MEDAN- Gas merupakan bahan bakar yang banyak digunakan untuk produksi, selain batubara dan bahan bakar minyak. Bahkan saat ini, pengusaha lebih memilih gas dibandingkan bahan bakar lain, karena hemat dan tidak menimbulkan polusi. Karenanya, saat ini gas masih menimbulkan masalah bagi pengusaha. Selain karena stok yang terus menyusut, harga gas juga terus mengalami kenaikan.
“Kita juga menolak kenaikan harga gas ini. Kalau naik terus sama saja kita merugi,” ujar Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut, Parlindungan Purba, kemarin (9/6).
Parlindungan menjelaskan, Apindo sudah melayangkan surat penolakan terkait kenaikan harga tersebut. “Kita sudah berkoordinasi dengan Apigas (Asosiasi Pengusaha Pengguna Gas) agar melayangkan surat keberatan ini,” tambah pria yang juga menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sumut.
Penolakan ini bukan hanya untuk mencegah kerugian pengusaha, tetapi juga untuk pertumbuhan ekonomi. “Kalau gas naik, maka harga produk juga akan naik, yang berimbas pada daya beli yang menurun.” Lanjutnya. Kenaikan harga produk ini bisa mencapai 30 persen. “Bayangkan betapa turunnya daya beli ini nantinya,” tambahnya.
Perandaian, permintaan penolakan kenaikan harga di tolak oleh Perusahaan Gas Negara (PGN) dan pemerintah, Apindo akan tetap mempertahankan pendapatnya juga. “Tidak bisa, penolakan kenaikan ini akan kita terus pertahankan. Kita juga tidak mau kalah. Bayangkan, penyaluran terus berkurang, harga terus naik. Kita mau seperti apa?” Ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Pengguna Gas (Apigas) Sumut, Johan Brien, menyatakan bahwa kenaikan ini membuat pengusaha kalang kabut. Karena harus kalah bersaing dengan kompetitor dari luar negeri. “Kita kalang kabut kalau begini, dan ini akan membuat kita kalah bersaing,” ujar Johan.
Dirinya menjelaskan, pada umumnya pengusaha untuk memproduksi akan membuat kontrak terlebih dahulu dengan buyer dalam masa kontrak yang cukup lama. “Kalau naik seperti ini, akan membuat kita kehilangan kontrak. Dan akhirnya buyer akan memilih pengusaha dari negara lain. Saat ini saja, untuk gas kita sudah ketinggalan dari Malaysia sebagai kompetitor,” tambahnya.
Dirinya menjelaskan, bukan hanya masalah kenaikan harga yang dihadapi para pengusaha, tetapi stok juga. Bahkan pengurangan ini sudah terjadi sejak tahun 2000 yang lalu. “Untuk kuota kita terus mengalami kekurangan. Dari kuota yang kemarin 47 persen, sekarang berkurang mencapai 27 persen,” tambahnya.
Penggurangan kuota gas ini, bukan hanya merugikan pengusaha, tetapi juga para masyarakat luas. Johan memisalkan PT Kedaung, yang awalnya mengoperasikan 4 line gas untuk produksinya, dan saat ini hanya mampu mengoperasikan 2 line saja. “Karena bahan bakar berkurang, produksi juga berkurang, Kedaung mem PHK karyawannya sebanyak 300 hingga 400 orang,” tutup Johan. (ram)