28 C
Medan
Sunday, November 24, 2024
spot_img

Bulan Depan, BPJS Kesehatan Hapus Kelas 1,2,3, Besaran Iuran Disesuaikan Gaji Peserta

MEDAN, SUMUTPOS.CO – BPJS Kesehatan akan menghapus kelas 1, 2, dan 3 pada Juli 2022 dan berganti ke kelas standar. Begitu juga dengan iuran, nantinya peserta membayar sesuai dengan besaran gaji.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Asih Eka Putri mengatakan, peserta BPJS Kesehatan yang berpendapatan lebih tinggi akan membayar iuran lebih besar dibanding mereka yang pendapatannya lebih rendah. Hal ini merupakan prinsip gotong royong.

“Iuran disesuaikan dengan memperhatikan keadilan dan prinsip asuransi sosial sesuai dengan besar penghasilan. Inilah gotong royong sosial yang diinginkan oleh UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional),” kata Asih kepada detikcom, Kamis (9/6/2022).

Meski besaran iuran BPJS Kesehatan akan berbeda antara mereka yang berpenghasilan tinggi dan rendah, namun fasilitas rawat inap yang didapatkan akan sama. Hal itu akan disesuaikan dengan kebutuhan medis. “Manfaat sesuai dengan kebutuhan medis bagi semua peserta,” tuturnya.

Saat ini, kata Asih, pihaknya bersama otoritas terkait sedang menyusun formula iuran BPJS Kesehatan yang bisa memenuhi prinsip asuransi sosial. Berbagai keputusan masih disimulasikan dan kepastiannya akan diatur dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. “Saat ini sedang merancang revisi Perpres Nomor 82 Tahun 2018 dan saat ini masih menunggu izin prakarsa presiden untuk revisi Perpres Nomor 82 Tahun 2018,” imbuhnya.

Senada, Ketua Komisi Kebijakan Umum DJSN, Iene Muliati menjelaskan, kelas standar BPJS Kesehatan yang akan diterapkan pada bulan depan, baru akan diterapkan di 18 rumah sakit milik pemerintah. “Di Bulan Juli itu implementasi 9 kriteria 50 persen di rumah sakit vertikal. Saat ini ada 34 rumah sakit vertikal, kalau 50 persen berarti sekira 17 hingga 18 rumah sakit dulu yang akan diterapkan di Bulan Juli,” jelas Iene.

Penerapan BPJS Kelas Standar yang akan diterapkan pada 18 rumah sakit vertikal tersebut, kata Iene sudah berdasarkan penilaian dari DJSN dan Kementerian Kesehatan. “Yang diterapkan di Bulan Juli 50 persen rumah sakit vertikal itu kita lihat berdasarkan geografi dan kesiapan-kesiapan rumah sakit tersebut,” ujarnya lagi.

Kendati demikian, Iene belum bisa merinci rumah sakit mana saja yang akan menerapkan BPJS Kelas Standar tersebut. Pasalnya sampai saat ini pihaknya bersama otoritas terkait seperti Kementerian Kesehatan, asosiasi rumah sakit, dan lainnya masih terus melakukan assessment atau penilaian.

Begitu juga dengan besaran tarif kepada rumah sakit dan iuran yang akan dibebankan kepada masyarakat. Saat ini kata, Iene masih dalam tahap pembahasan. “Tarif dan iuran masih proses, masih digodok regulasinya. Jadi tarif dan iuran berbarengan kita siapkan. Begitu regulasinya selesai pasti akan kita umumkan,” jelas Iene.

Iene juga menyebutkan, pihaknya sudah melaksanakan self assessment ke 1.916 rumah sakit pada tahun lalu. Dari jumlah tersebut, mayoritas rumah sakit dikategorikan siap dalam mengempelmentasikan kebijakan kelas rawat inap standar ini.

Setidaknya 81 persen rumah sakit siap melaksanakan kelas standar meski perlu dilakukan penyesuaian infrastruktur dalam skala kecil. Penyesuaian infrastruktur ini terutama ditemui pada RS tua atau sudah berumur lebih dari 20 tahun masa pakainya.

Sedangkan yang benar-benar siap melaksanakan kelas standar hanya 3 persen dari jumlah RS yang dilakukan self assessment. Kemudian 18 persennya perlu melakukan penyesuaian sedang hingga besar.

“Dari hasil self assessment, 80 persen dari total sampel siap sebetulnya mengimplementasikan kebijakan KRIS JKN walau 78 persen masih perlu penyesuaian infrastruktur skala kecil,” jelasnya.

Selain ke RS umum dan swasta, DJSN juga melakukan self assessment ke 114 RS TNI/Polri di Indonesia. Dari jumlah ini tidak ada satupun RS yang sudah memenuhi seluruh kriteria yang ditetapkan.

Sebanyak 74 persen RS TNI/Polri namun perlu dilakukan penyesuaian skala kecil yakni perbaikan dan peningkatan infrastruktur. Kemudian, 26 persen RS ini perlu penyesuaian skala sedang hingga besar. “Berdasarkan hasil self assesement tersebut dan konsultasi publik dilakukan bersama dengan Kemenkes, BPJS Kesehatan, dan Kemenkeu, kriteria KRIS JKN, konsep kriteria rawat inap, 12 kriteria sudah disampaikan dan di diskusikan,” kata dia. Oleh karenanya, sebelum uji coba pemerintah akan kembali melihat kesiapan dari RS yang sudah dilakukan self assessment. Selain itu, sembari uji coba akan dilakukan peningkatan infrastruktur di berbagai RS sehingga pada 2023 nanti bisa diterapkan secara bertahap dan di 2024 bisa diimplementasikan di semua RS.

“2024 berharap KRIS JKN diimplementasikan di seluruh rumah sakit,” pungkasnya.

Sebagai gambaran, kelas standar rawat inap BPJS Kesehatan akan menghapus kebijakan kelas yang selama ini berlaku. Mulai bulan depan, kelas BPJS Kesehatan yang saat ini terdiri dari kelas 1, 2, dan 3 akan dihapuskan. Sehingga seluruh peserta BPJS Kesehatan hanya akan memiliki satu tarif dan kelas perawatan yang sama.

Sementara, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebutkan alasan lain mengapa kelas rawat inap BPJS Kesehatan diubah, adalah untuk mencegah kembali terjadi defisit. Sebab, nantinya iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi satu nilai juga.

Menurutnya, saat ini pemerintah terus mendorong agar keuangan BPJS Kesehatan tidak lagi mengalami defisit seperti tahun-tahun sebelumnya. Sehingga dengan penerapan kelas tunggal atau standar ini nantinya cakupan layanan juga menjadi luas. “Kita tidak mau BPJS defisit. Harus positif. Jadi bisa meng-cover rakyat lebih luas dengan layanan standar,” ujar Budi dalam kesempatan yang sama.

Ia menjelaskan, dengan kelas standar ini nantinya pemerintah bersama dengan BPJS Kesehatan akan melihat jenis layanan yang selama ini diberikan. Lalu akan dikendalikan atau dikurangi untuk biaya layanan dengan potensi biaya yang terlalu mahal.

Dengan demikian, maka nantinya peran Puskesmas akan dimaksimalkan tidak hanya melakukan tindakan skrining tahap awal, tetapi juga bisa melakukan tindakan promotif dan preventif. Langkah ini diharapkan bisa meminimalisir anggaran yang tidak terlalu penting.

Selain itu, dengan skrining lebih ketat dan tindakan yang bisa dilakukan Puskesmas, maka peserta BPJS Kesehatan yang diberikan rujukan betul-betul yang membutuhkan layanan dan penanganan yang lebih baik.

“Penelitian pengendalian biaya lebih efektif dilakukan secara rutin setiap tahun dengan BPJS Kesehatan untuk melihat mana biaya yang masih kemurahan dan kemahalan. Sehingga bila ada masukan dari rumah sakit atau organisasi profesi bisa langsung ditindaklanjuti di tahun berjalan dengan basis data dan transparansi,” pungkasnya.

Dari peta jalan DJSN, pemerintah akan mulai mengimplementasikan kelas tunggal JKN ini di 2024. Dimana proses uji coba dilakukan di tahun ini dan penerapan secara bertahap di 2023. Tidak hanya kelasnya yang tunggal, pembayaran iuran JKN juga menjadi tunggal. Dengan demikian maka pemerintah hanya perlu membayarkan iuran untuk peserta PBI dan lainnya bayar sendiri dengan nilai tunggal.

Namun, sampai saat ini mengenai besaran iurannya belum disebutkan oleh pemerintah. Terakhir beredar wacana iuran akan ditetapkan sebesar Rp 75 ribu per bulan. (dtf/cnbc/adz)

 

 

 

MEDAN, SUMUTPOS.CO – BPJS Kesehatan akan menghapus kelas 1, 2, dan 3 pada Juli 2022 dan berganti ke kelas standar. Begitu juga dengan iuran, nantinya peserta membayar sesuai dengan besaran gaji.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Asih Eka Putri mengatakan, peserta BPJS Kesehatan yang berpendapatan lebih tinggi akan membayar iuran lebih besar dibanding mereka yang pendapatannya lebih rendah. Hal ini merupakan prinsip gotong royong.

“Iuran disesuaikan dengan memperhatikan keadilan dan prinsip asuransi sosial sesuai dengan besar penghasilan. Inilah gotong royong sosial yang diinginkan oleh UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional),” kata Asih kepada detikcom, Kamis (9/6/2022).

Meski besaran iuran BPJS Kesehatan akan berbeda antara mereka yang berpenghasilan tinggi dan rendah, namun fasilitas rawat inap yang didapatkan akan sama. Hal itu akan disesuaikan dengan kebutuhan medis. “Manfaat sesuai dengan kebutuhan medis bagi semua peserta,” tuturnya.

Saat ini, kata Asih, pihaknya bersama otoritas terkait sedang menyusun formula iuran BPJS Kesehatan yang bisa memenuhi prinsip asuransi sosial. Berbagai keputusan masih disimulasikan dan kepastiannya akan diatur dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. “Saat ini sedang merancang revisi Perpres Nomor 82 Tahun 2018 dan saat ini masih menunggu izin prakarsa presiden untuk revisi Perpres Nomor 82 Tahun 2018,” imbuhnya.

Senada, Ketua Komisi Kebijakan Umum DJSN, Iene Muliati menjelaskan, kelas standar BPJS Kesehatan yang akan diterapkan pada bulan depan, baru akan diterapkan di 18 rumah sakit milik pemerintah. “Di Bulan Juli itu implementasi 9 kriteria 50 persen di rumah sakit vertikal. Saat ini ada 34 rumah sakit vertikal, kalau 50 persen berarti sekira 17 hingga 18 rumah sakit dulu yang akan diterapkan di Bulan Juli,” jelas Iene.

Penerapan BPJS Kelas Standar yang akan diterapkan pada 18 rumah sakit vertikal tersebut, kata Iene sudah berdasarkan penilaian dari DJSN dan Kementerian Kesehatan. “Yang diterapkan di Bulan Juli 50 persen rumah sakit vertikal itu kita lihat berdasarkan geografi dan kesiapan-kesiapan rumah sakit tersebut,” ujarnya lagi.

Kendati demikian, Iene belum bisa merinci rumah sakit mana saja yang akan menerapkan BPJS Kelas Standar tersebut. Pasalnya sampai saat ini pihaknya bersama otoritas terkait seperti Kementerian Kesehatan, asosiasi rumah sakit, dan lainnya masih terus melakukan assessment atau penilaian.

Begitu juga dengan besaran tarif kepada rumah sakit dan iuran yang akan dibebankan kepada masyarakat. Saat ini kata, Iene masih dalam tahap pembahasan. “Tarif dan iuran masih proses, masih digodok regulasinya. Jadi tarif dan iuran berbarengan kita siapkan. Begitu regulasinya selesai pasti akan kita umumkan,” jelas Iene.

Iene juga menyebutkan, pihaknya sudah melaksanakan self assessment ke 1.916 rumah sakit pada tahun lalu. Dari jumlah tersebut, mayoritas rumah sakit dikategorikan siap dalam mengempelmentasikan kebijakan kelas rawat inap standar ini.

Setidaknya 81 persen rumah sakit siap melaksanakan kelas standar meski perlu dilakukan penyesuaian infrastruktur dalam skala kecil. Penyesuaian infrastruktur ini terutama ditemui pada RS tua atau sudah berumur lebih dari 20 tahun masa pakainya.

Sedangkan yang benar-benar siap melaksanakan kelas standar hanya 3 persen dari jumlah RS yang dilakukan self assessment. Kemudian 18 persennya perlu melakukan penyesuaian sedang hingga besar.

“Dari hasil self assessment, 80 persen dari total sampel siap sebetulnya mengimplementasikan kebijakan KRIS JKN walau 78 persen masih perlu penyesuaian infrastruktur skala kecil,” jelasnya.

Selain ke RS umum dan swasta, DJSN juga melakukan self assessment ke 114 RS TNI/Polri di Indonesia. Dari jumlah ini tidak ada satupun RS yang sudah memenuhi seluruh kriteria yang ditetapkan.

Sebanyak 74 persen RS TNI/Polri namun perlu dilakukan penyesuaian skala kecil yakni perbaikan dan peningkatan infrastruktur. Kemudian, 26 persen RS ini perlu penyesuaian skala sedang hingga besar. “Berdasarkan hasil self assesement tersebut dan konsultasi publik dilakukan bersama dengan Kemenkes, BPJS Kesehatan, dan Kemenkeu, kriteria KRIS JKN, konsep kriteria rawat inap, 12 kriteria sudah disampaikan dan di diskusikan,” kata dia. Oleh karenanya, sebelum uji coba pemerintah akan kembali melihat kesiapan dari RS yang sudah dilakukan self assessment. Selain itu, sembari uji coba akan dilakukan peningkatan infrastruktur di berbagai RS sehingga pada 2023 nanti bisa diterapkan secara bertahap dan di 2024 bisa diimplementasikan di semua RS.

“2024 berharap KRIS JKN diimplementasikan di seluruh rumah sakit,” pungkasnya.

Sebagai gambaran, kelas standar rawat inap BPJS Kesehatan akan menghapus kebijakan kelas yang selama ini berlaku. Mulai bulan depan, kelas BPJS Kesehatan yang saat ini terdiri dari kelas 1, 2, dan 3 akan dihapuskan. Sehingga seluruh peserta BPJS Kesehatan hanya akan memiliki satu tarif dan kelas perawatan yang sama.

Sementara, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebutkan alasan lain mengapa kelas rawat inap BPJS Kesehatan diubah, adalah untuk mencegah kembali terjadi defisit. Sebab, nantinya iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menjadi satu nilai juga.

Menurutnya, saat ini pemerintah terus mendorong agar keuangan BPJS Kesehatan tidak lagi mengalami defisit seperti tahun-tahun sebelumnya. Sehingga dengan penerapan kelas tunggal atau standar ini nantinya cakupan layanan juga menjadi luas. “Kita tidak mau BPJS defisit. Harus positif. Jadi bisa meng-cover rakyat lebih luas dengan layanan standar,” ujar Budi dalam kesempatan yang sama.

Ia menjelaskan, dengan kelas standar ini nantinya pemerintah bersama dengan BPJS Kesehatan akan melihat jenis layanan yang selama ini diberikan. Lalu akan dikendalikan atau dikurangi untuk biaya layanan dengan potensi biaya yang terlalu mahal.

Dengan demikian, maka nantinya peran Puskesmas akan dimaksimalkan tidak hanya melakukan tindakan skrining tahap awal, tetapi juga bisa melakukan tindakan promotif dan preventif. Langkah ini diharapkan bisa meminimalisir anggaran yang tidak terlalu penting.

Selain itu, dengan skrining lebih ketat dan tindakan yang bisa dilakukan Puskesmas, maka peserta BPJS Kesehatan yang diberikan rujukan betul-betul yang membutuhkan layanan dan penanganan yang lebih baik.

“Penelitian pengendalian biaya lebih efektif dilakukan secara rutin setiap tahun dengan BPJS Kesehatan untuk melihat mana biaya yang masih kemurahan dan kemahalan. Sehingga bila ada masukan dari rumah sakit atau organisasi profesi bisa langsung ditindaklanjuti di tahun berjalan dengan basis data dan transparansi,” pungkasnya.

Dari peta jalan DJSN, pemerintah akan mulai mengimplementasikan kelas tunggal JKN ini di 2024. Dimana proses uji coba dilakukan di tahun ini dan penerapan secara bertahap di 2023. Tidak hanya kelasnya yang tunggal, pembayaran iuran JKN juga menjadi tunggal. Dengan demikian maka pemerintah hanya perlu membayarkan iuran untuk peserta PBI dan lainnya bayar sendiri dengan nilai tunggal.

Namun, sampai saat ini mengenai besaran iurannya belum disebutkan oleh pemerintah. Terakhir beredar wacana iuran akan ditetapkan sebesar Rp 75 ribu per bulan. (dtf/cnbc/adz)

 

 

 

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/