32.8 C
Medan
Monday, May 6, 2024

Virus Corona Negatif di Indonesia, WHO Khawatir Tidak Terdeteksi

SUMUTPOS.CO – Meski telah menyebar ke banyak negara, kasus terkait virus corona belum ditemukan terkonfirmasi di Indonesia. Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto beberapa kali menegaskan hal itu, menyusul kasus-kasus suspect yang akhirnya terbukti negatif virus corona.

Fakta itu membuat masyarakat Indonesia lega. Namun, banyak pihak yang mempertanyakan kondisi tersebut. Salahsatunya WHO yang khawatir suspect corona tidak terdeteksi. Benarkah iklim hangat berpengaruh terhadap penonaktifan virus corona?

SEJAK ditemukan pada akhir Desember 2019 di Wuhan, Provinsi Hubei, China, virus corona telah menginfeksi banyak orang dan setidaknya telah menyebar ke 27 negara. Data terbaru, korban jiwa akibat virus menular ini sudah mencapai 803 orang di China.

Dikutip dari AFP, lonjakan jumlah korban itu terjadi setelah Provinsi Hubei melaporkan 81 kematian baru. Jumlah korban Virus Corona itu pun sudah lebih tinggi daripada jumlah kematian yang disebabkan oleh virus Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) secara global pada 2002-2003, yakni 774 orang.

Dalam laporan hariannya, Komisi Kesehatan Hubei juga mengonfirmasi 2.147 kasus baru di pusat provinsi, tempat wabah muncul pada bulan Desember 2019. Kini, lebih dari 36.690 kasus Corona dikonfirmasi di seluruh China. Belum termasuk kasus di berbagai negara.

Namun hingga kini, Indonesia masih negatif. Bahkan dari 238 warga negara Indonesia (WNI) dievakuasi oleh Pemerintah dari Wuhan pada 2 Februari lalu, menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, tak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan gejala infeksi virus corona.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Harvard University menganalisis jumlah penumpang yang terbang dari Wuhan ke destinasi-destinasi di seluruh dunia. Studi tersebut menemukan bahwa jumlah kasus virus corona yang teridentifikasi di Indonesia maupun di Kamboja angkanya di bawah perkiraan.

Studi yang dipublikasikan segera dengan tujuan meningkatkan pemahaman para peneliti mengenai wabah virus corona 2019-nCoV itu belum direview lebih lanjut, juga meningkatkan kekhawatiran bahwa kasus di dua negara tidak teridentifikasi.

Profesor Ian Mackay, ahli virus dari University of Queensland mengatakan, bila kasusnya tidak terdeteksi, maka ada risiko infeksi yang lebih luas dan kemungkinan outbreak baru. “Anda akan berpikir kontak terdekat seperti keluarga, teman dekat, atau pertemuan bisnis, yang mungkin terinfeksi kasus ini hingga kemudian membentuk titik infeksi,” kata Mackay.

Virolog itu mengatakan, para peneliti tak percaya bahwa paparan virus tersebut bersifat airborne (menular melalui udara). “Jadi (virus corona) tak sesederhana itu untuk dikenali. Anda harus berinteraksi dekat selama beberapa saat dengan seseorang untuk bisa tertular virus itu,” jelasnya.

Mackay berharap individu yang merasakan gejala infeksi virus corona segera memeriksakan diri dokter dan dikarantina setelah diketahui sejarah perjalanan mereka melibatkan negara terdampak.

WHO Khawatirkan Persiapan Indonesia

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga dikabarkan mengkhawatirkan kesiapan Indonesia menghadapi wabah virus corona. WHO meminta Indonesia meningkatkan kesiagaan karena hingga kini belum menerima adanya laporan kasus virus corona yang terkonfirmasi.

Ahli Epidemiologi Marc Lipsitch di Harvard TH Chan School of Public Health dikutip dari Voanews, (8/2) mengatakan, Thailand telah melaporkan 25 kasus virus corona. Namun, jumlah tersebut menurutnya bisa lebih banyak. Sedangkan Kamboja, menurutnya juga berpotensi memiliki jumlah kasus lebih banyak dari yang sekarang dilaporkan sebanyak satu orang terinfeksi virus corona.

Melansir laman Dailymail, perwakilan WHO untuk Indonesia, Dr Navaratnasamy Paranietharan mengatakan, Indonesia sudah melakukan perhitungan matang dalam menghadapi ancaman virus corona. Meski demikian, Paranietharan mengatakan, Indonesia masih bisa lebih mempersiapkan diri, misalnya pada area surveilans dan deteksi kasus serta fasilitas kesehatan dengan perlengkapan yang adekuat sehingga dapat menghadapi kemungkinan pasien suspect dengan kondisi buruk atau skenario outbreak.

“Indonesia melakukan apa pun yang mungkin dilakukan untuk bersiap menghadapi dan mencegah masuknya virus corona,” ucapnya.

Paranietharan mengatakan, WHO memang khawatir akan kesiapan Indonesia karena belum ada laporan kasus infeksi virus corona hingga kini, namun badan kesehatan dunia itu telah mengakui bahwa lab kesehatan yang dimiliki Indonesia berfungsi baik.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Kemenkes, Dr dr Vivi Setyawaty M Biomed mengatakan, pihaknya telah melaksanakan prosedur pemeriksaan terkait novel coronavirus sesuai pedoman WHO. “Sejak kasus itu merebak, sudah ada guide line dari WHO dan kami sudah melakukan dan menyesuaikan dengan checklist reagen-reagen yang dibutuhkan, dan WHO juga telah menerima itu,” ujar Vivi, di Jakarta.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes RI, Wiendra Waworuntu mengatakan, pemerintah Indonesia telah belajar dari pengalaman menangani kasus SARS pada 2002-2003. WHO mencatat, hanya ada 2 kasus terkait SARS di Indonesia.

Di sisi lain, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko mengatakan, Indonesia telah memiliki alat untuk mendeteksi virus corona. Hal tersebut disampaikan Moeldoko setelah rapat koordinasi tingkat menteri di Kantor Staf Presiden, Kamis (6/2/2020). “Indonesia sudah memiliki alat untuk mendeteksi atas virus korona. Tadi ada profesor yang telah menyampaikan informasi, kemampuan Indonesia untuk mendeteksi kalau terjadi sesuatu karena ini,” ujar Moeldoko.

Sementara itu, Kepala Lembaga Biologi Molekul Eijckman Amin Subandrio mengatakan, alat yang digunakan untuk mendeteksi virus tersebut ada dua jenis. Pertama, polymerase chain reaction (PCR) dan kedua adalah alat untuk mengonfirmasi. “Di Indonesia yang punya alat itu cukup banyak, bukan hanya laboratorium penelitian di perguruan tinggi tapi juga di lab swasta,” kata Amin.

Namun, kata dia, alat tersebut tidak digunakan rutin untuk memeriksa virus corona. Hanya saja, saat ini yang bisa memeriksa dan memastikan soal virus corona adalah dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (litbangkes) Kementerian Kesehatan. Lembaga Eijckman, kata dia, sudah memiliki alat tersebut di Pusat Genom Nasional yang bisa mendeteksi berbagai macam virus.

Beberapa waktu lalu, lembaga tersebut juga mengisolasi virus H5N1 atau virus flu burung. “Terkait virus corona, kami sudah punya pengalaman mendeteksi virus corona meski jenis lain,” kata dia.

Iklim Berpengaruh?

Sementara itu, melansir laman Channel News Asia, kecepatan persebaran virus corona juga diduga memiliki keterkaitan dengan kondisi iklim suatu negara. Ada anggapan bahwa pola seasonal virus corona baru bisa jadi serupa dengan infeksi influensa dan SARS. Kedua kasus tersebut turun drastis pada Mei ketika suhu cuaca di China menghangat.

Pada negara-negara dengan suhu serupa China dan AS, musim flu biasanya mulai Desember dan mencapai puncaknya pada Januari atau Februari dan menurun setelahnya. SARS berakhir pada 2003 ketika musim panas utara muncul.

Banyak penelitian terhadap virus corona yang menyebabkan pilek bisa bertahan 30 kali lebih lama pada daerah dengan suhu 6 derajat Celsius dibandingkan dengan wilayah dengan suhu 20 derajat Celsius dan tingkat kelembapan tinggi.

Sebuah studi yang belum lama ini dilakukan oleh Profesor Malik Peiris dan Profesor Seto Wing Hong dari Hong Kong University menunjukkan bahwa suhu dingin dan kelembapan yang relatif rendah memungkinkan virus SARS bertahan lebih lama dibandingkan di daerah dengan temperatur dan kelembapan tinggi.

Ahli mikrobiologi RS Universitas Indonesia Fera Ibrahim mengatakan, sinar ultraviolet B (UVB) dapat menonaktifkan virus, termasuk virus corona. Paparan sinar ultraviolet B terhadap virus corona yang berada di ruang terbuka membuatnya tidak aktif.

“Ya, saya rasa virus corona lebih terkonsentrasi mampu bertahan hidup pada cuaca atau udara yang lebih dingin dan lembab,” kata ahli mikrobiologi RS Universitas Indonesia Fera Ibrahim dalam diskusi tentang Virus Corona di RS UI.

“Sinar ultraviolet bisa membuat sel virus tidak aktif. Saya rasa itu yang membantu kita terhindar (virus corona). Mudah-mudahan sih kita terhindar terus dan tidak ada yang terkonfirmasi terinfeksi virus,” Fera menerangkan.

Singapura dan Jepang Mulai Dihindari Wisatawan

Sementara itu, persebaran virus corona yang terus meluas membuat pariwisata beberapa negara terkena dampaknya. Misalnya Singapura dan Jepang yang saat ini juga dihindari oleh wisatawan mancanegara, karena banyaknya suspek virus corona yang sudah terdeteksi di dua negara tersebut.

Belum lama ini, Singapura menaikkan status bahaya corona di negaranya dari ‘kuning’ ke ‘oranye’.

Singapura menemukan 4 kasus orang yang terdiagnosis virus corona. Padahal tidak memiliki hubungan dengan pasien lain dan tidak melakukan kunjungan ke China baru-baru ini.

Sejauh ini Jepang telah mengonfirmasi terdapat 64 kasus positif infeksi virus corona. Pembatalan penerbangan Di Twitter, banyak akun yang menanyakan pada maskapai penerbangan yang telah mereka pesan, apakah bisa membatalkan penerbangan ke Singapura juga Jepang.

Singapura dan Jepang menjadi negara yang diwaspadai oleh para wisatawan bukan karena banyaknya kasus corona yang ditemukan. Namun juga padatnya penduduk di kedua negara tersebut. Juga banyaknya arus wisatawan dari China yang mengunjungi keduanya. Fenomena ini tentu banyak berdampak pada agensi yang mengalami pembatalan perjalanan.

Direktur Komunikasi Pemasaran Dynasty Travel, Alicia Seah mengatakan terjadi penurunan perjalanan yang begitu drastis. Alicia memperkirakan terjadi kerugian sebanyak 40-50 persen untuk semester pertama tahun 2020. “Mereka tidak mau mengambil risiko dan menghindari datang ke Singapura selama Februari dan Maret,” kata dia.

Ekonom DBS Irvin Seah memperkirakan terjadi kehilangan potensi sekitar 1 juta wisatawan dampak dari wabah virus corona. Dari jumlah itu Singapura kehilangan potensi pemasukkan 1 miliar dollar Singapura atau setara dengan 719 juta dollar AS dari sektor pariwisata.

Menteri Transportasi Singapura, Khaw Boom Wan mengatakan kementeriannya sedang bekerja dengan sangat cepat bersama Kementerian Keuangan. Mereka berupaya mengembangkan paket wisata untuk membantu pihak-pihak yang bergerak di sektor penerbangan. Khaw juga meminta percepatan pembangunan Terminal 5 Changi Airport selagi aktivitas di sana cukup berkurang. (lp6/cnn/int)

SUMUTPOS.CO – Meski telah menyebar ke banyak negara, kasus terkait virus corona belum ditemukan terkonfirmasi di Indonesia. Menteri Kesehatan RI Terawan Agus Putranto beberapa kali menegaskan hal itu, menyusul kasus-kasus suspect yang akhirnya terbukti negatif virus corona.

Fakta itu membuat masyarakat Indonesia lega. Namun, banyak pihak yang mempertanyakan kondisi tersebut. Salahsatunya WHO yang khawatir suspect corona tidak terdeteksi. Benarkah iklim hangat berpengaruh terhadap penonaktifan virus corona?

SEJAK ditemukan pada akhir Desember 2019 di Wuhan, Provinsi Hubei, China, virus corona telah menginfeksi banyak orang dan setidaknya telah menyebar ke 27 negara. Data terbaru, korban jiwa akibat virus menular ini sudah mencapai 803 orang di China.

Dikutip dari AFP, lonjakan jumlah korban itu terjadi setelah Provinsi Hubei melaporkan 81 kematian baru. Jumlah korban Virus Corona itu pun sudah lebih tinggi daripada jumlah kematian yang disebabkan oleh virus Sindrom Pernafasan Akut Parah (SARS) secara global pada 2002-2003, yakni 774 orang.

Dalam laporan hariannya, Komisi Kesehatan Hubei juga mengonfirmasi 2.147 kasus baru di pusat provinsi, tempat wabah muncul pada bulan Desember 2019. Kini, lebih dari 36.690 kasus Corona dikonfirmasi di seluruh China. Belum termasuk kasus di berbagai negara.

Namun hingga kini, Indonesia masih negatif. Bahkan dari 238 warga negara Indonesia (WNI) dievakuasi oleh Pemerintah dari Wuhan pada 2 Februari lalu, menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, tak ada satu pun dari mereka yang menunjukkan gejala infeksi virus corona.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Harvard University menganalisis jumlah penumpang yang terbang dari Wuhan ke destinasi-destinasi di seluruh dunia. Studi tersebut menemukan bahwa jumlah kasus virus corona yang teridentifikasi di Indonesia maupun di Kamboja angkanya di bawah perkiraan.

Studi yang dipublikasikan segera dengan tujuan meningkatkan pemahaman para peneliti mengenai wabah virus corona 2019-nCoV itu belum direview lebih lanjut, juga meningkatkan kekhawatiran bahwa kasus di dua negara tidak teridentifikasi.

Profesor Ian Mackay, ahli virus dari University of Queensland mengatakan, bila kasusnya tidak terdeteksi, maka ada risiko infeksi yang lebih luas dan kemungkinan outbreak baru. “Anda akan berpikir kontak terdekat seperti keluarga, teman dekat, atau pertemuan bisnis, yang mungkin terinfeksi kasus ini hingga kemudian membentuk titik infeksi,” kata Mackay.

Virolog itu mengatakan, para peneliti tak percaya bahwa paparan virus tersebut bersifat airborne (menular melalui udara). “Jadi (virus corona) tak sesederhana itu untuk dikenali. Anda harus berinteraksi dekat selama beberapa saat dengan seseorang untuk bisa tertular virus itu,” jelasnya.

Mackay berharap individu yang merasakan gejala infeksi virus corona segera memeriksakan diri dokter dan dikarantina setelah diketahui sejarah perjalanan mereka melibatkan negara terdampak.

WHO Khawatirkan Persiapan Indonesia

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga dikabarkan mengkhawatirkan kesiapan Indonesia menghadapi wabah virus corona. WHO meminta Indonesia meningkatkan kesiagaan karena hingga kini belum menerima adanya laporan kasus virus corona yang terkonfirmasi.

Ahli Epidemiologi Marc Lipsitch di Harvard TH Chan School of Public Health dikutip dari Voanews, (8/2) mengatakan, Thailand telah melaporkan 25 kasus virus corona. Namun, jumlah tersebut menurutnya bisa lebih banyak. Sedangkan Kamboja, menurutnya juga berpotensi memiliki jumlah kasus lebih banyak dari yang sekarang dilaporkan sebanyak satu orang terinfeksi virus corona.

Melansir laman Dailymail, perwakilan WHO untuk Indonesia, Dr Navaratnasamy Paranietharan mengatakan, Indonesia sudah melakukan perhitungan matang dalam menghadapi ancaman virus corona. Meski demikian, Paranietharan mengatakan, Indonesia masih bisa lebih mempersiapkan diri, misalnya pada area surveilans dan deteksi kasus serta fasilitas kesehatan dengan perlengkapan yang adekuat sehingga dapat menghadapi kemungkinan pasien suspect dengan kondisi buruk atau skenario outbreak.

“Indonesia melakukan apa pun yang mungkin dilakukan untuk bersiap menghadapi dan mencegah masuknya virus corona,” ucapnya.

Paranietharan mengatakan, WHO memang khawatir akan kesiapan Indonesia karena belum ada laporan kasus infeksi virus corona hingga kini, namun badan kesehatan dunia itu telah mengakui bahwa lab kesehatan yang dimiliki Indonesia berfungsi baik.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Kemenkes, Dr dr Vivi Setyawaty M Biomed mengatakan, pihaknya telah melaksanakan prosedur pemeriksaan terkait novel coronavirus sesuai pedoman WHO. “Sejak kasus itu merebak, sudah ada guide line dari WHO dan kami sudah melakukan dan menyesuaikan dengan checklist reagen-reagen yang dibutuhkan, dan WHO juga telah menerima itu,” ujar Vivi, di Jakarta.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kemenkes RI, Wiendra Waworuntu mengatakan, pemerintah Indonesia telah belajar dari pengalaman menangani kasus SARS pada 2002-2003. WHO mencatat, hanya ada 2 kasus terkait SARS di Indonesia.

Di sisi lain, Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko mengatakan, Indonesia telah memiliki alat untuk mendeteksi virus corona. Hal tersebut disampaikan Moeldoko setelah rapat koordinasi tingkat menteri di Kantor Staf Presiden, Kamis (6/2/2020). “Indonesia sudah memiliki alat untuk mendeteksi atas virus korona. Tadi ada profesor yang telah menyampaikan informasi, kemampuan Indonesia untuk mendeteksi kalau terjadi sesuatu karena ini,” ujar Moeldoko.

Sementara itu, Kepala Lembaga Biologi Molekul Eijckman Amin Subandrio mengatakan, alat yang digunakan untuk mendeteksi virus tersebut ada dua jenis. Pertama, polymerase chain reaction (PCR) dan kedua adalah alat untuk mengonfirmasi. “Di Indonesia yang punya alat itu cukup banyak, bukan hanya laboratorium penelitian di perguruan tinggi tapi juga di lab swasta,” kata Amin.

Namun, kata dia, alat tersebut tidak digunakan rutin untuk memeriksa virus corona. Hanya saja, saat ini yang bisa memeriksa dan memastikan soal virus corona adalah dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (litbangkes) Kementerian Kesehatan. Lembaga Eijckman, kata dia, sudah memiliki alat tersebut di Pusat Genom Nasional yang bisa mendeteksi berbagai macam virus.

Beberapa waktu lalu, lembaga tersebut juga mengisolasi virus H5N1 atau virus flu burung. “Terkait virus corona, kami sudah punya pengalaman mendeteksi virus corona meski jenis lain,” kata dia.

Iklim Berpengaruh?

Sementara itu, melansir laman Channel News Asia, kecepatan persebaran virus corona juga diduga memiliki keterkaitan dengan kondisi iklim suatu negara. Ada anggapan bahwa pola seasonal virus corona baru bisa jadi serupa dengan infeksi influensa dan SARS. Kedua kasus tersebut turun drastis pada Mei ketika suhu cuaca di China menghangat.

Pada negara-negara dengan suhu serupa China dan AS, musim flu biasanya mulai Desember dan mencapai puncaknya pada Januari atau Februari dan menurun setelahnya. SARS berakhir pada 2003 ketika musim panas utara muncul.

Banyak penelitian terhadap virus corona yang menyebabkan pilek bisa bertahan 30 kali lebih lama pada daerah dengan suhu 6 derajat Celsius dibandingkan dengan wilayah dengan suhu 20 derajat Celsius dan tingkat kelembapan tinggi.

Sebuah studi yang belum lama ini dilakukan oleh Profesor Malik Peiris dan Profesor Seto Wing Hong dari Hong Kong University menunjukkan bahwa suhu dingin dan kelembapan yang relatif rendah memungkinkan virus SARS bertahan lebih lama dibandingkan di daerah dengan temperatur dan kelembapan tinggi.

Ahli mikrobiologi RS Universitas Indonesia Fera Ibrahim mengatakan, sinar ultraviolet B (UVB) dapat menonaktifkan virus, termasuk virus corona. Paparan sinar ultraviolet B terhadap virus corona yang berada di ruang terbuka membuatnya tidak aktif.

“Ya, saya rasa virus corona lebih terkonsentrasi mampu bertahan hidup pada cuaca atau udara yang lebih dingin dan lembab,” kata ahli mikrobiologi RS Universitas Indonesia Fera Ibrahim dalam diskusi tentang Virus Corona di RS UI.

“Sinar ultraviolet bisa membuat sel virus tidak aktif. Saya rasa itu yang membantu kita terhindar (virus corona). Mudah-mudahan sih kita terhindar terus dan tidak ada yang terkonfirmasi terinfeksi virus,” Fera menerangkan.

Singapura dan Jepang Mulai Dihindari Wisatawan

Sementara itu, persebaran virus corona yang terus meluas membuat pariwisata beberapa negara terkena dampaknya. Misalnya Singapura dan Jepang yang saat ini juga dihindari oleh wisatawan mancanegara, karena banyaknya suspek virus corona yang sudah terdeteksi di dua negara tersebut.

Belum lama ini, Singapura menaikkan status bahaya corona di negaranya dari ‘kuning’ ke ‘oranye’.

Singapura menemukan 4 kasus orang yang terdiagnosis virus corona. Padahal tidak memiliki hubungan dengan pasien lain dan tidak melakukan kunjungan ke China baru-baru ini.

Sejauh ini Jepang telah mengonfirmasi terdapat 64 kasus positif infeksi virus corona. Pembatalan penerbangan Di Twitter, banyak akun yang menanyakan pada maskapai penerbangan yang telah mereka pesan, apakah bisa membatalkan penerbangan ke Singapura juga Jepang.

Singapura dan Jepang menjadi negara yang diwaspadai oleh para wisatawan bukan karena banyaknya kasus corona yang ditemukan. Namun juga padatnya penduduk di kedua negara tersebut. Juga banyaknya arus wisatawan dari China yang mengunjungi keduanya. Fenomena ini tentu banyak berdampak pada agensi yang mengalami pembatalan perjalanan.

Direktur Komunikasi Pemasaran Dynasty Travel, Alicia Seah mengatakan terjadi penurunan perjalanan yang begitu drastis. Alicia memperkirakan terjadi kerugian sebanyak 40-50 persen untuk semester pertama tahun 2020. “Mereka tidak mau mengambil risiko dan menghindari datang ke Singapura selama Februari dan Maret,” kata dia.

Ekonom DBS Irvin Seah memperkirakan terjadi kehilangan potensi sekitar 1 juta wisatawan dampak dari wabah virus corona. Dari jumlah itu Singapura kehilangan potensi pemasukkan 1 miliar dollar Singapura atau setara dengan 719 juta dollar AS dari sektor pariwisata.

Menteri Transportasi Singapura, Khaw Boom Wan mengatakan kementeriannya sedang bekerja dengan sangat cepat bersama Kementerian Keuangan. Mereka berupaya mengembangkan paket wisata untuk membantu pihak-pihak yang bergerak di sektor penerbangan. Khaw juga meminta percepatan pembangunan Terminal 5 Changi Airport selagi aktivitas di sana cukup berkurang. (lp6/cnn/int)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/