30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Pada 1983 Itu Indonesia Jadi Tertawaan Dunia

Yang juga berbeda tentu saja peralatan. Yang diboyongnya ke Parigi Moutong saat ini tergolong sangat lengkap dan canggih. Salah satunya teleskop ekuatorial. Benda yang berfungsi untuk melihat benda langit itu bisa mengikuti gerakan matahari secara otomatis sehingga tidak perlu operator yang menggerakkannya.

Yang kedua adalah laptop. Gambar yang ditangkap dari teleskop bisa langsung terhubung ke laptop. Dengan demikian, peneliti dengan gampang melihat kejadian yang ada di matahari. ’’Sehingga semua proses GMT bisa direkam dan diabadikan,’’ jelasnya.

Pada 1983 tim hanya berbekal dua alat. Yaitu, teleskop tipe celestrone yang ditempeli kamera film, bukan kamera digital. Teleskop celestrone tersebut bekerja secara manual.

Jadilah operator harus membidik terus-menerus posisi matahari, sedangkan kamera film digunakan untuk mengabadikan gerak-gerik sang surya. Setiap 5 menit petugas selalu memotret. Sungguh menguras keringat.

Beruntung kerja keras tersebut berbuah manis. Saat itu tim berhasil mendapatkan gambar GMT yang jelas. Gunawan mengaku, hasil penelitian itu langsung disimpan si dosen.

Tapi, bagi Gunawan, tetap saja yang tak terlupakan dari GMT 1983 adalah kekonyolan kebijakan rezim yang berkuasa. ’’Kalangan kampus sebenarnya sudah berjuang meyakinkan bahwa GMT itu aman dilihat,’’ tuturnya.

Tentu asal caranya benar. ’’Misalnya, menggunakan kacamata khusus yang antiradiasi matahari. Namun, pemerintah tetap jadi pemenangnya,’’ ujarnya.

Alhasil, partisipasi warga dalam GMT 1983 sangat minim. Di Cepu, Gunawan mengaku, pihaknya memang berhasil mengajak warga untuk melihat gerhana. Tapi, jumlahnya sangat terbatas.

Kesalahpahaman itulah yang berupaya dicegah Lapan agar tidak sampai terulang. Karena itu, selain meneliti, tim di Parigi Moutong dipercaya memberikan sosialisasi kepada anak-anak sekolah. Kegiatan serupa dilakukan berbagai komunitas astronomi yang melakukan pengamatan di kawasan lain.

Tujuannya, memancing kemauan serta minat siswa untuk melakukan pengamatan ketika GMT. ’’Dan yang paling penting agar kejadian tahun 1983 tidak terulang kembali,’’ tegasnya.

Satu per satu sekolah di Parigi Moutong dimasuki Gunawan dan dua koleganya. Di setiap sekolah dia menggelar tanya jawab. Gunawan mengakui, masih banyak siswa yang belum sepenuhnya paham apa itu GMT.

Hal tersebut, kata dia, terbukti lewat berbagai pertanyaan yang mereka ajukan. Misalnya, apakah boleh melihat gerhana dan berapa tahun gerhana matahari total akan terulang.

Tapi, bagaimanapun, Gunawan tetap puas akan tingginya keingintahuan para siswa. Sebab, dari sana kelak mereka paham mengapa GMT merupakan peristiwa yang sangat layak diamati dan dipelajari.

Misalnya, terkait dengan korona atau lapisan terluar matahari. ’’Banyak yang menyebutkan bahwa lapisan itu lebih panas dari permukaan matahari yang panasnya mencapai 6.000 derajat Celsius. Rahasia itulah yang akan dikejar para peneliti gerhana,’’ ujarnya. (*/c5/ttg)

Yang juga berbeda tentu saja peralatan. Yang diboyongnya ke Parigi Moutong saat ini tergolong sangat lengkap dan canggih. Salah satunya teleskop ekuatorial. Benda yang berfungsi untuk melihat benda langit itu bisa mengikuti gerakan matahari secara otomatis sehingga tidak perlu operator yang menggerakkannya.

Yang kedua adalah laptop. Gambar yang ditangkap dari teleskop bisa langsung terhubung ke laptop. Dengan demikian, peneliti dengan gampang melihat kejadian yang ada di matahari. ’’Sehingga semua proses GMT bisa direkam dan diabadikan,’’ jelasnya.

Pada 1983 tim hanya berbekal dua alat. Yaitu, teleskop tipe celestrone yang ditempeli kamera film, bukan kamera digital. Teleskop celestrone tersebut bekerja secara manual.

Jadilah operator harus membidik terus-menerus posisi matahari, sedangkan kamera film digunakan untuk mengabadikan gerak-gerik sang surya. Setiap 5 menit petugas selalu memotret. Sungguh menguras keringat.

Beruntung kerja keras tersebut berbuah manis. Saat itu tim berhasil mendapatkan gambar GMT yang jelas. Gunawan mengaku, hasil penelitian itu langsung disimpan si dosen.

Tapi, bagi Gunawan, tetap saja yang tak terlupakan dari GMT 1983 adalah kekonyolan kebijakan rezim yang berkuasa. ’’Kalangan kampus sebenarnya sudah berjuang meyakinkan bahwa GMT itu aman dilihat,’’ tuturnya.

Tentu asal caranya benar. ’’Misalnya, menggunakan kacamata khusus yang antiradiasi matahari. Namun, pemerintah tetap jadi pemenangnya,’’ ujarnya.

Alhasil, partisipasi warga dalam GMT 1983 sangat minim. Di Cepu, Gunawan mengaku, pihaknya memang berhasil mengajak warga untuk melihat gerhana. Tapi, jumlahnya sangat terbatas.

Kesalahpahaman itulah yang berupaya dicegah Lapan agar tidak sampai terulang. Karena itu, selain meneliti, tim di Parigi Moutong dipercaya memberikan sosialisasi kepada anak-anak sekolah. Kegiatan serupa dilakukan berbagai komunitas astronomi yang melakukan pengamatan di kawasan lain.

Tujuannya, memancing kemauan serta minat siswa untuk melakukan pengamatan ketika GMT. ’’Dan yang paling penting agar kejadian tahun 1983 tidak terulang kembali,’’ tegasnya.

Satu per satu sekolah di Parigi Moutong dimasuki Gunawan dan dua koleganya. Di setiap sekolah dia menggelar tanya jawab. Gunawan mengakui, masih banyak siswa yang belum sepenuhnya paham apa itu GMT.

Hal tersebut, kata dia, terbukti lewat berbagai pertanyaan yang mereka ajukan. Misalnya, apakah boleh melihat gerhana dan berapa tahun gerhana matahari total akan terulang.

Tapi, bagaimanapun, Gunawan tetap puas akan tingginya keingintahuan para siswa. Sebab, dari sana kelak mereka paham mengapa GMT merupakan peristiwa yang sangat layak diamati dan dipelajari.

Misalnya, terkait dengan korona atau lapisan terluar matahari. ’’Banyak yang menyebutkan bahwa lapisan itu lebih panas dari permukaan matahari yang panasnya mencapai 6.000 derajat Celsius. Rahasia itulah yang akan dikejar para peneliti gerhana,’’ ujarnya. (*/c5/ttg)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/