Sinema Jawa. Demikian Wregas menyebut benang merah karya-karyanya yang akan terus berusaha dipertahankannya. Itu merupakan bagian dari upaya dia memperkenalkan film dengan ’’identitas’’ Indonesia.
Identitas harus diberi tanda kutip karena dalam konteks Indonesia spektrumnya sangat luas dan beragam. Jawa, yang dipilih Wregas, hanyalah salah satunya. Dia memilih Jawa karena merupakan latar belakangnya, bagian dari kesehariannya.
’’Jawa itu sendiri saja sangat luas maknanya, apalagi Indonesia. Dan, itu kekayaan kita. Jadi, tidak perlu diseragamkan,’’ tegasnya.
Secara keseluruhan, dia sudah melahirkan 20 film pendek. Tapi, selain Lembu Sura, baru tiga lainnya yang diikutkan festival. Yakni, Hanoman (2011), Senyawa (2012), dan Lemantun (2014).
Hanoman masuk nominasi dalam Ganesha Film Festival di Bandung. Senyawa pernah berkompetisi dalam Jogja Netpac-Asian Film Festival 2012, Festival Sinema Prancis 2013, dan mendapat penghargaan sebagai Best Short Film di Freedom Film Festival, Malaysia. Sedangkan Lemantun menang sebagai Film Pendek Fiksi Naratif Terbaik dan Film Pendek Pilihan Penonton dalam XXI Short Film Festival 2015, Jakarta.
Sejak di Hanoman, Wregas sudah menyelipkan budaya Jawa. ’’Saat itu masih dibuat identik dengan wayang orang, batik, dan gamelan,’’ tuturnya.
Namun, sejak Lemantun, pengagum Asrul Sani itu mencoba melepaskan atribut budaya Jawa di dalamnya. Wregas belajar bahwa sebuah budaya tidak harus ditunjukkan secara ’’kasatmata’’.
Lewat empat karyanya yang difestivalkan itu, Wregas menguji apa yang dia sebut sinema Jawa. Seperti yang terlihat di Berlin, warna Jawa tersebut ternyata bisa melintas budaya, dapat dinikmati mereka yang bahkan sama sekali tak mengenal budaya Jawa, apalagi bicara dalam bahasanya.
Mengutip Deutsche Welle Indonesia, dalam sesi pemutaran untuk kalangan pers, film berbahasa Jawa dengan subtitle bahasa Inggris mampu membuat penontonnya hanyut dalam cerita. Juga, turut tertawa lepas pada kelucuan yang ditampilkan.
Wregas pun memperlakukan film-filmnya itu sebagaimana kesenian tradisional Jawa yang berjalan nyaris tanpa skenario.
’’Semua perasaan tercurah, tanpa sebuah batasan. Ini menjadi sebuah eksperimen. Percaya saja film yang kamu anggap benar dan bagus,’’ jelasnya.
Wregas mulai intens dalam pembuatan film pada kelas 2 SMA. Muffler, karyanya saat masih duduk di kelas 2 SMA, masuk nominasi Festival Confident, Jakarta. Dia lantas memperdalam ilmu di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta.
Sejak awal membuat film, dia selalu menanamkan prinsip untuk tidak menuntut dan berekspektasi terhadap karya yang dihasilkan. Misalnya, harus ditonton banyak orang.
’’Bagi saya, film pendek itu bentuk ekspresi dan karya seni,’’ tegasnya.
Ketegasan sikap dalam berkarya itu pulalah yang membuat Riri dengan yakin menyebut anak muda yang turut membantunya memproduksi Sokola Rimba (2013) tersebut sebagai sutradara yang patut diperhitungkan pada masa kini dan masa depan.
’’Asal, tentunya tetap bekerja keras dan disiplin,’’ kata Riri. (*)