32 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Tak Sempat Kencing, Sopir-Kondektur pun Pakai Diaper

Pasangan sopir bus umum di Bangkok, Sompong-Jai Narathong.
Sopir bus umum di Bangkok tak sempat kencing.

Bangkok termasuk kota termacet di dunia. Untuk menempuh jarak 3 km pada jam sibuk, sebuah mobil perlu waktu sejam. Inilah yang membuat sopir bus umum di sana menjadi potret profesi yang mengenaskan. Berikut catatan KARDONO SETYORAKHMADI yang baru pulang dari meliput kudeta militer di ibu kota Thailand itu.

—–

BAGI pasangan Sompong-Jai Narathong, hari sudah dimulai pada pukul 03.30. Pasutri yang sama-sama berusia 64 tahun tersebut bangun dan mulai menyiapkan segala sesuatunya di flat sewaan berukuran 4 x 5 meter kawasan Rama 2 Road, Bangkok.

Dini hari itu Jai sudah harus menanak nasi dan membuat lauk sederhana untuk sarapan berdua. Dia menyisakan satu bakul kecil untuk Wilawan, putra sulungnya berusia 30 tahun yang masih tidur. Wilawan pengangguran karena mengalami gangguan mental.

”Anak kedua saya normal dan kini menjadi seorang polisi rendahan,” terang Jai ketika ditemui Jawa Pos di tempat kerjanya pekan lalu.

Selanjutnya, pukul 04.30 Jai bersama suaminya sudah berada di Terminal Jembatan Pathamanusorn atau yang lebih dikenal dengan nama Thailand Saphan Phut. Di dalam bus yang akan dioperasikannya, Jai dan suaminya kemudian sarapan. Menu yang tak seberapa banyak itu akan menjadi pengisi perut mereka selama lebih dari sepuluh jam ke depan.

”Biasanya makan berikutnya pukul 15.00,” terang Jai sembari menambahkan bahwa sekitar 60 persen kru bus (sopir dan kondektur) di terminal tersebut merupakan suami istri seperti mereka.

Tiap pagi, sebelum jalanan ramai, Sompong dan Jai melintasi rute sepanjang 50 km dengan relatif ngebut. Hanya butuh dua jam pergi pulang. Baru pada etape kedua, siapa saja yang mendengar mungkin akan merasa agak mulas. Di perjalanan rit kedua ini mereka biasanya sudah terjebak kemacetan Bangkok yang amat parah. Untuk rute yang sama, mereka membutuhkan waktu lima hingga enam jam. Sompong harus memutar kemudi dan tak bisa ke mana-mana selama itu. Sedangkan Jai harus menerobos deretan penumpang yang berdesak-desakan kepanasan untuk memungut ongkos THB 8 (Rp 2.900) per orang.

Jika lupa ke toilet seusai perjalanan rit pertama, sangat mungkin mereka akan tersiksa untuk empat–lima jam ke depan menahan hajat. Di Thailand jarang ada SPBU dalam kota yang menyediakan toilet sebagaimana yang ada di Indonesia. Toilet hanya ada di terminal.

Akibat kemacetan panjang dan berebut penumpang (karena bayaran mereka berdasar komisi dari karcis yang didapat), jarang ada sopir bus yang menghentikan kendaraan untuk memenuhi hasrat biologis itu. Maka, satu-satunya pilihan bagi para sopir-kondektur adalah menggunakan diaper. Ini adalah benda seperti pembalut yang dikenakan di selangkangan agar pipis tak meluber ke mana-mana sebagaimana yang jamak dipakai anak balita. Sebab, secara normal, dalam rit kedua yang membutuhkan waktu lima–enam jam tersebut, mereka bisa pipis dua kali.

”Tapi, kalau saya lupa pakai atau lagi tak ada uang untuk beli diaper, saya ya seperti ini,” kata Sompong seraya menirukan gerakan orang menahan pipis sambil menyetir.

Sompong mengakui, mengenakan diaper sebenarnya sangat tidak enak. Selain terasa ngganjel di celana, rasanya risi bila air kencing banyak. ”Pipis sekali saja sudah penuh rasanya. Apalagi dua kali,” ucapnya lantas tertawa.

Dalam sehari Sompong dan istrinya bisa jalan hingga lima rit. Yang paling berat adalah rit kedua, ketiga, dan keempat karena bertepatan dengan jam-jam sibuk. ”Kadang-kadang tak sampai rit kelima kami sudah pulang. Karena ternyata keburu malam,” jelasnya.

Setelah meninggalkan bus, Sompong dan Jai makan malam dengan menghabiskan bekal yang dibawa sejak pagi. Sampai di rumah, biasanya mereka langsung tidur. Rutinitas itu mereka lakukan setiap hari sejak 40 tahun lalu.

Menurut kawan Jai sesama kondektur perempuan, Pawanrat Mongkep, kru bus umum di Bangkok hampir tidak punya waktu istirahat ketika busnya ngetem di terminal. ”Begitu nomor bus kami disebut, kami sudah harus jalan. Kalau tidak, jatah waktu kami diambil orang,” kata perempuan berusia sekitar 50 tahun itu.

Mereka hanya bisa ”beristirahat” ketika makan, buang air kecil, dan mengganti diaper. ”Jadi, begitu sampai di terminal tujuan, kami biasanya ke toilet, kencing dan mengganti diaper. Waktunya hanya sepuluh menit. Setelah itu jalan lagi,” terangnya.

Pawanrat mengatakan, untuk makan, biasanya mereka melakukan di sela-sela bus berjalan. ”Makan satu–dua sendok, kemudian menyuapi suami yang sedang nyetir,” ujarnya.

Untuk mendapatkan uang yang banyak, mereka harus bekerja rata-rata 18 jam sehari (sekitar empat hingga lima rit). Pendapatan yang diperoleh per hari rata-rata THB 400 (Rp 135 ribu) hingga THB 1.000 (Rp 360 ribu). Bila ditotal, per bulan mereka bisa memperoleh Rp 4,5 sampai 10 juta. Dari jumlah itu, mereka akan mendapatkan komisi sesuai kesepakatan dengan majikan masing-masing.

Pendapatan tersebut sebenarnya tidak setimpal dengan kehidupan yang mereka korbankan. Menurut survei yang diadakan Yayasan Ying-Chai Kao Klai dan Serikat Pekerja Kru Bus Umum Bangkok, banyak sopir bus umum di sana yang mengalami gangguan kesehatan. Di antaranya, 94,3 persen mengalami sres; 90,9 persen menderita gejala pelemahan otot; 80,8 persen mengalami masalah di liver; 79,6 persen terkena penyakit infeksi saluran kencing (karena diaper yang digunakan sudah penuh dan lama terpakai); serta 72,8 persen menderita gangguan pencernaan akibat kencing dan buang air besar yang tak teratur.

Menurut Sekretaris Serikat Pekerja Kru Bus Umum Bangkok Chutima Boonjai, pihaknya telah meminta pemerintah menyediakan toilet-toilet umum di sepanjang rute yang dilalui bus umum. ”Setidaknya agar kami bisa buang air kecil secara teratur. Tidak seperti sekarang ini kondisinya,” cetus dia.

Bahkan, Chutima mengancam bakal melakukan aksi mogok bila pemerintah tidak merespons dengan cepat. ”Sebab, kami melihat sudah semakin banyak kru bus umum yang kondisi kesehatannya memburuk. Ini tak bisa dibiarkan,” tegasnya. (*/c9/ari)

Pasangan sopir bus umum di Bangkok, Sompong-Jai Narathong.
Sopir bus umum di Bangkok tak sempat kencing.

Bangkok termasuk kota termacet di dunia. Untuk menempuh jarak 3 km pada jam sibuk, sebuah mobil perlu waktu sejam. Inilah yang membuat sopir bus umum di sana menjadi potret profesi yang mengenaskan. Berikut catatan KARDONO SETYORAKHMADI yang baru pulang dari meliput kudeta militer di ibu kota Thailand itu.

—–

BAGI pasangan Sompong-Jai Narathong, hari sudah dimulai pada pukul 03.30. Pasutri yang sama-sama berusia 64 tahun tersebut bangun dan mulai menyiapkan segala sesuatunya di flat sewaan berukuran 4 x 5 meter kawasan Rama 2 Road, Bangkok.

Dini hari itu Jai sudah harus menanak nasi dan membuat lauk sederhana untuk sarapan berdua. Dia menyisakan satu bakul kecil untuk Wilawan, putra sulungnya berusia 30 tahun yang masih tidur. Wilawan pengangguran karena mengalami gangguan mental.

”Anak kedua saya normal dan kini menjadi seorang polisi rendahan,” terang Jai ketika ditemui Jawa Pos di tempat kerjanya pekan lalu.

Selanjutnya, pukul 04.30 Jai bersama suaminya sudah berada di Terminal Jembatan Pathamanusorn atau yang lebih dikenal dengan nama Thailand Saphan Phut. Di dalam bus yang akan dioperasikannya, Jai dan suaminya kemudian sarapan. Menu yang tak seberapa banyak itu akan menjadi pengisi perut mereka selama lebih dari sepuluh jam ke depan.

”Biasanya makan berikutnya pukul 15.00,” terang Jai sembari menambahkan bahwa sekitar 60 persen kru bus (sopir dan kondektur) di terminal tersebut merupakan suami istri seperti mereka.

Tiap pagi, sebelum jalanan ramai, Sompong dan Jai melintasi rute sepanjang 50 km dengan relatif ngebut. Hanya butuh dua jam pergi pulang. Baru pada etape kedua, siapa saja yang mendengar mungkin akan merasa agak mulas. Di perjalanan rit kedua ini mereka biasanya sudah terjebak kemacetan Bangkok yang amat parah. Untuk rute yang sama, mereka membutuhkan waktu lima hingga enam jam. Sompong harus memutar kemudi dan tak bisa ke mana-mana selama itu. Sedangkan Jai harus menerobos deretan penumpang yang berdesak-desakan kepanasan untuk memungut ongkos THB 8 (Rp 2.900) per orang.

Jika lupa ke toilet seusai perjalanan rit pertama, sangat mungkin mereka akan tersiksa untuk empat–lima jam ke depan menahan hajat. Di Thailand jarang ada SPBU dalam kota yang menyediakan toilet sebagaimana yang ada di Indonesia. Toilet hanya ada di terminal.

Akibat kemacetan panjang dan berebut penumpang (karena bayaran mereka berdasar komisi dari karcis yang didapat), jarang ada sopir bus yang menghentikan kendaraan untuk memenuhi hasrat biologis itu. Maka, satu-satunya pilihan bagi para sopir-kondektur adalah menggunakan diaper. Ini adalah benda seperti pembalut yang dikenakan di selangkangan agar pipis tak meluber ke mana-mana sebagaimana yang jamak dipakai anak balita. Sebab, secara normal, dalam rit kedua yang membutuhkan waktu lima–enam jam tersebut, mereka bisa pipis dua kali.

”Tapi, kalau saya lupa pakai atau lagi tak ada uang untuk beli diaper, saya ya seperti ini,” kata Sompong seraya menirukan gerakan orang menahan pipis sambil menyetir.

Sompong mengakui, mengenakan diaper sebenarnya sangat tidak enak. Selain terasa ngganjel di celana, rasanya risi bila air kencing banyak. ”Pipis sekali saja sudah penuh rasanya. Apalagi dua kali,” ucapnya lantas tertawa.

Dalam sehari Sompong dan istrinya bisa jalan hingga lima rit. Yang paling berat adalah rit kedua, ketiga, dan keempat karena bertepatan dengan jam-jam sibuk. ”Kadang-kadang tak sampai rit kelima kami sudah pulang. Karena ternyata keburu malam,” jelasnya.

Setelah meninggalkan bus, Sompong dan Jai makan malam dengan menghabiskan bekal yang dibawa sejak pagi. Sampai di rumah, biasanya mereka langsung tidur. Rutinitas itu mereka lakukan setiap hari sejak 40 tahun lalu.

Menurut kawan Jai sesama kondektur perempuan, Pawanrat Mongkep, kru bus umum di Bangkok hampir tidak punya waktu istirahat ketika busnya ngetem di terminal. ”Begitu nomor bus kami disebut, kami sudah harus jalan. Kalau tidak, jatah waktu kami diambil orang,” kata perempuan berusia sekitar 50 tahun itu.

Mereka hanya bisa ”beristirahat” ketika makan, buang air kecil, dan mengganti diaper. ”Jadi, begitu sampai di terminal tujuan, kami biasanya ke toilet, kencing dan mengganti diaper. Waktunya hanya sepuluh menit. Setelah itu jalan lagi,” terangnya.

Pawanrat mengatakan, untuk makan, biasanya mereka melakukan di sela-sela bus berjalan. ”Makan satu–dua sendok, kemudian menyuapi suami yang sedang nyetir,” ujarnya.

Untuk mendapatkan uang yang banyak, mereka harus bekerja rata-rata 18 jam sehari (sekitar empat hingga lima rit). Pendapatan yang diperoleh per hari rata-rata THB 400 (Rp 135 ribu) hingga THB 1.000 (Rp 360 ribu). Bila ditotal, per bulan mereka bisa memperoleh Rp 4,5 sampai 10 juta. Dari jumlah itu, mereka akan mendapatkan komisi sesuai kesepakatan dengan majikan masing-masing.

Pendapatan tersebut sebenarnya tidak setimpal dengan kehidupan yang mereka korbankan. Menurut survei yang diadakan Yayasan Ying-Chai Kao Klai dan Serikat Pekerja Kru Bus Umum Bangkok, banyak sopir bus umum di sana yang mengalami gangguan kesehatan. Di antaranya, 94,3 persen mengalami sres; 90,9 persen menderita gejala pelemahan otot; 80,8 persen mengalami masalah di liver; 79,6 persen terkena penyakit infeksi saluran kencing (karena diaper yang digunakan sudah penuh dan lama terpakai); serta 72,8 persen menderita gangguan pencernaan akibat kencing dan buang air besar yang tak teratur.

Menurut Sekretaris Serikat Pekerja Kru Bus Umum Bangkok Chutima Boonjai, pihaknya telah meminta pemerintah menyediakan toilet-toilet umum di sepanjang rute yang dilalui bus umum. ”Setidaknya agar kami bisa buang air kecil secara teratur. Tidak seperti sekarang ini kondisinya,” cetus dia.

Bahkan, Chutima mengancam bakal melakukan aksi mogok bila pemerintah tidak merespons dengan cepat. ”Sebab, kami melihat sudah semakin banyak kru bus umum yang kondisi kesehatannya memburuk. Ini tak bisa dibiarkan,” tegasnya. (*/c9/ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/