25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Siap Kasar Demi Target

Pengakuan Debt Collector di Medan

MEDAN-Persoalan hukum karena perbuatan brutal debt collector atau penagih utang, tidak hanya terjadi di Jakarta. Di Medan pun hal yang sama terjadi  (Baca: Mengaku tak Utang, tetap Ditagih).  Penasaran dengan tindak tanduk mereka, Sumut Pos menelusuri kiprah para penagih utang tersebut.

Satu yang berhasil ditemui adalah H (45) warga Jalan Prof HM Yamin SH. H merupakan satu di antara debt collector di Medan yang jasanya pernah digunakan City Bank, Danamon, BCA dan lainnya. “Sekarang saya memilih jalan sendiri, kalau dibutuhkan perusahaan atau orang untuk menagih, saya baru jalan,” beber ayah tiga anak ini.
Pria yang sudah 20 tahun terjun sebagai debt collector ini mengaku tidak masuk dalam struktur karyawan ataupun organisasi di bank-bank tersebut. Jasa debt collector dibentuk dari sebuah perusahaan jasa lalu bekerja sama dengan bank yang ada di Indonesia. “Sistem kerjanya, pihak bank memberikan job kepada perusahaan penjual jasa debt collector dengan perjanjian 25 persen. Kasarnya, dari total tagihan kami mendapat 17 persen sedangkan perusahaan jasa mendapat 8 persen jika kami berhasil menagih,” beber pria bertubuh atletis ini.

Ketika ditanya nama perusahaan jasa tempatnya bekerja dulu, H enggan menyebutkan dengan alasan situasi debt collector sekarang yang sedang hangat-hangatnya diperdebatkan. “Kalau tidak dalam kondisi sekarang ini, saya mau menceritakan tapi keadaannya sekarang berbeda,” kilahnya.

Selama menjalankan tugas berbagai cara dilakukan. Mulai bertindak halus hingga kasar. “Kalau cara halus gak bisa terpaksa kasar. Kalau tidak seperti itu, kami tidak akan mencapai target karena perusahaan menekan memberi target kepada kami,” bebernya.

Lalu, H menceritakan pengalamannya saat menagih utang nasabah salah satu bank di Medan. “Namanya tidak usah kita ungkap ya, sebut saja si A. Dia itu punya utang hampir Rp1 miliar, cicilan kredit macet dan kami mendapat tugas untuk menagihnya. Saya dan dua rekan kesulitan mencarinya karena alamat rumahnya sudah pindah,” kenangnya.

Dengan kondisi seperti itu H dkk terpaksa mencari informasi. Beruntung mereka mendapat kabar bahwa si A itu bersembunyi di Belawan. “Kami langsung membawanya kembali ke Medan dan kami menyekapnya di suatu ruangan. Di ruangan itu kami menginterogasi. Maaf cakap, berbagai cara kami lakukan agar ia bisa membayar utangnya,” katanya.

Namun itu dulu, sekarang Hasril memilih jalan sendiri sebagai debt collector dengan risiko yang tidak terlalu besar. “Terus terang, risiko seperti itu besar sekali. Sekarang ini tidak bisa dilakukan seperti itu lagi karena masyarakat sudah tahu banyak tentang hukum. Kalau kita tidak pintar, kita bisa diadukan kasus penculikan dan penganiayaan,” tuturnya.

Saat ini, H menjadikan pekerjaan debt collector hanya untuk kerja sampingan. Ia kini lebih banyak terjun ke bisnis jual beli sepeda motor. “Kalau ada sepeda motor mau ditarik dari showroom biasanya saya ambil job itu. Lumayan, Rp600 ribu per sepeda motornya,” akunya.

T (25), debt collector lain yang berhasil ditemui mengaku pekerjaan itu sangat rumit. Pasalnya, kalau tak mencapai target, honor dipotong. “Kalau masih magang paling dikasih honor Rp900 ribu. Selain dipotong kalau tak mencapai target, kadang uang makan pun dipotong,” aku T yang aktif sebagai penagih utang sejak 2008 lalu.

Kini T telah mapan bekerja di sebuah perusahaan yang tidak berhubungan dengan hal itu. “Pokoknya kita kayak marketing-marketing itulah. Makanya, saya keluar dan hanya tahan bertugas selama setahun saja,” tambahnya.
Apakah pernah melakukan tindak kekerasan saat melakukan penagihan? “Wah, kita tak pernah, paling keras kita cuma memberikan peringatan saja,” tambah T.

Ketika ditanya soal peringatan yang dimaksud, T hanya tersenyum. “Ya, begitulah,” kekehnya.
Lain hal dengan S (48) warga Medan Johor. Menurutnya untuk menjadi debt collector bisa dilakukan siapa saja.”Saya saja pernah menjadi debt collector, padahal saya bekerja di pemerintahan,” akunya.

Hanya saja cara yang dilakukan S berbeda dengan debt collector pada umumnya. Ayah tiga anak lebih lebih mengedapankan pendekatan secara persuasif ataupun kekeluargaan saat penagihan utang. “Tidak perlu keras-keras saat melakukan penagihan cukup kita lakukan pendekatan secara kekeluargaan, jika yang ditagih ngotot hukum kan ada, karena negara kita kan negara hukum,” katanya.

Sukri biasa mendapat job dari kerabatnya untuk menegih utang. Ia tidak berlindung di satu perusahaan.”Emang sih saya pernah ditawari perusahaan untuk menjalin kerja sama dalam hal penagihan utang, tapi saya tolak karena mereka harus ada target. Bagusan sendiri, sekalian menolong orang susah,” ujarnya.

Soal penagih utang yang marak belakangan ini memang mengarah ke kartu kredit. Karena itu, Sumut Pos pun mencoba mencari tahu, kenapa orang tertarik menjadi pengguna kartu tersebut. Faktor yang menjadi pengikat ternyata tak hanya soal uang yang bisa dikredit. Namun, kadang terletak pada siapa yang menawarkan kartu itu. Widani, salah satu Sales Promotion Boy kartu kredit yang sejak beberapa bulan lalu sudah bekerja untuk mendapatkan nasabah kartu kredit pun ditemui.

Menurut Widani, menguasai dan memahami produk yang dijual menjadi salah satu modal untuk mendapatkan nasabah. Bukan hanya itu, pintar bicara dengan memuji para calon juga merupakan suatu standar yang harus dimiliki. “Karena kita harus bisa membujuk calon nasabah,” ujar Widani.

Untuk pendapatan, gaji pokok biasanya sekitar Rp1 juta hingga Rp1,5 juta. Dan akan mendapatkan lebih bila mendapatkan nasabah. Dan nasabah tersebut tergantung nilai kartu kredit yang ditawarkan. Semakin besar nilai limitnya, semakin besar pula bonus yang didapat.

Noor, Sales Promotion Girls di salah satu bank juga menyatakan hal senada. “Dapat nasabah yang daftar saja sudah lumayan kok,” ujar Noor yang memiliki rambut panjang ini.

Salah satu yang harus diperhatikan adalah cara mendekati calon nasabah. “Jangan sampai calon nasabah tersebut ketakutan dengan kita,” tegasnya. (azw/mag9)

Pengakuan Debt Collector di Medan

MEDAN-Persoalan hukum karena perbuatan brutal debt collector atau penagih utang, tidak hanya terjadi di Jakarta. Di Medan pun hal yang sama terjadi  (Baca: Mengaku tak Utang, tetap Ditagih).  Penasaran dengan tindak tanduk mereka, Sumut Pos menelusuri kiprah para penagih utang tersebut.

Satu yang berhasil ditemui adalah H (45) warga Jalan Prof HM Yamin SH. H merupakan satu di antara debt collector di Medan yang jasanya pernah digunakan City Bank, Danamon, BCA dan lainnya. “Sekarang saya memilih jalan sendiri, kalau dibutuhkan perusahaan atau orang untuk menagih, saya baru jalan,” beber ayah tiga anak ini.
Pria yang sudah 20 tahun terjun sebagai debt collector ini mengaku tidak masuk dalam struktur karyawan ataupun organisasi di bank-bank tersebut. Jasa debt collector dibentuk dari sebuah perusahaan jasa lalu bekerja sama dengan bank yang ada di Indonesia. “Sistem kerjanya, pihak bank memberikan job kepada perusahaan penjual jasa debt collector dengan perjanjian 25 persen. Kasarnya, dari total tagihan kami mendapat 17 persen sedangkan perusahaan jasa mendapat 8 persen jika kami berhasil menagih,” beber pria bertubuh atletis ini.

Ketika ditanya nama perusahaan jasa tempatnya bekerja dulu, H enggan menyebutkan dengan alasan situasi debt collector sekarang yang sedang hangat-hangatnya diperdebatkan. “Kalau tidak dalam kondisi sekarang ini, saya mau menceritakan tapi keadaannya sekarang berbeda,” kilahnya.

Selama menjalankan tugas berbagai cara dilakukan. Mulai bertindak halus hingga kasar. “Kalau cara halus gak bisa terpaksa kasar. Kalau tidak seperti itu, kami tidak akan mencapai target karena perusahaan menekan memberi target kepada kami,” bebernya.

Lalu, H menceritakan pengalamannya saat menagih utang nasabah salah satu bank di Medan. “Namanya tidak usah kita ungkap ya, sebut saja si A. Dia itu punya utang hampir Rp1 miliar, cicilan kredit macet dan kami mendapat tugas untuk menagihnya. Saya dan dua rekan kesulitan mencarinya karena alamat rumahnya sudah pindah,” kenangnya.

Dengan kondisi seperti itu H dkk terpaksa mencari informasi. Beruntung mereka mendapat kabar bahwa si A itu bersembunyi di Belawan. “Kami langsung membawanya kembali ke Medan dan kami menyekapnya di suatu ruangan. Di ruangan itu kami menginterogasi. Maaf cakap, berbagai cara kami lakukan agar ia bisa membayar utangnya,” katanya.

Namun itu dulu, sekarang Hasril memilih jalan sendiri sebagai debt collector dengan risiko yang tidak terlalu besar. “Terus terang, risiko seperti itu besar sekali. Sekarang ini tidak bisa dilakukan seperti itu lagi karena masyarakat sudah tahu banyak tentang hukum. Kalau kita tidak pintar, kita bisa diadukan kasus penculikan dan penganiayaan,” tuturnya.

Saat ini, H menjadikan pekerjaan debt collector hanya untuk kerja sampingan. Ia kini lebih banyak terjun ke bisnis jual beli sepeda motor. “Kalau ada sepeda motor mau ditarik dari showroom biasanya saya ambil job itu. Lumayan, Rp600 ribu per sepeda motornya,” akunya.

T (25), debt collector lain yang berhasil ditemui mengaku pekerjaan itu sangat rumit. Pasalnya, kalau tak mencapai target, honor dipotong. “Kalau masih magang paling dikasih honor Rp900 ribu. Selain dipotong kalau tak mencapai target, kadang uang makan pun dipotong,” aku T yang aktif sebagai penagih utang sejak 2008 lalu.

Kini T telah mapan bekerja di sebuah perusahaan yang tidak berhubungan dengan hal itu. “Pokoknya kita kayak marketing-marketing itulah. Makanya, saya keluar dan hanya tahan bertugas selama setahun saja,” tambahnya.
Apakah pernah melakukan tindak kekerasan saat melakukan penagihan? “Wah, kita tak pernah, paling keras kita cuma memberikan peringatan saja,” tambah T.

Ketika ditanya soal peringatan yang dimaksud, T hanya tersenyum. “Ya, begitulah,” kekehnya.
Lain hal dengan S (48) warga Medan Johor. Menurutnya untuk menjadi debt collector bisa dilakukan siapa saja.”Saya saja pernah menjadi debt collector, padahal saya bekerja di pemerintahan,” akunya.

Hanya saja cara yang dilakukan S berbeda dengan debt collector pada umumnya. Ayah tiga anak lebih lebih mengedapankan pendekatan secara persuasif ataupun kekeluargaan saat penagihan utang. “Tidak perlu keras-keras saat melakukan penagihan cukup kita lakukan pendekatan secara kekeluargaan, jika yang ditagih ngotot hukum kan ada, karena negara kita kan negara hukum,” katanya.

Sukri biasa mendapat job dari kerabatnya untuk menegih utang. Ia tidak berlindung di satu perusahaan.”Emang sih saya pernah ditawari perusahaan untuk menjalin kerja sama dalam hal penagihan utang, tapi saya tolak karena mereka harus ada target. Bagusan sendiri, sekalian menolong orang susah,” ujarnya.

Soal penagih utang yang marak belakangan ini memang mengarah ke kartu kredit. Karena itu, Sumut Pos pun mencoba mencari tahu, kenapa orang tertarik menjadi pengguna kartu tersebut. Faktor yang menjadi pengikat ternyata tak hanya soal uang yang bisa dikredit. Namun, kadang terletak pada siapa yang menawarkan kartu itu. Widani, salah satu Sales Promotion Boy kartu kredit yang sejak beberapa bulan lalu sudah bekerja untuk mendapatkan nasabah kartu kredit pun ditemui.

Menurut Widani, menguasai dan memahami produk yang dijual menjadi salah satu modal untuk mendapatkan nasabah. Bukan hanya itu, pintar bicara dengan memuji para calon juga merupakan suatu standar yang harus dimiliki. “Karena kita harus bisa membujuk calon nasabah,” ujar Widani.

Untuk pendapatan, gaji pokok biasanya sekitar Rp1 juta hingga Rp1,5 juta. Dan akan mendapatkan lebih bila mendapatkan nasabah. Dan nasabah tersebut tergantung nilai kartu kredit yang ditawarkan. Semakin besar nilai limitnya, semakin besar pula bonus yang didapat.

Noor, Sales Promotion Girls di salah satu bank juga menyatakan hal senada. “Dapat nasabah yang daftar saja sudah lumayan kok,” ujar Noor yang memiliki rambut panjang ini.

Salah satu yang harus diperhatikan adalah cara mendekati calon nasabah. “Jangan sampai calon nasabah tersebut ketakutan dengan kita,” tegasnya. (azw/mag9)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/