27.8 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Pada 1983 Itu Indonesia Jadi Tertawaan Dunia

FOTO: Guslan Gumilang/Jawa Pos Agustinus Gunawan Muhammad  (tengah) bersama Aditya Wiguna operator teleskop dan Aries Kurniawan kepala balai LAPAN sumedang tergabung dalam Tim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mempersiapkan alat yang digunakan untuk memantau gerhana matahari total di kabupaten Parigi Moutong di pantai Pange desa Pelawa Baru Sulawesi tengah.
FOTO: Guslan Gumilang/Jawa Pos
Agustinus Gunawan Muhammad (tengah) bersama Aditya Wiguna operator teleskop dan Aries Kurniawan kepala balai LAPAN sumedang tergabung dalam Tim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mempersiapkan alat yang digunakan untuk memantau gerhana matahari total di kabupaten Parigi Moutong di pantai Pange desa Pelawa Baru Sulawesi tengah.

Agustinus Gunawan Admiranto bersyukur ada perubahan cara pandang pemerintah dan masyarakat dalam gerhana matahari total tahun ini. Pancing minat anak muda terhadap gerhana dengan berkeliling dari sekolah ke sekolah.

 

ARISKI PRASETYO HADI, Parigi Moutong

 

SUDAH lewat lebih dari tiga dekade. Tapi, tiap kali mengenang gerhana matahari total pada 1983, Agustinus Gunawan Admiranto selalu tak kuasa menahan senyum.

’’Bisa dibilang kita jadi tertawaan dunia saat itu,’’ kata peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) tersebut.

Di sebuah homestay di Parigi Moutong, tempat dia bertemu Jawa Pos (grup Sumut Pos) kemarin siang (8/3) itu, kelelahan Gunawan sebenarnya belum hilang betul. Badannya masih dibungkus kemeja biru lengan panjang dipadu dengan celana kain hitam.

Kulitnya terlihat hitam tersengat sinar matahari. ’’Saya barusan pulang memberi materi tentang GMT (gerhana matahari total, Red) di SMPN 2 Parigi Moutong,’’ ucap pria berbadan kurus tersebut.

Tapi, selelah apa pun pria 55 tahun itu, gerhana memang selalu membuat semangatnya menyala. Posisinya pun istimewa di kalangan peneliti gerhana. Baik di tim Lapan yang diterjunkan di Parigi Moutong maupun tim yang dibentuk lembaga lain.

Semua karena jam terbangnya. Sebab, saat GMT mampir di Indonesia 33 tahun silam tersebut, dia sudah ikut meneliti.

Karena itu, Rabu siang kemarin, memori lebih dari tiga dekade tersebut dengan gampang dikonstruksinya kembali. Jadilah sebuah cerita runtun tentang sebuah negeri yang memperlakukan fenomena alam langka dengan penuh kekonyolan.

Pada GMT 1983 itu, ada empat kota di Indonesia yang dilintasi. Yaitu, Pangandaran, Jawa Barat; Cepu, Jawa Tengah; Lamongan, Jawa Timur; serta Makassar, Sulawesi Selatan.

Sayang, kenang Gunawan, pemerintah terlalu khawatir. Lewat media massa, mereka mengimbau keras jangan ada yang melihat gerhana. Alasannya: bisa merusak penglihatan.

Padahal, lanjut alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu, tidak ada korelasi antara melihat GMT dan kebutaan. ’’Bahkan, ada kepala kebun binatang di salah satu kota yang menutup kandang binatang dengan kain. Khawatir hewan-hewan akan buta melihat gerhana,’’ terangnya, lantas tertawa.

Ketika itu, Gunawan masih mahasiswa semester enam jurusan astronomi di ITB. Dia mengaku sangat beruntung bisa tergabung dalam tim peneliti ITB yang dibentuk dosennya. Tim tersebut akhirnya memilih meneliti di Cepu.

’’Cepu kami pilih karena mudah diakses,’’ kata pria yang sehari-hari tinggal di Bandung itu.

Pengalaman tersebut mendudukkan Gunawan dalam posisi istimewa. Dalam tim yang diterjunkan Lapan di Parigi Moutong untuk memantau GMT pagi ini, dia satu-satunya yang turut meneliti GMT 1983.

Membandingkan dengan yang dialaminya pada 1983, Gunawan mengaku bersyukur bahwa perilaku orang terhadap GMT berubah. Kalau dulu demikian takut, sekarang demikian bergairah.

Di 11 kota yang dilintasi GMT, termasuk Parigi Moutong yang terletak 60 kilometer dari Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, pemerintah setempat menyambut dengan berbagai perayaan. Wisatawan, baik asing maupun domestik, juga berdatangan.

FOTO: Guslan Gumilang/Jawa Pos Agustinus Gunawan Muhammad  (tengah) bersama Aditya Wiguna operator teleskop dan Aries Kurniawan kepala balai LAPAN sumedang tergabung dalam Tim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mempersiapkan alat yang digunakan untuk memantau gerhana matahari total di kabupaten Parigi Moutong di pantai Pange desa Pelawa Baru Sulawesi tengah.
FOTO: Guslan Gumilang/Jawa Pos
Agustinus Gunawan Muhammad (tengah) bersama Aditya Wiguna operator teleskop dan Aries Kurniawan kepala balai LAPAN sumedang tergabung dalam Tim Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mempersiapkan alat yang digunakan untuk memantau gerhana matahari total di kabupaten Parigi Moutong di pantai Pange desa Pelawa Baru Sulawesi tengah.

Agustinus Gunawan Admiranto bersyukur ada perubahan cara pandang pemerintah dan masyarakat dalam gerhana matahari total tahun ini. Pancing minat anak muda terhadap gerhana dengan berkeliling dari sekolah ke sekolah.

 

ARISKI PRASETYO HADI, Parigi Moutong

 

SUDAH lewat lebih dari tiga dekade. Tapi, tiap kali mengenang gerhana matahari total pada 1983, Agustinus Gunawan Admiranto selalu tak kuasa menahan senyum.

’’Bisa dibilang kita jadi tertawaan dunia saat itu,’’ kata peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) tersebut.

Di sebuah homestay di Parigi Moutong, tempat dia bertemu Jawa Pos (grup Sumut Pos) kemarin siang (8/3) itu, kelelahan Gunawan sebenarnya belum hilang betul. Badannya masih dibungkus kemeja biru lengan panjang dipadu dengan celana kain hitam.

Kulitnya terlihat hitam tersengat sinar matahari. ’’Saya barusan pulang memberi materi tentang GMT (gerhana matahari total, Red) di SMPN 2 Parigi Moutong,’’ ucap pria berbadan kurus tersebut.

Tapi, selelah apa pun pria 55 tahun itu, gerhana memang selalu membuat semangatnya menyala. Posisinya pun istimewa di kalangan peneliti gerhana. Baik di tim Lapan yang diterjunkan di Parigi Moutong maupun tim yang dibentuk lembaga lain.

Semua karena jam terbangnya. Sebab, saat GMT mampir di Indonesia 33 tahun silam tersebut, dia sudah ikut meneliti.

Karena itu, Rabu siang kemarin, memori lebih dari tiga dekade tersebut dengan gampang dikonstruksinya kembali. Jadilah sebuah cerita runtun tentang sebuah negeri yang memperlakukan fenomena alam langka dengan penuh kekonyolan.

Pada GMT 1983 itu, ada empat kota di Indonesia yang dilintasi. Yaitu, Pangandaran, Jawa Barat; Cepu, Jawa Tengah; Lamongan, Jawa Timur; serta Makassar, Sulawesi Selatan.

Sayang, kenang Gunawan, pemerintah terlalu khawatir. Lewat media massa, mereka mengimbau keras jangan ada yang melihat gerhana. Alasannya: bisa merusak penglihatan.

Padahal, lanjut alumnus Institut Teknologi Bandung (ITB) itu, tidak ada korelasi antara melihat GMT dan kebutaan. ’’Bahkan, ada kepala kebun binatang di salah satu kota yang menutup kandang binatang dengan kain. Khawatir hewan-hewan akan buta melihat gerhana,’’ terangnya, lantas tertawa.

Ketika itu, Gunawan masih mahasiswa semester enam jurusan astronomi di ITB. Dia mengaku sangat beruntung bisa tergabung dalam tim peneliti ITB yang dibentuk dosennya. Tim tersebut akhirnya memilih meneliti di Cepu.

’’Cepu kami pilih karena mudah diakses,’’ kata pria yang sehari-hari tinggal di Bandung itu.

Pengalaman tersebut mendudukkan Gunawan dalam posisi istimewa. Dalam tim yang diterjunkan Lapan di Parigi Moutong untuk memantau GMT pagi ini, dia satu-satunya yang turut meneliti GMT 1983.

Membandingkan dengan yang dialaminya pada 1983, Gunawan mengaku bersyukur bahwa perilaku orang terhadap GMT berubah. Kalau dulu demikian takut, sekarang demikian bergairah.

Di 11 kota yang dilintasi GMT, termasuk Parigi Moutong yang terletak 60 kilometer dari Palu, ibu kota Sulawesi Tengah, pemerintah setempat menyambut dengan berbagai perayaan. Wisatawan, baik asing maupun domestik, juga berdatangan.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/