26 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Saya akan Kembali ke Deli …

Pengakuan Sultan Deli XIV, Tuanku Mahmud Lamandjidji Perkasa Alam

Sultan Deli XIV, Tuanku Mahmud 
Lamandjidji Perkasa Alam
Sultan Deli XIV, Tuanku Mahmud
Lamandjidji Perkasa Alam
“Tugas saya sebagai Sultan Deli untuk menjaga kelestarian budaya Melayu,” begitu ucap Sultan Mahmud  Lamandjidji Perkasa Alam saat menginjakkan kaki di Medan; tanah leluhur yang ditinggalkannya sejak beberapa tahun yang lalu.

Sultan Deli XIV itu kini masih berusia 13 tahun. Gelar yang didapatnya sejak masih berusia kanak-kanak. “Saya menjadi sultan sejak usia 7 tahun, dulu saya tidak tahu makna dibalik kata Sultan, saya kira hanya nama saja,” ujarnya dengan logat Makassar.

Gelar yang didapatnya karena sang ayahanda yang merupakan Sultan Deli XIII Tuanku Tito Othman Mahmud Padrap yang juga merupakan anggota militer, meninggal dalam kecelakaan pesawat yang terjadi 2005 yang lalu.

Dan sejak saat itu, gelar yang jatuh secara turun temurun ini disandangnya. “Karena saya anak tertua dari ayah saya karena itu saya saya yang mendapat gelar ini,” papar remaja yang lahir di Makassar 29 Agustus 1998 yang lalu ini.

Sepeninggal sang ayah, sultan yang akrab disapa Jiji ini pun dibawa sang bunda untuk menatap di tanah kelahiran sang bunda. “Saya besar dan sekolah di Makassar dan kemari karena ada festival Melayu selain itu saya juga ingin mengunjungi sanak famili,” tambahnya.
Biasanya, setiap lebaran dirinya akan mengunjungi istana peninggalan leluhurnya, yaitu Istana Maimun. “Kalau ke Medan nginapnya juga di istana. Sekalian bisa main-main dengan keluarga di sini (Medan, Red),” tambahnya.

Saat ini kedatangan Jiji dalam rangka menghadiri Festival Budaya Melayu Agung yang berlangsung di Lapangan Merdeka sejak 6 hingga 10 Juli ini dianggapnya seperti pulang kampung. “Pulang kampung, senang rasanya, apalagi ini festival Melayu ya,” ujar Jiji yang memiliki bulu mata lentik ini. “Saya datang bersama kakek dan mama, tetapi mama lagi di hotel tidak ikut dalam acara ini,” lanjutnya.

Walau memiliki gelar bangsawan dan memiliki tanggung jawab yang berat, tetapi pria yang saat ini menimba ilmu di SMP Mulia Bakti Makassar kelas 3 di tahun ajaran baru ini tetap berkembang selayaknya seorang anak. Bahkan, saat diwawancarai, dengan santai Jiji bermain dengan kamera yang sedang menyorotnya. “Bahhhhh,” ungkapnya.

Dirinya menjelaskan, di Makassar tidak semua teman sepermainnya mengetahui statusnya sebagai Sultan Deli, kalau adapun yang tahu tetapi mereka tidak mengerti dan memahami itu. “Ada yang tahu, tetapi sama saja, mereka tidak ada yang memanggil saya Tuanku atau Mulia, mereka tetap memanggil nama saya Jiji,” tambahnya.

Disadarinya, dirinya tidak bisa memantau secara langsung perkembangan Kesultanan Deli, terutama Istana Maimun, berhubung dirinya yang saat ini berada di Makassar. Karena itu, untuk menjalankan tugasnya menjaga Istana salah satu yang dilakukannya adalah memantau melalui pemangku adat kesultanan yang berada di Medan. “Mereka atau saya yang menelepon untuk memberikan kabar di Medan. Tetapi mereka lebih sering telepon, kadang untuk laporan kadang untuk memberikan laporan. Saya juga kurang paham,” tambahnya dengan tersenyum.

Selain memiliki darah ningrat dari Kesultanan Deli, di tubuh Jiji juga mengalir darah ningrat yang dialiri dari sang bunda Ir Hj Siska Marabintang yang merupakan keturunan petinggi di Sulawesi Selatan. Karena itu, selain belajar dan memperdalam budaya Melayu, Jiji beserta sang adik Tuanku Zulkarni Othman Mahmud Mangendar Alam juga belajar kebudayaan Makassar.

“Pada Jiji, ada darah ningrat yang harus dijaganya dan itu tugas kita sebagai orangtua. Sejak dini, kita telah tanamkan bahwa dirinya adalah seorang Sultan Melayu Deli, tetapi di sisi lain dirinya juga memiliki darah ningrat dari Malaka karena itu kedua budaya itu selalu kita ajarkan ke Jiji,” ujar sang Kakek dari sang bunda, H Zainal Basri Palaguna yang juga mantan gubernur di Sulawesi Selatan.

Bukan hanya dalam hal pengetahuan tentang budaya, bahkan untuk sekolah juga Palaguna mengambil peran untuk sang cucu. Tidak heran, bila bertemu dengan Jiji akan selalu didampingi dengan sang kakek. “Saya hanya ingin menjaga Jiji, karena dia seorang Sultan, yang harus menjaga nama baik dirinya dan masyarakatnya,” ungkap sang kakek.

“Saya pilihkan sekolah untuk Jiji, agar dia bisa menimba ilmu dan mengenal budayanya sekaligus. Saat SD dia sekolah katolik, SMP di Mulia Bakti, tapi kalau dia sudah mengerti apa dan siapa dia, kita akan bebaskan sesuai dengan keinginannya,” tambahnya.

Kedekatan sang kakek dengan Sultan Deli ini tidak bisa dipungkiri, saat diwawancarai dan dirinya tidak bisa menjawab, maka dia akan mengandeng sang Kakek, sebagai isyarat dia butuh pertolongan untuk menjawab. Berkat asuhan sang kakek pula, Sultan yang masih belia ini juga mengetahui secara cara menghadapi orang penting di sekitarnya yang usianya jauh lebih tua dibandingkan dirinya.

Saat acara pembukaan Festival Budaya Melayu dan kirab Balai Melayu kemarin, Jiji terlihat gagah berdiri di samping Wali Kota Medan, Ketua DPRD Medan, DPRD Sumut, Sultan Hamengkubowono X dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadininggrat, dan sebagainya. Tidak terlihat sikap bosan yang biasanya keluar untuk anak usia remaja di acara resmi seperti itu. Bahkan, dengan tenang Jiji menghadapi semua petinggi di Sumut tersebut.
Hal yang menarik saat sebagian masyarakat yang bertemu langsung dengan dirinya di Pembukaan Kirab Balai Melayu minggu kemarin, sifat kekanak-kanakan Sultan ini pun keluar, dengan berbisik, Jiji bertanya kepada Sumut Pos. “Kakak, kenapa mereka melihat saya terus?” bisiknya.
“Jiji, mereka ingin salaman, salaman lah, mereka masyarakat Melayu,” balas Sumut Pos.
Dengan tersenyum, Jiji mengulurkan tangannya, yang membuat masyarakat sekitar berebutan untuk menggenggam tangannya.
Tak pelak, sebagian ibu yang membawa anaknya meminta restu dari Jiji. Bahkan, ada seorang ibu yang berlinang airmata dan berujar “Cepat besar ya Nak, cepat kembali kemari,” katanya.
“Saya akan kembali ke sini, setelah tamat SMA, atau kapan pun,” balasnya sambil tersenyum.
Ya, anak remaja yang masih ingusan ini dielukan oleh warganya, anak yang mencoba bersikap dewasa dan memahami gelar yang saat ini sedang disandangnya. “Budaya Melayu yang saat ini saya ketahui adalah tarian, nyanyian, dan sedikit sejarahnya. Tapi saya sudah tahu siapa saya, dan keturunan saya,” pungkasnya. (ram)

Pengakuan Sultan Deli XIV, Tuanku Mahmud Lamandjidji Perkasa Alam

Sultan Deli XIV, Tuanku Mahmud 
Lamandjidji Perkasa Alam
Sultan Deli XIV, Tuanku Mahmud
Lamandjidji Perkasa Alam
“Tugas saya sebagai Sultan Deli untuk menjaga kelestarian budaya Melayu,” begitu ucap Sultan Mahmud  Lamandjidji Perkasa Alam saat menginjakkan kaki di Medan; tanah leluhur yang ditinggalkannya sejak beberapa tahun yang lalu.

Sultan Deli XIV itu kini masih berusia 13 tahun. Gelar yang didapatnya sejak masih berusia kanak-kanak. “Saya menjadi sultan sejak usia 7 tahun, dulu saya tidak tahu makna dibalik kata Sultan, saya kira hanya nama saja,” ujarnya dengan logat Makassar.

Gelar yang didapatnya karena sang ayahanda yang merupakan Sultan Deli XIII Tuanku Tito Othman Mahmud Padrap yang juga merupakan anggota militer, meninggal dalam kecelakaan pesawat yang terjadi 2005 yang lalu.

Dan sejak saat itu, gelar yang jatuh secara turun temurun ini disandangnya. “Karena saya anak tertua dari ayah saya karena itu saya saya yang mendapat gelar ini,” papar remaja yang lahir di Makassar 29 Agustus 1998 yang lalu ini.

Sepeninggal sang ayah, sultan yang akrab disapa Jiji ini pun dibawa sang bunda untuk menatap di tanah kelahiran sang bunda. “Saya besar dan sekolah di Makassar dan kemari karena ada festival Melayu selain itu saya juga ingin mengunjungi sanak famili,” tambahnya.
Biasanya, setiap lebaran dirinya akan mengunjungi istana peninggalan leluhurnya, yaitu Istana Maimun. “Kalau ke Medan nginapnya juga di istana. Sekalian bisa main-main dengan keluarga di sini (Medan, Red),” tambahnya.

Saat ini kedatangan Jiji dalam rangka menghadiri Festival Budaya Melayu Agung yang berlangsung di Lapangan Merdeka sejak 6 hingga 10 Juli ini dianggapnya seperti pulang kampung. “Pulang kampung, senang rasanya, apalagi ini festival Melayu ya,” ujar Jiji yang memiliki bulu mata lentik ini. “Saya datang bersama kakek dan mama, tetapi mama lagi di hotel tidak ikut dalam acara ini,” lanjutnya.

Walau memiliki gelar bangsawan dan memiliki tanggung jawab yang berat, tetapi pria yang saat ini menimba ilmu di SMP Mulia Bakti Makassar kelas 3 di tahun ajaran baru ini tetap berkembang selayaknya seorang anak. Bahkan, saat diwawancarai, dengan santai Jiji bermain dengan kamera yang sedang menyorotnya. “Bahhhhh,” ungkapnya.

Dirinya menjelaskan, di Makassar tidak semua teman sepermainnya mengetahui statusnya sebagai Sultan Deli, kalau adapun yang tahu tetapi mereka tidak mengerti dan memahami itu. “Ada yang tahu, tetapi sama saja, mereka tidak ada yang memanggil saya Tuanku atau Mulia, mereka tetap memanggil nama saya Jiji,” tambahnya.

Disadarinya, dirinya tidak bisa memantau secara langsung perkembangan Kesultanan Deli, terutama Istana Maimun, berhubung dirinya yang saat ini berada di Makassar. Karena itu, untuk menjalankan tugasnya menjaga Istana salah satu yang dilakukannya adalah memantau melalui pemangku adat kesultanan yang berada di Medan. “Mereka atau saya yang menelepon untuk memberikan kabar di Medan. Tetapi mereka lebih sering telepon, kadang untuk laporan kadang untuk memberikan laporan. Saya juga kurang paham,” tambahnya dengan tersenyum.

Selain memiliki darah ningrat dari Kesultanan Deli, di tubuh Jiji juga mengalir darah ningrat yang dialiri dari sang bunda Ir Hj Siska Marabintang yang merupakan keturunan petinggi di Sulawesi Selatan. Karena itu, selain belajar dan memperdalam budaya Melayu, Jiji beserta sang adik Tuanku Zulkarni Othman Mahmud Mangendar Alam juga belajar kebudayaan Makassar.

“Pada Jiji, ada darah ningrat yang harus dijaganya dan itu tugas kita sebagai orangtua. Sejak dini, kita telah tanamkan bahwa dirinya adalah seorang Sultan Melayu Deli, tetapi di sisi lain dirinya juga memiliki darah ningrat dari Malaka karena itu kedua budaya itu selalu kita ajarkan ke Jiji,” ujar sang Kakek dari sang bunda, H Zainal Basri Palaguna yang juga mantan gubernur di Sulawesi Selatan.

Bukan hanya dalam hal pengetahuan tentang budaya, bahkan untuk sekolah juga Palaguna mengambil peran untuk sang cucu. Tidak heran, bila bertemu dengan Jiji akan selalu didampingi dengan sang kakek. “Saya hanya ingin menjaga Jiji, karena dia seorang Sultan, yang harus menjaga nama baik dirinya dan masyarakatnya,” ungkap sang kakek.

“Saya pilihkan sekolah untuk Jiji, agar dia bisa menimba ilmu dan mengenal budayanya sekaligus. Saat SD dia sekolah katolik, SMP di Mulia Bakti, tapi kalau dia sudah mengerti apa dan siapa dia, kita akan bebaskan sesuai dengan keinginannya,” tambahnya.

Kedekatan sang kakek dengan Sultan Deli ini tidak bisa dipungkiri, saat diwawancarai dan dirinya tidak bisa menjawab, maka dia akan mengandeng sang Kakek, sebagai isyarat dia butuh pertolongan untuk menjawab. Berkat asuhan sang kakek pula, Sultan yang masih belia ini juga mengetahui secara cara menghadapi orang penting di sekitarnya yang usianya jauh lebih tua dibandingkan dirinya.

Saat acara pembukaan Festival Budaya Melayu dan kirab Balai Melayu kemarin, Jiji terlihat gagah berdiri di samping Wali Kota Medan, Ketua DPRD Medan, DPRD Sumut, Sultan Hamengkubowono X dari Kesultanan Ngayogyakarta Hadininggrat, dan sebagainya. Tidak terlihat sikap bosan yang biasanya keluar untuk anak usia remaja di acara resmi seperti itu. Bahkan, dengan tenang Jiji menghadapi semua petinggi di Sumut tersebut.
Hal yang menarik saat sebagian masyarakat yang bertemu langsung dengan dirinya di Pembukaan Kirab Balai Melayu minggu kemarin, sifat kekanak-kanakan Sultan ini pun keluar, dengan berbisik, Jiji bertanya kepada Sumut Pos. “Kakak, kenapa mereka melihat saya terus?” bisiknya.
“Jiji, mereka ingin salaman, salaman lah, mereka masyarakat Melayu,” balas Sumut Pos.
Dengan tersenyum, Jiji mengulurkan tangannya, yang membuat masyarakat sekitar berebutan untuk menggenggam tangannya.
Tak pelak, sebagian ibu yang membawa anaknya meminta restu dari Jiji. Bahkan, ada seorang ibu yang berlinang airmata dan berujar “Cepat besar ya Nak, cepat kembali kemari,” katanya.
“Saya akan kembali ke sini, setelah tamat SMA, atau kapan pun,” balasnya sambil tersenyum.
Ya, anak remaja yang masih ingusan ini dielukan oleh warganya, anak yang mencoba bersikap dewasa dan memahami gelar yang saat ini sedang disandangnya. “Budaya Melayu yang saat ini saya ketahui adalah tarian, nyanyian, dan sedikit sejarahnya. Tapi saya sudah tahu siapa saya, dan keturunan saya,” pungkasnya. (ram)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/