29 C
Medan
Sunday, February 23, 2025
spot_img

Gunakan Teknik Operasi Sayatan Kecil

Dr Sanduk Ruit, Penemu Operasi Katarak Hanya 5 Menit

Pada umumnya, operasi katarak dilakukan selama 30 menit dengan biaya besar. Di Indonesia misalnya, operasi katarak ini bisa mencapai Rp15 juta per kasus. Tetapi, pria paruh baya ini menemukan metode baru. Bedah bagian mata ini dapat dilakukan hanya dalam waktu singkat,
5 menit. Seperti apa?

AHLI: Dr Sanduk Ruit ahli operasi katarak saat beraksi  Medan, kemarin.
AHLI: Dr Sanduk Ruit ahli operasi katarak saat beraksi di Medan, kemarin.

Dr Sanduk Ruit, warga negara Nepal ini membutuhkan waktu 10 tahun untuk menemukan metode bedah mata ini. Disadarinya, penyakit yang pada umumnya diderita oleh orang yang mulai berusia senja ini membutuhkan dana hingga puluhan juta untuk operasi. Dengan tekad dan keyakinan, bedah dengan biaya murah dan kualitas baik pun berhasil di temukannya.

Bahkan, temuannya ini mengantarakannya menjadi CNN Heroes 2011.
Teknik yang dikembangkan sang dokter ini lebih terkenal dengan sebutan ‘operasi katarak sayatan kecil’. Dimana organ mata hanya perlu disayat kecil pada 2 bagian. Salah satu perbedaan yang mencolok dari teknologi yang ditemukannya ini adalah operasi tanpa jahitan yang biasanya umum dilakukan saat bedah katarak ini.

“Saya hanya menyayat sedikit bagian mata sepanjang 2 hingga 3 cm. setelah itu membersihkan katarak dan memasukan implan lensa, sehingga penderita bisa melihat kembali,” ujar Sanduk Ruit saat ditemui dalam Bakti Sosial Operasi Katarak Gratis di RS Tentara Putri Hijau Medan (9/11) kemarin.

Sayatan tersebut secara alami dan diberi obat akan menutup, sehingga tidak perlu dijahit lagi. Sedangkan untuk operasi katarak konvensional, operasi ini bisa memakan waktu selama 30 menit untuk 1 kasus. Dan dalam sehari, seorang dokter hanya mampu mengoperasi sebanyak 20 hingga 30 kasus. Dan tentu saja dengan biaya yang mencapai Rp15 juta per operasi. Selain itu, setelah mata selesai di operasi, bagian putih mata yang disayat hampir setengah lingkaran. Dan selesai operasi, daging yang merupakan putih mata akan diajahit.

Bukan hal yang mudah bagi direktur medik untuk ophthalmology (organ mata) di Institut Tilganga Kathmandu, Nepal, ini untuk meyakinkan masyarakat terutama para dokter mata akan teknologi yang ditemukannya. Apalagi, saat itu usianya masih muda dan belum memiliki pengalaman bahkan nama di dunia kesehatan mata. Yang pertama kali pesimis dengan semua yang ditemukannya ini adalah kolega terdekatnya. “Mereka mencemooh saya, bahkan dengan berbagai cara, mulai dari pendapat politik, hingga bermain di media,” ungkapnya dengan bahasa Inggris yang kental.

“Tetapi satu yang harus kamu perhatikan. Saat kamu menjadi objek perhatian. Ingat, jangan pernah buat kesalahan karena itu akan membuat temuan kamu tidak diperhitungkan. Selain itu, yakin dengan pekerjaanmu dan niat yang tulus,” lanjut pria bertubuh tambun ini.

Untuk menumbuhkan kepercayaan luas akan temuannya ini, secara berkala dr Ruit tetap mengaudit hasil kerjanya. Ini bukan hanya untuk keyakinannya sendiri, tetapi juga untuk memastikan bahwa pasien yang ditanganinya tetap dapat melihat dengan baik.

Salah satu pengalaman berharga yang dihadapinya akan temuannya itu terjadi pada 2000 di Nepal. Seorang dokter ahli mata ternama dari Amerika Serikat, David Chang melakukan uji klinis dengannya. “Kita sama-sama melakukan operasi katarak kepada 150 pasien. Dan terus dilakukan pemantauan, untuk mendapatkan hasil. Dan terbukti, hasil kerja saya yang hanya 5 menit, sama dengan hasil kerja dokter Chang yang 30 menit. Tidak ada yang kurang dan lebih,” ungkapnya.

Teknik sayatan kecil ini sudah diperkenalkannya sejak pertengahan 1990-an, saat itu usianya masih di awal 30 tahun. Salah satu upaya yang dilakukannya adalah untuk memperkenalkan teknik operasi ini dengan mengajak dokter muda untuk belajar ke Nepal. Terutama untuk negara-negara berkembang.

“Pertama kali di Vietnam, saya mengajak dokter muda di sana untuk belajar, sekitar tahun 1991 atau 1992, saat itu Vietnam baru bebas. Ada sekitar 30 dokter saya bawa saat itu. Kemudian, saya bawa 50 orang lagi, dan setelah menguasai mereka mengajarkan pada dokter lain, ini yang saya terapkan,” lanjutnya.

Terbukti, saat ini di Vietnam, orang yang mengalami kebutaan terus menurun. Pada pertengahan 1990-an ada sekitar 65 persen dari jumlah penduduk di Vietnam yang buta karena katarak. Dan saat ini hanya sekitar 0,4 persen dari jumlah penduduk. “Karena dokter yang menguasai teknik ini sudah banyak di sana,” tambahnya.

Pada awalnya, dokter ini tidak bercita-cita menjadi seorang dokter. Tetapi karena kemiskinan yang melanda dan saudaranya meninggal karena penyakit, membuat keinginan menjadi seorang pilot berubah menjadi seorang yang mengerti tentang kesehatan. Melalui beasiswa yang diraihnya, akhirnya dirinya mampu menjadi seorang spesialis dalam organ mata.

“Saya tidak ingin, orangtua saya harus buta padahal usianya sudah tua. Saya sadari juga, bahwa orangtua saya bukanlah orang kaya. Karena itu, inilah yang menjadi inspirasi saya untuk membuat tekhnologi operasi katarak tanpa jahitan ini,” ujar dokter yang lahir di Olangchungola, Nepal, pada 4 April 1954 ini.

Dengan inspirasi ini, teknik ini pun awal dipopulerkannya hanya dalam bentuk komunitas. Seperti dalam kegiatan aksi sosial, dan lainnya. Dengan tujuan, agar rakyat miskin yang buta tidak akan menjadi buta selamanya. “Saya hanya ingin mendorong. Saat krisis seperti ini, jangan hanya duduk, kita dorong agar maju. Jangan sampai kita terlena dengan keadaan ini,” lanjutnya.

Kedatangannya ke Indonesia pun belum direspon dengan baik meski sebagian dokter masih menolak kedatangannya. Tetapi disadarinya, itu bukanlah hal yang menyakitkan. “Karena, saya juga akan melakukan hal yang sama bila berada di posisi mereka. Saya akan merasa bahwa lahan saya diambil. Jadi, saya pasti akan menolak,” terangnya.

Menurutnya, Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari berbagai pulau ini membutuhkan banyak dokter yang bersedia bekerja secara sosial untuk mengatasi kebutaan. “Minimal harus 100 dokter. Apalagi, dengan infrastruktur Indonesia yang tidak terlalu baik. Dan pada umumnya, yang menderita penyakit ini adalah mereka yang memiliki keuangan terbatas. Kenapa? Paling riskan yang terkena adalah mereka yang sering terekspos dengan sinar matahari secara langsung,” pungkasnya. (*)

Dr Sanduk Ruit, Penemu Operasi Katarak Hanya 5 Menit

Pada umumnya, operasi katarak dilakukan selama 30 menit dengan biaya besar. Di Indonesia misalnya, operasi katarak ini bisa mencapai Rp15 juta per kasus. Tetapi, pria paruh baya ini menemukan metode baru. Bedah bagian mata ini dapat dilakukan hanya dalam waktu singkat,
5 menit. Seperti apa?

AHLI: Dr Sanduk Ruit ahli operasi katarak saat beraksi  Medan, kemarin.
AHLI: Dr Sanduk Ruit ahli operasi katarak saat beraksi di Medan, kemarin.

Dr Sanduk Ruit, warga negara Nepal ini membutuhkan waktu 10 tahun untuk menemukan metode bedah mata ini. Disadarinya, penyakit yang pada umumnya diderita oleh orang yang mulai berusia senja ini membutuhkan dana hingga puluhan juta untuk operasi. Dengan tekad dan keyakinan, bedah dengan biaya murah dan kualitas baik pun berhasil di temukannya.

Bahkan, temuannya ini mengantarakannya menjadi CNN Heroes 2011.
Teknik yang dikembangkan sang dokter ini lebih terkenal dengan sebutan ‘operasi katarak sayatan kecil’. Dimana organ mata hanya perlu disayat kecil pada 2 bagian. Salah satu perbedaan yang mencolok dari teknologi yang ditemukannya ini adalah operasi tanpa jahitan yang biasanya umum dilakukan saat bedah katarak ini.

“Saya hanya menyayat sedikit bagian mata sepanjang 2 hingga 3 cm. setelah itu membersihkan katarak dan memasukan implan lensa, sehingga penderita bisa melihat kembali,” ujar Sanduk Ruit saat ditemui dalam Bakti Sosial Operasi Katarak Gratis di RS Tentara Putri Hijau Medan (9/11) kemarin.

Sayatan tersebut secara alami dan diberi obat akan menutup, sehingga tidak perlu dijahit lagi. Sedangkan untuk operasi katarak konvensional, operasi ini bisa memakan waktu selama 30 menit untuk 1 kasus. Dan dalam sehari, seorang dokter hanya mampu mengoperasi sebanyak 20 hingga 30 kasus. Dan tentu saja dengan biaya yang mencapai Rp15 juta per operasi. Selain itu, setelah mata selesai di operasi, bagian putih mata yang disayat hampir setengah lingkaran. Dan selesai operasi, daging yang merupakan putih mata akan diajahit.

Bukan hal yang mudah bagi direktur medik untuk ophthalmology (organ mata) di Institut Tilganga Kathmandu, Nepal, ini untuk meyakinkan masyarakat terutama para dokter mata akan teknologi yang ditemukannya. Apalagi, saat itu usianya masih muda dan belum memiliki pengalaman bahkan nama di dunia kesehatan mata. Yang pertama kali pesimis dengan semua yang ditemukannya ini adalah kolega terdekatnya. “Mereka mencemooh saya, bahkan dengan berbagai cara, mulai dari pendapat politik, hingga bermain di media,” ungkapnya dengan bahasa Inggris yang kental.

“Tetapi satu yang harus kamu perhatikan. Saat kamu menjadi objek perhatian. Ingat, jangan pernah buat kesalahan karena itu akan membuat temuan kamu tidak diperhitungkan. Selain itu, yakin dengan pekerjaanmu dan niat yang tulus,” lanjut pria bertubuh tambun ini.

Untuk menumbuhkan kepercayaan luas akan temuannya ini, secara berkala dr Ruit tetap mengaudit hasil kerjanya. Ini bukan hanya untuk keyakinannya sendiri, tetapi juga untuk memastikan bahwa pasien yang ditanganinya tetap dapat melihat dengan baik.

Salah satu pengalaman berharga yang dihadapinya akan temuannya itu terjadi pada 2000 di Nepal. Seorang dokter ahli mata ternama dari Amerika Serikat, David Chang melakukan uji klinis dengannya. “Kita sama-sama melakukan operasi katarak kepada 150 pasien. Dan terus dilakukan pemantauan, untuk mendapatkan hasil. Dan terbukti, hasil kerja saya yang hanya 5 menit, sama dengan hasil kerja dokter Chang yang 30 menit. Tidak ada yang kurang dan lebih,” ungkapnya.

Teknik sayatan kecil ini sudah diperkenalkannya sejak pertengahan 1990-an, saat itu usianya masih di awal 30 tahun. Salah satu upaya yang dilakukannya adalah untuk memperkenalkan teknik operasi ini dengan mengajak dokter muda untuk belajar ke Nepal. Terutama untuk negara-negara berkembang.

“Pertama kali di Vietnam, saya mengajak dokter muda di sana untuk belajar, sekitar tahun 1991 atau 1992, saat itu Vietnam baru bebas. Ada sekitar 30 dokter saya bawa saat itu. Kemudian, saya bawa 50 orang lagi, dan setelah menguasai mereka mengajarkan pada dokter lain, ini yang saya terapkan,” lanjutnya.

Terbukti, saat ini di Vietnam, orang yang mengalami kebutaan terus menurun. Pada pertengahan 1990-an ada sekitar 65 persen dari jumlah penduduk di Vietnam yang buta karena katarak. Dan saat ini hanya sekitar 0,4 persen dari jumlah penduduk. “Karena dokter yang menguasai teknik ini sudah banyak di sana,” tambahnya.

Pada awalnya, dokter ini tidak bercita-cita menjadi seorang dokter. Tetapi karena kemiskinan yang melanda dan saudaranya meninggal karena penyakit, membuat keinginan menjadi seorang pilot berubah menjadi seorang yang mengerti tentang kesehatan. Melalui beasiswa yang diraihnya, akhirnya dirinya mampu menjadi seorang spesialis dalam organ mata.

“Saya tidak ingin, orangtua saya harus buta padahal usianya sudah tua. Saya sadari juga, bahwa orangtua saya bukanlah orang kaya. Karena itu, inilah yang menjadi inspirasi saya untuk membuat tekhnologi operasi katarak tanpa jahitan ini,” ujar dokter yang lahir di Olangchungola, Nepal, pada 4 April 1954 ini.

Dengan inspirasi ini, teknik ini pun awal dipopulerkannya hanya dalam bentuk komunitas. Seperti dalam kegiatan aksi sosial, dan lainnya. Dengan tujuan, agar rakyat miskin yang buta tidak akan menjadi buta selamanya. “Saya hanya ingin mendorong. Saat krisis seperti ini, jangan hanya duduk, kita dorong agar maju. Jangan sampai kita terlena dengan keadaan ini,” lanjutnya.

Kedatangannya ke Indonesia pun belum direspon dengan baik meski sebagian dokter masih menolak kedatangannya. Tetapi disadarinya, itu bukanlah hal yang menyakitkan. “Karena, saya juga akan melakukan hal yang sama bila berada di posisi mereka. Saya akan merasa bahwa lahan saya diambil. Jadi, saya pasti akan menolak,” terangnya.

Menurutnya, Indonesia yang sangat luas dan terdiri dari berbagai pulau ini membutuhkan banyak dokter yang bersedia bekerja secara sosial untuk mengatasi kebutaan. “Minimal harus 100 dokter. Apalagi, dengan infrastruktur Indonesia yang tidak terlalu baik. Dan pada umumnya, yang menderita penyakit ini adalah mereka yang memiliki keuangan terbatas. Kenapa? Paling riskan yang terkena adalah mereka yang sering terekspos dengan sinar matahari secara langsung,” pungkasnya. (*)

spot_img

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

spot_imgspot_imgspot_img

Artikel Terbaru

/