Rumah itu berjarak 30 kilometer dari kantor Palang Merah Indonesia (PMI) Medan. Letaknya berada dalam sebuah gang yang hanya bisa dilalui sepeda motor. Tidak istimewa. Namun, penghuni rumah itu adalah Khairuddin, putra Sumut yang telah mendonorkan 29 liter darahnya bagi kemanusiaan.
Ramadhan Batubara, Medan
Menjumpai bapak empat anak ini seperti mengejar layang-layang yang lewong. Dia merupakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas di Pemkab Serdang Bedagai (Sergai) dan tinggal di Deliserdang. Maka, usai subuh dia sudah meninggalkan rumah yang berada di Dusun I Desa Dagang Kelambir Kecamatan Tanjungmorawa menuju tempat tugasnya di Seirampah Sergai. Lalu, ketika senja dia baru tiba di rumah.
Itulah sebab, baru pada Rabu 8 Mei, ketika dunia merayakan hari Palang Merah, Sumut Pos berhasil menjumpai lelaki yang lahir pada Januari 54 tahun lalu itu. Tapi, seperti layang-layang lewong, mencari rumahnya pun tak segampang mendapat pekerjaan di perusahaan keluarga. Rumah sederhananya itu berada di belakang rumah-rumah penduduk. Tidak ada nomor rumah.
“Namanya juga rumah kampung. Tak ada nomornya. Tanya saja dengan kepala desa,” begitu katanya melalui saluran telepon.
“Setelah jam 6 ya. Saya masih di Sergai,” tambahnya. Ketika ditelepon jam di tangan menunjukkan pukul dua siang. Medan pun mulai hujan.
Saat hujan mulai reda, pukul 5 sore, Sumut Pos bergerak ke alamat yang belum jelas itu. Informasi soal titik rumah itu begitu minim. Namun, dengan berpegang kalimat ‘tanya saja pada kepala desa’ yang diucapkan Khairuddin, ‘perburuan’ pun dimulai.
Sialnya Jalan Lintas Sumatera yang menghubungkan Kota Medan dengan Kabupaten Deliserdang petang itu sedang padat. Para komuter – pekerja asal Deliserdang yang kerja di Medan – seperti berebut pulang. Macet. Belum lagi sisa hujan yang menutupi jalan berlubang membuat mereka memperlambat laju. Tumpukan kendaraan mulai tampak setelah Jembatan Layang Amplas. Di depan Mapolda Sumut keadaan makin parah. Gerak kendaraan roda empat seperti malu berputar. Beruntung Sumut Pos melaju dengan kendaraan roda dua. Sisi jalan yang tak diaspal, berlumpur, menjadi pilihan terbaik. Ban meliuk-liuk layaknya motorcross. Tak peduli setan, Sumut Pos menerebos itu semua.
Mendekati tapal batas Medan-Deliserdang, keadaan makin parah. Roda empat tak bisa bergerak. Penyempitan jalan di tapal batas bisa dijadikan kambing hitam untuk kemacetan itu. Setelah melewati simpang tol Tanjungmorawa jalur lalu lintas mulai mengalir wajar. Tapi, tak lama kemudian Simpang Kayubesar dijumpai. Persimpangan menuju Bandara Kualanamu itu menghambat roda karena ada antrean untuk menuju jalan ke bandara baru tersebut.
Lepas Simpang Kayubesar senyum mulai merekah dari wajah pengendara mobil. Tapi, kebingungan mulai mengemuka bagi Sumut Pos. Posisi sudah di Kecamatan Tanjungmorawa tapi Desa Dagang Kelambir itu di mana? Keadaan makin diperparah karena hari mulai gelap dan gerimis muncul lagi.
Informasi dari seorang kawan malah membuat panik. “Tak ada Desa Dagang Kelambir yang ada Desa Dagang Karawang,” begitu katanya.
Desa Karawang yang dimaksud kawan tersebut berada di sisi kanan Jalan Lintas Sumatera dari arah Medan. Tepatnya, setelah Kantor Direksi PTPN 2 ada jembatan, setelah itu belok ke kanan.
Atas dasar keterangan ala kadarnya itu, Sumut Pos memilih belok kanan dan berharap data yang diberikan PMI Medan soal Khairuddin salah. Ya, semoga saja tak ada Desa Dagang Kelambir dan yang ada Desa Dagang Karawang.
Memasuki jalan yang membela komplek pertokoan Tanjungmorawa itu, kepanikan mulai hinggap lagi. Pasalnya setelah beberapa ratus meter, belum ada tanda-tanda Desa Dagang Karawang. Tapi beruntung, dalam keadaan gelap, ketika tiba di pertigaan, ada plang bertuliskan nama desa itu di sebuah bangunan.
“Khairuddin? Dapat penghargaan dari presiden? Rumah kepala desa saya gak tahu,” ungkap seorang penjaga warung ketika Sumut Pos bertanya.
Tak mendapat jawaban memuaskan, Sumut Pos beralih ke seorang tukang bakso yang mangkal di pinggir jalan, letaknya sekitar 300 meter dari warung tadi. “Iya, ini Desa Dagang Karawang, tapi gak pernah dengar soal itu. Memang orang Desa Dagang Karawang?” katanya.
Di depan tukang bakso yang sedang tak ada pembelinya itu, Sumut Pos kembali membuka lembaran kertas yang berisikan alamat Khairuddin.
“Kalau Desa Dagang Kelambir sebelah sana,” tiba-tiba tukang bakso itu menunjuk ke arah gelap, sepertinya ke arah Jalan Lintas Sumatera nun jauh di sana tertutup gedung, pohon, dan sebagainya. “Di seberang jalan besar itu,” tambahnya. Tanpa diminta, dia pun langsung memberikan petunjuk menuju Desa Dagang Kelambir.
Begitulah, ternyata keterangan tukang bakso tadi yang menjadi penyelamat. Dalam susasana gerimis yang rapat dan hari yang telah berganti malam, Desa Dagang Kelambir akhirnya teraih. Masalahnya, di mana rumah Khairuddin? Penjaga warung kembali menjadi sasaran tanya. “Khairuddin? Penerima penghargaaan dari presiden? Saya gak tahu. Tapi, kalau rumah kepala desa, itu!” tunjuk ibu-ibu penjaga warung.
“Itu yang ada di belakang rumah itu, yang tampak terasnya itu,” sambungnya.
Sumut Pos langsung bergegas. Seorang perempuan di rumah kepala desa itu membuka pintu. “Khairuddin?” katanya.
Mendandak kepanikan kembali muncul. Ada keraguan yang memenuhi kepala. “Di sini ada beberapa Khairuddin, Khairuddin yang mana?” kata perempuan itu lagi. “Ohh, itu rumahnya, selang dua rumah dari sini. Tuh kelihatan rumahnya,” tunjuk perempuan itu ke sebuah rumah di ujung gang setelah Sumut Pos sebutkan Khairuddin yang dimaksud adalah pendonor darah yang mendapat penghargaan dari presiden.
Mendapat kepastian, gagah Sumut Pos menuju rumah tak berpagar yang disinari lampu tak banyak itu. Meski tak berpagar, halaman rumah itu kesannya luas. Ada beberapa pohon kayu keras yang tumbuh subur. Jam di tangan sudah menunjukkan pukul tujuh.
Seorang perempuan di rumah itu membuka pintu, tapi dia tidak keluar. Dia bertahan di bibir pintu, di balik teralis. Setelah mengetahui maksud kedatangan Sumut Pos, barulah di membuka teralis itu dan membiarkan Sumut Pos duduk di ruang tamu yang tak besar dengan sofa ala kadarnya.
Rumah itu tidak berdinding kayu,semuanya tembok. Dan, tembok di ruang tamu itu memajang beberapa foto. Tapi, kenapa tak ada foto seseorang yang bersalaman dengan Presiden SBY? Belum sempat mereka-reka jawaban dari pertanyaan itu, seorang lelaki muncul dari balik kamar. Wajahnya sedikit bingung. Meski bingung dia berusaha tersenyum begitu menyadari kalau yang datang adalah yang menelepon dia pukul dua siang tadi. “Sulit mencari alamat?” basa-basinya.
Sumut Pos memilih untuk tak menjawab. Pasalnya, mencari rumah yang tak ada dalam peta memang tak mudah kan? Namun, daripada tak menjawab pertanyaan tadi, Sumut Pos pun langsung membalasnya dengan sebuah pertanyaan, “Kok tak ada foto bapak dengan SBY?”
Khairuddin tersenyum. Matanya pun menerawang. (bersambung)