BELAWAN- Pembangunan dermaga baru dan kerusakan hutan mangrove (bakau) di wilayah pesisir Utara Kota Medan, diduga menjadi pemicu meningkatnya volume air pasang yang melanda pemukiman warga di Belawan dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Bahkan, rusaknya lingkungan di perairan juga menimbulkan kerugian bagi kalangan nelayan setempat.
“Saat ini pasang air laut semakin tinggi mencapai hampir satu meter, sedangkan penimbunan wilayah pinggiran pantai untuk pembangunan dermaga dan depo terus berlanjut. Kami berharap agar pemerintah lebih memperhatikan kelangsungan hidup masyarakat yang pada umumnya nelayan,” kata Faisal (32), warga di Belawan I, Kecamatan Medan Belawan, Senin (9/4).
Menurut dia, gencarnya pembangunan di wilayah pinggiran pantai oleh pihak pengelola kepelabuhanan dan pihak swasta lainnya tidak hanya berdampak pada kian naiknya volume air laut. Namun juga menyebabkan mulai hilangnya mata pencaharian nelayan kecil, karena ekosistem di sekitar pantai sudah tergerus oleh dampak dari kegiatan pembangunan dimaksud.
“Dampaknya jelas sangat dirasakan nelayan kecil, kalau dulu dipinggiran pantai gampang menangkap ikan. Tapi sekarang nelayan sudah sulit mencari nafkah di laut, kami berharap supaya pemerintah memperhatikan dampak lingkungan akibat dari banyaknya penimbunan pembangunan dikawasan pinggiran pantai,” bebernya.
Pantauan Sumut Pos di Belawan, kemarin, dampak dari terjadinya banjir pasang air laut masih dirasakan masyarakat di Kecamatan Medan Belawan. Ribuan permukiman penduduk di Kelurahan Bagan Deli, Belawan I, Belawan Sicanang, Belawan Bahagia dan Belawan Bahari masih tenggelam digenangi air laut. Sementara sebahagian warga tampak mulai mengungsi menumpang ke rumah warga lainnya yang relatif lebih tinggi.
Terpisah, Wakil Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Sumatera Utara, Pendi Pohan juga mengakui, musibah banjir pasang air laut (rob)