MEDAN, SUMUTPOS.CO – Penolakan Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law di Kota Medan, Sumatera Utara, akan kembali bergulir hari ini. Kantor Gubernur Sumut dan DPRD Sumut, masih menjadi sasaran aksi kaum buruh dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Provinsi Sumut. Ada sekitar 500 lebih buruh yang akan turun menggelar aksi.
Ketua DPW FSPMI Sumut, Willy Agus Utomo mengungkapkan, semula aksi mereka akan berlangsung dia hari mulai 9-10 November 2020. Namun karena ada perubahan dari aliansi mereka di tingkat pusat, bahwa gelombang aksi untuk Sumut dijadwal pada hari ini.
“Jadi sudah begitu arahan dari DPP kami. Kebetulan Provinsi Sumut dapat jadwal tanggal 10 November. Makanya ada perubahan jadwal dari rilis kami yang pertama ke kawan-kawan media. Aksi besok masih ke kantor Gubernur Sumut dan DPRD Sumut,” ujar Willy kepada Sumut Pos, Senin (8/11).
Willy mengungkapkan, aksi mereka masih seputar penolakan UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja. Kemudian juga menuntut Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi merevisi Upah Minimum Provinsi (UMP) agar naik minimal delapan persen untuk 2021 mendatang. “Buruh akan suarakan agar Presiden Joko Widodo cabut UU omnibus law tersebut, dan menuntut gubernur Sumut merevisi UMP Sumut 2021 naik delapan persen,” katanya.
Namun, lanjut Willy, pada aksi kali ini pihaknya tidak bisa menghadirkan massa yang begitu banyak. Hanya sekitar 500-an buruh yang nanti siap turun ke jalan menyuarakan aspirasi dimaksud.
“Ya, hanya 500-an saja. Padahal sebelumnya kami dengan kekuatan besar ribuan buruh siap untuk turun. Tapi pasca kejadian kami dihadang di depan Mapolda Sumut, kami menilai polisi terlalu berlebihan dengan jumlah massa buruh. Begitupun kami tetap akan mematuhi protokol kesehatan dalam aksi nanti. Ini pula yang menjadi pertimbangan kami membuat aksi satu gelombang saja kali ini,” katanya.
Willy juga menyebut, aksi menolak Omnibus law maupun UMP Sumut 2021 tetap akan mereka suarakan, sampai pemerintah mau mendengarkan dan mengakomodir aspirasi tersebut.
“FSPMI Sumut tetap konsisten akan terus berjuang dengan melakukan aksi turun ke jalan dan juga menempuh jalur judicial review ke Mahkamah Agung sampai UU No.11 Tahun 2020 dicabut,” tegasnya.
Menurut pihaknya, UU Omnibus law telah mereka kaji dan menyimpulkan bahwa hampir keseluruhan pasal pada regulasi baru tersebut banyak merugikan kaum buruh Indonesia. Ia memaparkan beberapa pasal yang merugikan buruh antara lain; Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan UMP dan Pasal 88C Ayat (2) menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu. Hemat Willy, penggunaan frasa ‘dapat’ dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh. Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah.
“Dengan kata lain, berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan kepada rezim upah murah. Hal yang sangat kontradiktif, apalagi Indonesia sudah lebih dari 75 tahun merdeka,” ujarnya. (prn/ila)