah baru di masyarakat. “Harus dicari solusinya, dan alangkah baiknya Danlanud mengajukan perbaikan dan pelebaran jalan sehingga kawasan tersebut bisa lebih baik lagi,” jelasnya.
Sementara, Sekretaris Komisi D DPRD Medan Salman Alfarisi mengatakan, kebijakan tersebut memang merupakan hak TNI AU untuk mengamankan wilayahnya. Hanya saja, setiap ada pungutan biaya harus merujuk pada peraturan, baik peraturan pemerintah, peraturan daerah dan lainnya. “Boleh-boleh saja diberlakukan stiker kepada pengendara yang ingin melintas di sana. Namun penetapan tarif atau biaya yang dikenakan untuk pengurusuan stiker tersebut harus merujuk kepada suatu peraturan,” jelas Salman.
Ia menegaskan, rencana pemberlakuan stiker harusnya tanpa biaya karena bila berbayar maka memberatkan masyarakat. “Jangan sampai muncul opini ‘jual beli’ stiker. Kalau memang mau menerapkan kebijakan itu dengan berbayar, maka semestinya dibebankan kepada negara bukan masyarakat,” tegasnya.
Ketua Forum Masyarakat Sari Rejo (Formas) Riwayat Pakpahan menilai, pemasangan stiker ini hanya menyulitkan masyarakat. Bahkan, dia menilai kebijakan Labud Suwondo ini sangat aneh.
Sebab, dengan kondisi kendaraan yang semakin bertambah saat ini, sementara infrastruktur jalan stagnan, maka keberadaan ruas Jalan Adi Sucipto ini sangat dibutuhkan masyarakat sebagai jalan alternatif. Karenanya, jika diberlakukan kebijakan ’wajib stiker’ maka hanya menyulitkan mayarakat, khususnya mereka yang berdomisili di sekitar Lanud Suwondo.
Menyikapi kemacetan yang sering terjadi di Jalan Adi Sucipto, menurut Riwayat karena adanya pembangunan polisi tidur oleh Lanud Suwondo. “Pembangunan polisi tidur yang tinggi dan cukup banyak jumlahnya, itu yang membuat sering terjadi kemacetan. Karena, kendaraan harus berjalan pelan, sudah pasti membuat macet, “ ungkap Riwayat.
Harusnya, kata Riwayat, pihak Lanud Soewondo mendukung program Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo memperluas infrastruktur. “Kalau lalu lintas terhambat di sekitar perempatan Jalan Adi Sucipto, maka berdampak hingga ke Jalan SMA 2 dan Jalan Katamso. Kita tahu jumlah kendaraan yang melintas di sana cukup banyak,” kata Riwayat.
Selain itu, lanjut Riwayat, pemasangan stiker itu sebelumnya tidak ada sosialisasi, termasuk kepada warga Sari Rejo yang mayoritas melintasi Jalan Adi Sucipto setiap hari. Menurutnya, sejak dirinya tinggal di Kelurahan Sari Rejo dan sering melintas Jalan Adi Sucipto belum pernah dilarang. “Meski begitu, kita akan melihat dulu reaksi masyarakat. Kalau memang akan membuat masyarakat sulit, akan kita sampaikan aspirasi kita dengan baik,” pungkas Riwayat. (dvs/ain/ris)