MEDAN, SUMUTPOS.CO – Hipertensi dan diabetes yang tak terkontrol menjadi penyebab utama gagal ginjal. Namun, sebagian masyarakat masih ada yang tidak menyadari atau bahkan abai padahal gagal ginjal ini menjadi persoalan serius di banyak negara termasuk Indonesia.
Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, jumlah penderita gagal ginjal kronik meningkat seiring dengan bertambahnya umur. Jumlahnya meningkat tajam pada kelompok umur 35-44 tahun (0,33%), diikuti umur 45-54 tahun (0,56%), dan umur 55-64 tahun (0,72%), tertinggi pada kelompok umur 65-74 tahun (0,82%).
Sementara, berdasarkan data kunjungan pasien yang berobat ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik (HAM) selama sepanjang tahun 2020, kunjungan pasien gagal ginjal menjadi urutan tertinggi dengan jumlah 14.461 kali. Sedangkan tahun 2019, jumlahnya mencapai 16.313 kunjungan.
“Penyebab gagal ginjal yang paling banyak berdasarkan kasus yang ditangani yaitu hipertensi dan diabetes. Selanjutnya, disusul peradangan ginjal, batu ginjal,” ungkap Kepala Divisi Nefrologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU, dr Safrizal Nasution SpPD-KGH diwawancarai wartawan melalui seluler, baru-baru ini.
Menurutnya, penyebab gagal ginjal akibat hipertensi dan diabetes ini agak unik karena banyak orang yang salah berasumsi. Apabila menderita hipertensi dan diabetes lalu harus rutin makan obat, maka khawatir akan terkena ginjalnya sehingga berhenti konsumsi obat. “Ini asumsi yang salah, karena ketika berhenti konsumsi obat maka hipertensi dan diabetesnya tidak terkontrol sehingga semakin parah. Jadi, jangan takut konsumsi obat hipertensi dan diabetes terkena gagal ginjal asalkan sesuai saran dokter,” ujar Safrizal.
Selain itu, sambung Safrizal, ada juga yang berpandangan jika tekanan darahnya 140/90 atau lebih masih sehat. Alasannya, karena bisa beraktivitas seperti orang pada umumnya sehingga menganggap tidak ada masalah atau tidak perlu berobat. Padahal, jika tekanan darahnya 140/90, walaupun kondisinya tidak ada keluhan maka tetap hipertensi. “Persepsi yang salah ini harus dirubah. Jangan pernah berhenti konsumsi obat (sesuai saran dokter), meski tensi sudah normal dan beranggapan sudah sembuh,” jelasnya.
Safrizal melanjutkan, dari 100 persen yang menderita hipertensi, hanya 50 persen yang sadar atau tahu kalau dirinya menderita penyakit tersebut. Kemudian, dari 50 persen itu ternyata hanya setengahnya yang menjalani terapi. Selanjutnya, dari setengahnya itu ternyata hanya 50 persen yang mengobati dan mencapai sasaran.
Lebih jauh dia mengatakan, masyarakat masih menganggap penyakit ginjal yaitu gagal ginjal lalu harus cuci darah. Meski saat ini pasien yang cuci darah sudah mulai berkurang, tetapi masyarakat beranggapan sudah gagal ginjal dan mendekati kematian.
Namun, seiring perkembangan informasi sehingga pengetahuan masyarakat terus berkembang. Masyarakat tidak berpikir seperti itu dan tahu bahwa gagal ginjal tergantung dari indikasi cuci darah yang dilakukan, apakah akut atau kronik. Walau demikian, tidak bisa juga diprediksi kalau sudah cuci darah secara reguler akan mendekati kematian.
“Gagal ginjal bisa dicegah, asalkan di masa awal atau akut (yang berlangsung di bawah 3 bulan). Masih berpeluang sembuh dan menjalani hidup seperti orang sehat pada umumnya. Namun, jika sudah kronik maka tidak bisa membaik. Jadi, yang bisa dilakukan yakni dengan menghambat perburukan kondisi, misalnya dari 5 tahun menjadi 10 tahun,” terang Safrizal.
Safrizal menyarankan, bagi orang-orang yang dengan risiko tinggi terhadap gagal ginjal harus memiliki kewaspadaan yang lebih, yakni mereka yang menderita hipertensi, diabetes, peradangan ginjal, batu ginjal, obesitas hingga orang dengan usia lebih dari 60 tahun. Mereka harus cepat memeriksakan dirinya untuk mencegah terkena gagal ginjal.
“Deteksi sedini mungkin agar terhindar dari gagal ginjal. Di samping itu, jalani pola hidup sehat dengan makan makanan bergizi, rutin olahraga, cukup istirahat, tidak merokok, tidak mengonsumsi obat secara sembarangan tanpa saran dokter,” pungkasnya. (ris/ila)