Yang kedua terjadi sekitar 2007. Erwin baru meraih gelar sarjana hukum dan akan mengikuti acara doa persekutuan di daerah rumahnya, Krian, Sidoarjo. Di sela-sela acara, dia mampir ke warung untuk membeli minuman dan beberapa makanan ringan. Seseorang terlihat duduk di warung tersebut.
Erwin berdiri di sampingnya untuk melakukan transaksi dengan penjaga warung. Tiba-tiba, ”Brak! Dia pukul punggung saya pakai kursi,” tuturnya. Punggung Erwin sempat berdarah karena pukulan tersebut.
Selepas kejadian tersebut, Erwin malah tidak merasa bertambah takut kepada orang gila di jalanan. Dia semakin sering mampir dan mengamat-amati beberapa orang yang ditemuinya.
Menurut Erwin, para penyandang gangguan jiwa tersebut hanya perlu diajak berinteraksi. ”Kuncinya cuma komunikasi dan mengharapkan pertolongan dari Yang Mahakuasa,” kata Erwin.
Dari pengalaman dipukul orang gila, Erwin mengambil sebuah kesimpulan. Mereka yang bermasalah dengan mental sebenarnya juga takut kepada orang-orang normal di sekitar mereka.
Mereka merasa diasingkan, dibenci, dikucilkan, dan selalu merasa terintimidasi. ”Karena takut, mereka cenderung melakukan aksi membela diri pada orang yang dianggap berbahaya,” tutur Erwin.
Cara terbaik untuk membantu pemulihan mental mereka adalah dengan menunjukkan sikap yang ramah. Sebisanya mengajak mereka untuk berinteraksi, berkomunikasi, serta menghargai keberadaan mereka.
”Intinya, kita manusiakan mereka. Saya yakin mereka juga pasti mengerti,” kata Erwin.
Sifat Erwin yang kelewat penolong itu diingat betul oleh sang istri, Desire. Dia menuturkan bahwa beberapa kali terjadi Erwin keluar rumah dengan menggunakan jaket. Sekembalinya ke rumah, Erwin sudah tidak memakai jaket. Waktu ditanya, jawaban Erwin selalu sama. ”Katanya sudah dikasihkan sama orang itu di jalan,” tutur Desire.
Momen ketika Erwin memutuskan untuk tinggal di rumah Gadara adalah masa-masa sulit bagi mahligai rumah tangga mereka. Desire jelas tidak mau tinggal bersama orang-orang sinting.
Dia memikirkan keselamatan sang buah hati, Georgina Blessing, yang waktu itu masih berusia 8 bulan. Bahkan, mereka hampir bercerai. ”Saya bilang, kamu saja yang tinggal di situ biar saya sama anak-anak,” tutur perempuan asli Medan tersebut. Toh, akhirnya Desire melunak dan bersedia ikut sang suami tinggal di rumah Gadara.
Namun, lagi-lagi proses pertama tidak mudah. Desire punya masalah dengan makan dan minum di rumah itu. Melihat para murid, Desire selalu diserang rasa jijik. Setiap kali ingin makan atau minum, Desire mencari tempat di luar rumah. ”Saya tidak mau pakai gelas dan piring yang sama dengan mereka meskipun sudah dicuci,” tuturnya.
Namun, lambat laun Desire bisa menyesuaikan dan mengatasi rasa jijiknya. Apalagi sejak diurus oleh Erwin, perlahan rumah Gadara semakin bersih. Para murid pun hidup lebih disiplin dan higienis.
”Sekarang mendingan. Ada gelas yang sudah dipakai mereka, saya cuci, terus saya pakai tidak masalah,” ujarnya.
Hingga saat ini masih banyak orang yang menyesalkan keputusan keduanya untuk tinggal di Rumah Gadara. Baik kerabat Erwin maupun Desire. Selain masalah keamanan, ada juga yang khawatir tumbuh kembang Blessing dan George terganggu. ”Katanya mental anak saya bisa terpengaruh,” katanya.
Tapi, tampaknya, kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Di ruang tamu rumah Gadara, Blessing tampak sama sekali tidak risi, apalagi takut. Saat mentor mengarahkan para murid untuk berkumpul di ruang tengah, Blessing juga ikut-ikutan mengarahkan dengan lagak khas. ”Sana Om, sana Om,” katanya.
”Hampir semua murid suka sama Blessing,” kata Desire sambil tersenyum. (jpg/rbb/bersambung)