30 C
Medan
Tuesday, June 11, 2024

Gelar Wayang Kulit Rebutan Tapal Batas

Perjuangan Warga Sari Rejo

Perjuangan untuk mendapatkan hak atas status tanah yang sudah ditempati warga Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia terus dilakukan. Kali ini bentuk perjuangan tersebut diceritakan dalam pagelaran wayang kulit bersama Ki Dalang Joko Santoso dengan judul Gatot Kaca Rebutan Kikis (tapal batas, Red).

Adlansyah Nasution, Medan

Sebelum memulai pertunjukan, ketua panitia menyerahkan wayang kulit kepada Ki Dalang Joko Santoso. Dengan menggunakan prinsip cahaya dan bayang, Ki Dalang memulai dengan mengangkat kedua tangannya serta mengangkat satu per satu wayang kulit tersebut di balik layar putih, diiringi dengan alat musik gamelan, alat tiup (serunai) dan alat bertali (rebab) serta seorang perempuan yang sekali-kali mengeluarkan suara merdu dengan Bahasa Jawa halus.

Ki Dalang yang duduk di tengah-tengah arena bersama puluhan wayang kulit yang terdiri dari berbagai watak methologi dengan rupa yang berbeda, tampak terbiasa menggerakkannya dari kiri ke kanan dan sebaliknya.
Dengan khayalan yang dilakoni oleh Ki Dalang bersama delapan pemain musiknya, benda tersebut mengeluarkan suara yang begitu lembut.

Lakon mengisahkan sengketa tanah Sari Rejo yang belum juga mencapai kesepakatan. Masyarakat hingga kini belum juga menerima sertifikat. Sementara pihak lain, yang belakangan terlibat di tanah tersebut, telah menerimanya. Sedangkan Wali Kota Medan terus berjanji kepada masyarakat akan segera menuntaskannya di akhir tahun ini bersama TNI AU.

Warga terus meminta permasalahan tanah Sari Rejo agar cepat diselesaikan, karena masyarakatnya sudah hidup sejahtera sejak tahun 1948. Akan tetapi, BPN tidak juga mengeluarkan sertifikat tanah terhadap lahan warga yang seluas 260 hektar sedangkan lahan seluas 302 hektar sudah bersertifikat dari luas seluruh lahan Kelurahan Sari Rejo 591 hektar.

“Pertunjukan wayang kulit menceritakan perjuangan warga Sari Rejo untuk mendapatkan status hak tanah mereka yang sampai saat ini belum bersertifikat. Sementara pihak lain yang baru menempati lahan Sari Rejo sudah mendapatkan sertifikat,” kata Ki Dalang, sebelum memulai acara kepada Sumut Pos, Sabtu (10/12) malam.

Cerita perjuangan warga Sari Rejo lewat wayang kulit itu juga dihadiri unsur muspika, perkumpulan masyarakat jawa dan warga sekitar  dilaksanakan di Lingkungan III, Kelurahan Sari Rejo sekaligus memperingati 1 Suro 1945 W / 1 Muharam 1433 H dan Bersih Desa.

Kegiatan yang setiap tahun dilaksanakan di Kelurahan Sari Rejo ini berlangsung selama dua hari. Awalnya, Sabtu (10/12) pagi kemarin. Seluruh warga bersama panitia dari Lingkungan III melakukan bersih desa dengan kegiatan kenduri bersama dan doa bersama yang diartikan sebagai bentuk penolakan bala di kampung tersebut.

“Selain melestarikan budaya, hal ini juga dilakukan agar warga Sari Rejo terbebas dari bala dan hal-hal negatif. Selain itu, masyarakat dapat diberi kekuatan dan rezeki melimpah ruah. Dengan kegiatan yang dilaksanakan setiap tahun dengan bergantian oleh setiap lingkungan juga dapat memberikan semangat dan bekerjasama untuk membudayakannya dengan silaturahmi seperti ini,” kata Ketua Panitia, Sani Mg Arbi SH yang juga Kepling III, Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, di sela-sela acara.

Camat Medan Polonia, Ody Dody dalam sambutannya mengaku sangat bahagia dengan pergelaran acara yang memberikan apresiasi besar kepada masyarakat.

“Kebudayaan yang dimiliki warga Sari Rejo sangat kuat dan kental, saya juga mengakui kalau masyarakat yang tinggal di Sari Rejo sangat berbahagia karena memliki lingkungan yang bersih dari kelurahan lainnya,” ucapnya.
Sementara, Ustad Sarimah Alfaruf dalam ceramahnya menuturkan kalau seni wayang sejak 1.500 tahun lalu sudah ada di dunia. Acara berakhir Minggu (11/12) kemarin, dengan menggelar kuda kepang.(*)

Perjuangan Warga Sari Rejo

Perjuangan untuk mendapatkan hak atas status tanah yang sudah ditempati warga Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia terus dilakukan. Kali ini bentuk perjuangan tersebut diceritakan dalam pagelaran wayang kulit bersama Ki Dalang Joko Santoso dengan judul Gatot Kaca Rebutan Kikis (tapal batas, Red).

Adlansyah Nasution, Medan

Sebelum memulai pertunjukan, ketua panitia menyerahkan wayang kulit kepada Ki Dalang Joko Santoso. Dengan menggunakan prinsip cahaya dan bayang, Ki Dalang memulai dengan mengangkat kedua tangannya serta mengangkat satu per satu wayang kulit tersebut di balik layar putih, diiringi dengan alat musik gamelan, alat tiup (serunai) dan alat bertali (rebab) serta seorang perempuan yang sekali-kali mengeluarkan suara merdu dengan Bahasa Jawa halus.

Ki Dalang yang duduk di tengah-tengah arena bersama puluhan wayang kulit yang terdiri dari berbagai watak methologi dengan rupa yang berbeda, tampak terbiasa menggerakkannya dari kiri ke kanan dan sebaliknya.
Dengan khayalan yang dilakoni oleh Ki Dalang bersama delapan pemain musiknya, benda tersebut mengeluarkan suara yang begitu lembut.

Lakon mengisahkan sengketa tanah Sari Rejo yang belum juga mencapai kesepakatan. Masyarakat hingga kini belum juga menerima sertifikat. Sementara pihak lain, yang belakangan terlibat di tanah tersebut, telah menerimanya. Sedangkan Wali Kota Medan terus berjanji kepada masyarakat akan segera menuntaskannya di akhir tahun ini bersama TNI AU.

Warga terus meminta permasalahan tanah Sari Rejo agar cepat diselesaikan, karena masyarakatnya sudah hidup sejahtera sejak tahun 1948. Akan tetapi, BPN tidak juga mengeluarkan sertifikat tanah terhadap lahan warga yang seluas 260 hektar sedangkan lahan seluas 302 hektar sudah bersertifikat dari luas seluruh lahan Kelurahan Sari Rejo 591 hektar.

“Pertunjukan wayang kulit menceritakan perjuangan warga Sari Rejo untuk mendapatkan status hak tanah mereka yang sampai saat ini belum bersertifikat. Sementara pihak lain yang baru menempati lahan Sari Rejo sudah mendapatkan sertifikat,” kata Ki Dalang, sebelum memulai acara kepada Sumut Pos, Sabtu (10/12) malam.

Cerita perjuangan warga Sari Rejo lewat wayang kulit itu juga dihadiri unsur muspika, perkumpulan masyarakat jawa dan warga sekitar  dilaksanakan di Lingkungan III, Kelurahan Sari Rejo sekaligus memperingati 1 Suro 1945 W / 1 Muharam 1433 H dan Bersih Desa.

Kegiatan yang setiap tahun dilaksanakan di Kelurahan Sari Rejo ini berlangsung selama dua hari. Awalnya, Sabtu (10/12) pagi kemarin. Seluruh warga bersama panitia dari Lingkungan III melakukan bersih desa dengan kegiatan kenduri bersama dan doa bersama yang diartikan sebagai bentuk penolakan bala di kampung tersebut.

“Selain melestarikan budaya, hal ini juga dilakukan agar warga Sari Rejo terbebas dari bala dan hal-hal negatif. Selain itu, masyarakat dapat diberi kekuatan dan rezeki melimpah ruah. Dengan kegiatan yang dilaksanakan setiap tahun dengan bergantian oleh setiap lingkungan juga dapat memberikan semangat dan bekerjasama untuk membudayakannya dengan silaturahmi seperti ini,” kata Ketua Panitia, Sani Mg Arbi SH yang juga Kepling III, Kelurahan Sari Rejo, Kecamatan Medan Polonia, di sela-sela acara.

Camat Medan Polonia, Ody Dody dalam sambutannya mengaku sangat bahagia dengan pergelaran acara yang memberikan apresiasi besar kepada masyarakat.

“Kebudayaan yang dimiliki warga Sari Rejo sangat kuat dan kental, saya juga mengakui kalau masyarakat yang tinggal di Sari Rejo sangat berbahagia karena memliki lingkungan yang bersih dari kelurahan lainnya,” ucapnya.
Sementara, Ustad Sarimah Alfaruf dalam ceramahnya menuturkan kalau seni wayang sejak 1.500 tahun lalu sudah ada di dunia. Acara berakhir Minggu (11/12) kemarin, dengan menggelar kuda kepang.(*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/