25 C
Medan
Friday, June 28, 2024

Alirkan Darah kepada 116 Orang yang Tak Dikenal

Tidak terlihat raut sedih atau nada kecewa ketika Khairuddin menceritakan soal tak ada fotonya berdua dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Padahal, sebagai sosok yang diundang ke Jakarta untuk mendapat penghargaan dari presiden adalah suatu prestasi. Menurutnya, bisa menolong orang melalui darahnya sudah menjadi kebahagiaan tersendiri.

Ramadhan Batubara, Medan

BARENG: Suasana sebelum foto bareng para penerima Satyalencana Kebaktian Sosial dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua PMI Jusuf Kalla, beberapa waktu lalu.
BARENG: Suasana sebelum foto bareng para penerima Satyalencana Kebaktian Sosial dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua PMI Jusuf Kalla, beberapa waktu lalu.

“Bukan tak mau, tapi gak bisa. Kalaupun bisa foto, ya, ramai-ramai,” ungkap Khairuddin soal tak ada fotonya dengan SBY yang terpajang di dinding ruang tamu yang tak luas itu.

Bak tak peduli dengan keadaan itu, Khairuddin langsung semangat ketika ditanya tentang aksi donor darahnya. Dimulai sejak dia duduk di kelas tiga SMA, hingga kini donor darah baginya bukanlah sebuah beban atau aksi unjug diri. Donor darah adalah kebutuhan. Donor darah membuat dia sehat. Buktinya hingga usia 54 tahun dia belum pernah menderita penyakit parah. Pilek dan sedikit batuk memang beberapa kali dia rasakan, tapi untuk penyakit berat sama sekali belum.

“Saya SMA di Jakarta. Kalau ditanya dasar pikiran kenapa saya mau donor darah, ya, karena saya tertarik dengan pelajaran biologi. Dari pelajaran itulah saya penasaran dan ingin mencoba. Setelah donor ternyata saya merasa lebih enak,” cerita PNS Pemkab Serdang Bedagai (Sergai) itu.

Khairuddin mengaku sempat bingung ketika Sumut Pos hubungi dan meminta wawancara. Pasalnya, meski dia menjadi satu dari sepuluh putra Sumut yang menerima Satyalencana Kebaktian Sosial dari presiden untuk 2013 yang diberikan pada Desember 2013 lalu, dia sama sekali tidak dikenal orang. Barulah ketika Sumut Pos jelaskan namanya direkomendasikan oleh PMI Medan di bawah kepemimpinan Musa Rajekshah, dia maklum.

Begitupun ketika Sumut Pos menyebutkan kalau nomor teleponnya didapat dari hasil obrolan kecil di kantor PMI Medan dengan Sekretaris PMI Jhon Ismadi Lubis, Wakil Ketua Sudarmaji, Wakil Ketua Muhammad Rifai, dan Direktur Unit Donor Darah Medan dr Rendy Maulana. Tanpa sungkan dia langsung memuji PMI Medan periode ini. Setidaknya, soal fasilitas dan pelayanan, PMI Medan bertambah baik. “Sekarang lebih enak, tempat tidur untuk pedonornya bisa disetel dan empuk. Tidak kayak dulu, kayak di tempat tidur rumah sakit saja,” akunya.

Beberapa cup air mineral dia suguhkan. Bibirnya pun terus liar menari menceritakan ‘petualangannya’ dalam berdonor darah. Dia mengaku pertama kali mendapat penghargaan soal donor darah saat di Jakata, yakni setelah mendonor sebanyak lima puluh kali. Setelah itu, angka tujuh puluh lima dia dapatkan dari Sumatera Utara. “Kalau dari presiden saya dapatkan setelah seratus kali donor darah, tepatnya sudah 104 kali. Itu untuk tahun 2013. Kalau sekarang, ya, sudah 116 kali. Jadi kalau dihitung, setiap donor darah yang diambil sebanyak 250 mililiter, maka sudah 29 liter darah,” jelasnya dengan nada yang biasa. Sama sekali tidak ada nada bangga.

“Selain untuk kesehatan sendiri, kan juga menolong orang lain. Jadi, kalau satu kantung darah saya dipakai satu orang, sudah 116 orang yang tertolong,” tambahnya.

Khairuddin yang malam itu memakai celana warna gelap dan baju kaus berkerah bermotif garis-garis itu menambahkan, sejak pindah dari Jakarta, dia memang selalu mendonorkan darahnya melalui PMI Medan. Dan, PMI Medanlah yang merekomendasikan namanya untuk meraih penghargaan dari presiden.

“Orangtua saya petani. Asli sini (Tajungmorawa, Red). Ada keluarga di Jakarta. Jadi saya disekolahkan di sana sejak SMA. Terus saya kuliah dan kerja di sana, di BKN (Badan Kepegawaian Negara, Red). Setelah itu saya dipindahkan ke Pemprov Sumut dan kemudian ke Pemkab Sergai. Jadi sejak kira-kira 1988 atau 1989 saya selalu donor darah di PMI Medan,” cerita Khairuddin dengan riang.

Namun, Khairuddin menyayangkan masyarakat Sumut belum begitu akrab dengan donor darah. Bayangkan saja, ketika dia menerima penghargaan, dari Sumut hanya sepuluh orang sedangkan dari Jawa Timur mencapai ratusan. Total jumlah penerima Satyalencana Kebaktian Sosial pada 2013 adalah 950 orang untuk seluruh Indonesia. Dari sepuluh orang Sumut itu, hanya empat dari Medan. “Lucunya, saya orang Deliserdang dan kerja di Sergai, tapi mewakili Medan menerima penghargaan dari presiden,” kekehnya. “Tapi, memang di PMI Medan saya nyaman mendonorkan darah saya,”” sambungnya.

Tak ada dana segar dia terima dari penghargaan yang peroleh itu. Dari Jakarta saat 50 kali donor darah dia menerima tanda jasa. Dari Sumut ketika 75 kali donor darah, dia mendapat tanda jasa dan suvenir seperti jam yang bergambarkan 75 kali donor darah. Ketika mendapat penghargaan dari presiden setelah 104 kali donor darah, dia diberikan tanda jasa dan cincin emas. “Kalau uang tidak ada. Tapi saat ke Jakarta tempo hari, PMI Medan memberikan uang saku. Kalau hotel dan akomodasi di Jakarta, ya, PMI Pusat yang sediakan,” jelasnya. “Kita tak pamrih, diberi kesehatan dan bisa membantu orang lain sudah cukup membahagiakan,” sambung pemilik golongan darah A ini.

Kini, Khairuddin berharap diberi umur panjang dan kesehatan hingga dia terus bias mendonorkan darahnya. Tidak ada target, tapi selagi bisa mendonorkan darah tiga sampai empat kali dalam setahun sudah lebih dari cukup baginya. “Darah menjadi lancar ketika kita donor. Darah kita baru. Kesehatanpun terjaga,” pesannya.

Sekira pukul setengah sembilan malam, Sumut Pos pun permisi. Cukup banyak perbincangan, namun sepertinya tak cukup ruang untuk menuliskan semua kisah sang pahlawan kemanusian yang tak dikenal ini. Ya, sosok yang tak dikenal oleh orang yang telah ditolongnya. Dan, sosok yang tidak pernah mengenal orang yang ditolongnya. Dari sosoknya yang biasa – malah sangat biasa – ternyata dia menyimpan sebuah sikap yang patut jadi teladan.

Maka, Sumut Pos pun kembali melalui Jalan Lintas Sumatera menuju Medan. Beruntung, sudah tidak gerimis lagi. Jalanan pun sudah tak macet lagi. Lancar. Ya, seperti darah orang-orang yang rajin dan rutin mendonorkan darahnya. (*)

Tidak terlihat raut sedih atau nada kecewa ketika Khairuddin menceritakan soal tak ada fotonya berdua dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Padahal, sebagai sosok yang diundang ke Jakarta untuk mendapat penghargaan dari presiden adalah suatu prestasi. Menurutnya, bisa menolong orang melalui darahnya sudah menjadi kebahagiaan tersendiri.

Ramadhan Batubara, Medan

BARENG: Suasana sebelum foto bareng para penerima Satyalencana Kebaktian Sosial dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua PMI Jusuf Kalla, beberapa waktu lalu.
BARENG: Suasana sebelum foto bareng para penerima Satyalencana Kebaktian Sosial dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ketua PMI Jusuf Kalla, beberapa waktu lalu.

“Bukan tak mau, tapi gak bisa. Kalaupun bisa foto, ya, ramai-ramai,” ungkap Khairuddin soal tak ada fotonya dengan SBY yang terpajang di dinding ruang tamu yang tak luas itu.

Bak tak peduli dengan keadaan itu, Khairuddin langsung semangat ketika ditanya tentang aksi donor darahnya. Dimulai sejak dia duduk di kelas tiga SMA, hingga kini donor darah baginya bukanlah sebuah beban atau aksi unjug diri. Donor darah adalah kebutuhan. Donor darah membuat dia sehat. Buktinya hingga usia 54 tahun dia belum pernah menderita penyakit parah. Pilek dan sedikit batuk memang beberapa kali dia rasakan, tapi untuk penyakit berat sama sekali belum.

“Saya SMA di Jakarta. Kalau ditanya dasar pikiran kenapa saya mau donor darah, ya, karena saya tertarik dengan pelajaran biologi. Dari pelajaran itulah saya penasaran dan ingin mencoba. Setelah donor ternyata saya merasa lebih enak,” cerita PNS Pemkab Serdang Bedagai (Sergai) itu.

Khairuddin mengaku sempat bingung ketika Sumut Pos hubungi dan meminta wawancara. Pasalnya, meski dia menjadi satu dari sepuluh putra Sumut yang menerima Satyalencana Kebaktian Sosial dari presiden untuk 2013 yang diberikan pada Desember 2013 lalu, dia sama sekali tidak dikenal orang. Barulah ketika Sumut Pos jelaskan namanya direkomendasikan oleh PMI Medan di bawah kepemimpinan Musa Rajekshah, dia maklum.

Begitupun ketika Sumut Pos menyebutkan kalau nomor teleponnya didapat dari hasil obrolan kecil di kantor PMI Medan dengan Sekretaris PMI Jhon Ismadi Lubis, Wakil Ketua Sudarmaji, Wakil Ketua Muhammad Rifai, dan Direktur Unit Donor Darah Medan dr Rendy Maulana. Tanpa sungkan dia langsung memuji PMI Medan periode ini. Setidaknya, soal fasilitas dan pelayanan, PMI Medan bertambah baik. “Sekarang lebih enak, tempat tidur untuk pedonornya bisa disetel dan empuk. Tidak kayak dulu, kayak di tempat tidur rumah sakit saja,” akunya.

Beberapa cup air mineral dia suguhkan. Bibirnya pun terus liar menari menceritakan ‘petualangannya’ dalam berdonor darah. Dia mengaku pertama kali mendapat penghargaan soal donor darah saat di Jakata, yakni setelah mendonor sebanyak lima puluh kali. Setelah itu, angka tujuh puluh lima dia dapatkan dari Sumatera Utara. “Kalau dari presiden saya dapatkan setelah seratus kali donor darah, tepatnya sudah 104 kali. Itu untuk tahun 2013. Kalau sekarang, ya, sudah 116 kali. Jadi kalau dihitung, setiap donor darah yang diambil sebanyak 250 mililiter, maka sudah 29 liter darah,” jelasnya dengan nada yang biasa. Sama sekali tidak ada nada bangga.

“Selain untuk kesehatan sendiri, kan juga menolong orang lain. Jadi, kalau satu kantung darah saya dipakai satu orang, sudah 116 orang yang tertolong,” tambahnya.

Khairuddin yang malam itu memakai celana warna gelap dan baju kaus berkerah bermotif garis-garis itu menambahkan, sejak pindah dari Jakarta, dia memang selalu mendonorkan darahnya melalui PMI Medan. Dan, PMI Medanlah yang merekomendasikan namanya untuk meraih penghargaan dari presiden.

“Orangtua saya petani. Asli sini (Tajungmorawa, Red). Ada keluarga di Jakarta. Jadi saya disekolahkan di sana sejak SMA. Terus saya kuliah dan kerja di sana, di BKN (Badan Kepegawaian Negara, Red). Setelah itu saya dipindahkan ke Pemprov Sumut dan kemudian ke Pemkab Sergai. Jadi sejak kira-kira 1988 atau 1989 saya selalu donor darah di PMI Medan,” cerita Khairuddin dengan riang.

Namun, Khairuddin menyayangkan masyarakat Sumut belum begitu akrab dengan donor darah. Bayangkan saja, ketika dia menerima penghargaan, dari Sumut hanya sepuluh orang sedangkan dari Jawa Timur mencapai ratusan. Total jumlah penerima Satyalencana Kebaktian Sosial pada 2013 adalah 950 orang untuk seluruh Indonesia. Dari sepuluh orang Sumut itu, hanya empat dari Medan. “Lucunya, saya orang Deliserdang dan kerja di Sergai, tapi mewakili Medan menerima penghargaan dari presiden,” kekehnya. “Tapi, memang di PMI Medan saya nyaman mendonorkan darah saya,”” sambungnya.

Tak ada dana segar dia terima dari penghargaan yang peroleh itu. Dari Jakarta saat 50 kali donor darah dia menerima tanda jasa. Dari Sumut ketika 75 kali donor darah, dia mendapat tanda jasa dan suvenir seperti jam yang bergambarkan 75 kali donor darah. Ketika mendapat penghargaan dari presiden setelah 104 kali donor darah, dia diberikan tanda jasa dan cincin emas. “Kalau uang tidak ada. Tapi saat ke Jakarta tempo hari, PMI Medan memberikan uang saku. Kalau hotel dan akomodasi di Jakarta, ya, PMI Pusat yang sediakan,” jelasnya. “Kita tak pamrih, diberi kesehatan dan bisa membantu orang lain sudah cukup membahagiakan,” sambung pemilik golongan darah A ini.

Kini, Khairuddin berharap diberi umur panjang dan kesehatan hingga dia terus bias mendonorkan darahnya. Tidak ada target, tapi selagi bisa mendonorkan darah tiga sampai empat kali dalam setahun sudah lebih dari cukup baginya. “Darah menjadi lancar ketika kita donor. Darah kita baru. Kesehatanpun terjaga,” pesannya.

Sekira pukul setengah sembilan malam, Sumut Pos pun permisi. Cukup banyak perbincangan, namun sepertinya tak cukup ruang untuk menuliskan semua kisah sang pahlawan kemanusian yang tak dikenal ini. Ya, sosok yang tak dikenal oleh orang yang telah ditolongnya. Dan, sosok yang tidak pernah mengenal orang yang ditolongnya. Dari sosoknya yang biasa – malah sangat biasa – ternyata dia menyimpan sebuah sikap yang patut jadi teladan.

Maka, Sumut Pos pun kembali melalui Jalan Lintas Sumatera menuju Medan. Beruntung, sudah tidak gerimis lagi. Jalanan pun sudah tak macet lagi. Lancar. Ya, seperti darah orang-orang yang rajin dan rutin mendonorkan darahnya. (*)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/