29 C
Medan
Sunday, February 23, 2025
spot_img

Ahok Dijaga Berlapis

Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) juga angkat bicara mengenai persidangan Ahok yang digelar hari ini. Khususnya yang terkait dengan penyiaran sidang kepada masyarakat luas, mengingat persidangan Ahok memang menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu masyarakat.

“AJI meminta media bijak dalam menyiarkan sidang kasus bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) mengingat dampak kasus ini sangat besar,” kata Ketua Umum AJI Suwarjono kemarin.

Menurut dia, media memang punya kewajiban menyiarkan berita sebagai bagian dari fungsinya untuk memenuhi kebutuhan publik akan informasi. Menyiarkan proses persidangan sepanjang dibolehkan pengadilan, adalah bagian dari kebebasan pers. Namun dia juga mengingatkan soal tanggung jawab lainnya, yaitu menjaga kepentingan yang lebih besar.

“Karena itu, penting bagi media untuk mempertimbangkan dampak positif atau negatifnya. Untuk isu SARA, saya berharap media tidak mengejar rating atau jumlah penonton, bisnis, atau untuk memenuhi keinginan politik yang berperkara. Namun juga mempertimbangkan efek yang muncul akibat pemberitaan,” kata dia.

Ketua Bidang Penyiaran AJI Indonesia Revolusi Riza menambahkan, kasus yang menimpa Ahok bukan semata kasus pidana biasa. Kasus itu tergolong sensitif dan bisa membahayakan kebhinekaan bangsa ini jika tak dikelola dengan tepat.”Peran media cukup besar dalam soal ini,” kata Revo, sapaan akrab Revolusi.

“Siaran media yang proporsional dan sesuai KEJ diyakini akan mampu memenuhi kebutuhan publik akan informasi atas kasus itu tanpa mengorbankan kebhinekaan bangsa ini,” tambahnya.

AJI, kata Revo, meminta media untuk menjadikan kepentingan publik dan bangsa sebagai pertimbangan utama, daripada soal faktor rating atau perolehan iklan yang bisa didapatkan dari pemberitaan kasus itu. Pihaknya juga meminta media berkaca pada siaran live sidang kasus Jessica Kemala Wongso, yang diadili karena diduga menjadi pembunuh Mirna Salihin dengan racun sianida.

Siaran live sejumlah media penyiaran dalam kasus itu tak semata berisi siaran jalannya sidang, tapi juga diimbuhi dengan pandangan atau komentar dari pengamat dan pihak luar. Ada persidangan di luar pengadilan yang pengaruh ke publik sangat besar. Pemberitaan soal itu membuat media dikritik berat sebelah dan malah ada yang menudingnya sebagai trial by the press.

Revo juga mengingatkan, perilaku tak patut yang (meskipun) dilakukan segelintir awak media –yang menomorsatukan rating, perolehan iklan, dan cenderung mengabaikan KEJ-akan mencoreng citra pers secara keseluruhan, dan mengancam kebebasan pers yang sedang coba kita pertahankan. “Kita harus berkaca dan introspeksi dari kritik publik itu,” tambahnya.

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel ikut angkat bicara soal kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama. Menurut Reza, dalam kasus ini yang menjadi korban adalah umat Islam.

“Umat Islam yang paling merasakan. Siapakah yang berada di jantungnya sistem peradilan pidana? Dengan kata lain, dalam setiap peristiwa kejahatan, siapakah pihak yang semestinya paling kita pikirkan? Kondisi siapakah yang seharusnya paling kita risaukan? Tiada lain adalah korban,” tegas Reza dalam pesan elektroniknya kepada JPNN (grup Sumut Pos), Senin (12/12)

Dalam perjalanan kasus Ahok, lanjutnya, para korban memandang skeptis (kurang percaya, ragu-ragu). Bahkan pesimistis terhadap profesionalitas kerja otoritas hukum. Menurut Reza, persidangan kasus Ahok seharusnya digelar dalam format yang bisa menjawab skeptisisme para korban seluas mungkin.

“Format untuk maksud tersebut sekaligus berpotensi paling minim bagi bias pemberitaan media, adalah persidangan terbuka dan diliput langsung oleh media,” saran Reza.

Reza melanjutkan, Ahok sendiri, selaku individu yang sangat sering memperlihatkan tabiat ekstrover, boleh jadi juga menginginkan dirinya disorot secara real time oleh sebanyak mungkin kamera. “Tapi hati orang siapa yang tahu,” tandasnya. (idr/dod/oki/jpg/esy/jpnn/adz)

Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) juga angkat bicara mengenai persidangan Ahok yang digelar hari ini. Khususnya yang terkait dengan penyiaran sidang kepada masyarakat luas, mengingat persidangan Ahok memang menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu masyarakat.

“AJI meminta media bijak dalam menyiarkan sidang kasus bernuansa SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan) mengingat dampak kasus ini sangat besar,” kata Ketua Umum AJI Suwarjono kemarin.

Menurut dia, media memang punya kewajiban menyiarkan berita sebagai bagian dari fungsinya untuk memenuhi kebutuhan publik akan informasi. Menyiarkan proses persidangan sepanjang dibolehkan pengadilan, adalah bagian dari kebebasan pers. Namun dia juga mengingatkan soal tanggung jawab lainnya, yaitu menjaga kepentingan yang lebih besar.

“Karena itu, penting bagi media untuk mempertimbangkan dampak positif atau negatifnya. Untuk isu SARA, saya berharap media tidak mengejar rating atau jumlah penonton, bisnis, atau untuk memenuhi keinginan politik yang berperkara. Namun juga mempertimbangkan efek yang muncul akibat pemberitaan,” kata dia.

Ketua Bidang Penyiaran AJI Indonesia Revolusi Riza menambahkan, kasus yang menimpa Ahok bukan semata kasus pidana biasa. Kasus itu tergolong sensitif dan bisa membahayakan kebhinekaan bangsa ini jika tak dikelola dengan tepat.”Peran media cukup besar dalam soal ini,” kata Revo, sapaan akrab Revolusi.

“Siaran media yang proporsional dan sesuai KEJ diyakini akan mampu memenuhi kebutuhan publik akan informasi atas kasus itu tanpa mengorbankan kebhinekaan bangsa ini,” tambahnya.

AJI, kata Revo, meminta media untuk menjadikan kepentingan publik dan bangsa sebagai pertimbangan utama, daripada soal faktor rating atau perolehan iklan yang bisa didapatkan dari pemberitaan kasus itu. Pihaknya juga meminta media berkaca pada siaran live sidang kasus Jessica Kemala Wongso, yang diadili karena diduga menjadi pembunuh Mirna Salihin dengan racun sianida.

Siaran live sejumlah media penyiaran dalam kasus itu tak semata berisi siaran jalannya sidang, tapi juga diimbuhi dengan pandangan atau komentar dari pengamat dan pihak luar. Ada persidangan di luar pengadilan yang pengaruh ke publik sangat besar. Pemberitaan soal itu membuat media dikritik berat sebelah dan malah ada yang menudingnya sebagai trial by the press.

Revo juga mengingatkan, perilaku tak patut yang (meskipun) dilakukan segelintir awak media –yang menomorsatukan rating, perolehan iklan, dan cenderung mengabaikan KEJ-akan mencoreng citra pers secara keseluruhan, dan mengancam kebebasan pers yang sedang coba kita pertahankan. “Kita harus berkaca dan introspeksi dari kritik publik itu,” tambahnya.

Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel ikut angkat bicara soal kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama. Menurut Reza, dalam kasus ini yang menjadi korban adalah umat Islam.

“Umat Islam yang paling merasakan. Siapakah yang berada di jantungnya sistem peradilan pidana? Dengan kata lain, dalam setiap peristiwa kejahatan, siapakah pihak yang semestinya paling kita pikirkan? Kondisi siapakah yang seharusnya paling kita risaukan? Tiada lain adalah korban,” tegas Reza dalam pesan elektroniknya kepada JPNN (grup Sumut Pos), Senin (12/12)

Dalam perjalanan kasus Ahok, lanjutnya, para korban memandang skeptis (kurang percaya, ragu-ragu). Bahkan pesimistis terhadap profesionalitas kerja otoritas hukum. Menurut Reza, persidangan kasus Ahok seharusnya digelar dalam format yang bisa menjawab skeptisisme para korban seluas mungkin.

“Format untuk maksud tersebut sekaligus berpotensi paling minim bagi bias pemberitaan media, adalah persidangan terbuka dan diliput langsung oleh media,” saran Reza.

Reza melanjutkan, Ahok sendiri, selaku individu yang sangat sering memperlihatkan tabiat ekstrover, boleh jadi juga menginginkan dirinya disorot secara real time oleh sebanyak mungkin kamera. “Tapi hati orang siapa yang tahu,” tandasnya. (idr/dod/oki/jpg/esy/jpnn/adz)

spot_img

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

spot_imgspot_imgspot_img

Artikel Terbaru

/