30 C
Medan
Monday, November 25, 2024
spot_img

Dua Pengelola Prostitusi Homo Dilepas

Foto: Well/PM Rudi Hartono dan Sandy Maulana pengusaha prostitusi homo. Keduanya mengaku usaha prostitusi itu dikendalikan warga Jakarta.
Foto: Well/PM
Rudi Hartono dan Sandy Maulana, keduanya pengusaha prostitusi homo. Mereka mengaku usaha prostitusi itu dikendalikan warga Jakarta.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Diduga ada main, polisi hanya menjerat 2 pengelola prostitusi khusus sesama jenis (homo), Rudi Hartono (30) warga Jl. Rupat No 18, Kel. Gang Buntu, Kec. Medan Timur dan Sandy Maulana (27) warga Jl. Sei Silau No 36 Kisaran Sandy dengan Pasal 296 KUHPidana (bukan Pasal 396-red). Tak pelak, dengan pasal ‘karet’ tersebut, kini keduanya pun menghirup udara bebas.

Saat dikonfirmasi, Kanit Reskrim Polsek Medan Baru, Iptu Oscar Setyo ngotot, keduanya bukanlah tersangka dalam perdagangan manusia, tapi hanya sebatas penyedia tempat.

“Karena itulah, kita hanya bisa melakukan pengamanan terhadap mereka 1×24 jam saja,” ucapnya. Menurut Oscar, ancanman hukuman penjara dalam pasal tersebut hanya selama 15 bulan. Sementara dalam KUHP telah ditetapkan jika pelaku tindak kriminal yang ancaman kurunganya dibawah 5 tahun tidak wajib ditahan. “Karena itu mereka kita tangguhkan,” ungkapnya.

Disinggung kenapa pihaknya tidak mengganjar kedua pengelola tersebut dengan Pasal 2 UU No. 21/2007 mengenai perdagangan manusia lantaran sudah ada transaksi di lokasi tersebut? Oscar kembali berkeras praktik tersebut bukanlah perdagangan manusia.

“Tidak ada di sini perdagangan manusia. Makanya cuma dikenakan Pasal 396 KUHP,” pungkasnya.

Pasal 296 KUHP berbunyi, ‘Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah’.

Ketua Pusat Study Hukum Peradilan (Pushpa) Sumut, Muslim Muis menilai selain sebagai penyedia tempat, kedua pengelola tempat prostitusi di Jl Garpu No 27, Kec. Medan Petisah itu seharusnya diganjar Undang-undang Perdagangan Manusia. “Selain menyediakan tempat di sana juga ada transaksi. Jadi, ya sudah pas kalau dikenakan dalam Pasal 2 UU No. 21/2007 mengenai perdagangan manusia,” ungkapnya.

Masih beber Muslim, tindakan yang dilakukan polsek terhadap kedua pelaku tersebut lantaran petugas melihatnya dari akses penyediaan tempat saja. Namun, jika lebih teliti lagi maka perdagangan manusia tampak dalam kasus tersebut. “Sebab, selain menyediakan tempat. Di lokasi tersebut ada juga transaksi esek-esek. Makanya, seharusnya pasal perdagangan manusia itu di berikan kepada 2 pengelolah itu,” pungkasnya.

Ditambahkan Sekretaris Pushpa, Nuriono menambahkan, pengelolah SPA yang membuka usaha tersebut adalah bentuk perlawanan hukum. Maka itu, pasal yang dikenakan oleh penyidik janganlah membuat pengelolah tersebut terlampau ringan.

“Sebab, perbuatan yang dilakukan pengelolah tersebut sudah sangat meresahkan masyarakat. Jadi, jika ini dianggap sepele oleh penyidik, dampak yang akan terjadi sangat berbahaya. Pasalnya, penyuka sesama jenis tersebut merupakan suatu bentuk penyakit. Jadi, jangan sempat itu akan menular ke tengah masyarakat,” ungkapnya.

Di saat penyidik tidak mengembangkan kasus tersebut kepada pasal-pasal yang lain seperti dalam undang-undang perdagangan manusia menyebabkan masyarakat akan berpandangan negatif terhadap penyidik. Dimana, masyarakat akan beranggapan kalau penyidik ada main dengan pengelola.

“Seharusnya ini jangan dianggap sepele sama polisi. Sebab, dampak yang akan ditimbulkan atas pasal yang diberikan penyidik membuat masyarakat beropini kalau polisi ada main. Pasalnya, selain menyediakan tempat, pengelolah juga telah melegalkan adanya perdagangan manusia. “Untuk itu, penyidik kita minta lebih bijak dalam menangani kasus seperti ini,” pungkasnya. (ind/deo)

Foto: Well/PM Rudi Hartono dan Sandy Maulana pengusaha prostitusi homo. Keduanya mengaku usaha prostitusi itu dikendalikan warga Jakarta.
Foto: Well/PM
Rudi Hartono dan Sandy Maulana, keduanya pengusaha prostitusi homo. Mereka mengaku usaha prostitusi itu dikendalikan warga Jakarta.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Diduga ada main, polisi hanya menjerat 2 pengelola prostitusi khusus sesama jenis (homo), Rudi Hartono (30) warga Jl. Rupat No 18, Kel. Gang Buntu, Kec. Medan Timur dan Sandy Maulana (27) warga Jl. Sei Silau No 36 Kisaran Sandy dengan Pasal 296 KUHPidana (bukan Pasal 396-red). Tak pelak, dengan pasal ‘karet’ tersebut, kini keduanya pun menghirup udara bebas.

Saat dikonfirmasi, Kanit Reskrim Polsek Medan Baru, Iptu Oscar Setyo ngotot, keduanya bukanlah tersangka dalam perdagangan manusia, tapi hanya sebatas penyedia tempat.

“Karena itulah, kita hanya bisa melakukan pengamanan terhadap mereka 1×24 jam saja,” ucapnya. Menurut Oscar, ancanman hukuman penjara dalam pasal tersebut hanya selama 15 bulan. Sementara dalam KUHP telah ditetapkan jika pelaku tindak kriminal yang ancaman kurunganya dibawah 5 tahun tidak wajib ditahan. “Karena itu mereka kita tangguhkan,” ungkapnya.

Disinggung kenapa pihaknya tidak mengganjar kedua pengelola tersebut dengan Pasal 2 UU No. 21/2007 mengenai perdagangan manusia lantaran sudah ada transaksi di lokasi tersebut? Oscar kembali berkeras praktik tersebut bukanlah perdagangan manusia.

“Tidak ada di sini perdagangan manusia. Makanya cuma dikenakan Pasal 396 KUHP,” pungkasnya.

Pasal 296 KUHP berbunyi, ‘Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah’.

Ketua Pusat Study Hukum Peradilan (Pushpa) Sumut, Muslim Muis menilai selain sebagai penyedia tempat, kedua pengelola tempat prostitusi di Jl Garpu No 27, Kec. Medan Petisah itu seharusnya diganjar Undang-undang Perdagangan Manusia. “Selain menyediakan tempat di sana juga ada transaksi. Jadi, ya sudah pas kalau dikenakan dalam Pasal 2 UU No. 21/2007 mengenai perdagangan manusia,” ungkapnya.

Masih beber Muslim, tindakan yang dilakukan polsek terhadap kedua pelaku tersebut lantaran petugas melihatnya dari akses penyediaan tempat saja. Namun, jika lebih teliti lagi maka perdagangan manusia tampak dalam kasus tersebut. “Sebab, selain menyediakan tempat. Di lokasi tersebut ada juga transaksi esek-esek. Makanya, seharusnya pasal perdagangan manusia itu di berikan kepada 2 pengelolah itu,” pungkasnya.

Ditambahkan Sekretaris Pushpa, Nuriono menambahkan, pengelolah SPA yang membuka usaha tersebut adalah bentuk perlawanan hukum. Maka itu, pasal yang dikenakan oleh penyidik janganlah membuat pengelolah tersebut terlampau ringan.

“Sebab, perbuatan yang dilakukan pengelolah tersebut sudah sangat meresahkan masyarakat. Jadi, jika ini dianggap sepele oleh penyidik, dampak yang akan terjadi sangat berbahaya. Pasalnya, penyuka sesama jenis tersebut merupakan suatu bentuk penyakit. Jadi, jangan sempat itu akan menular ke tengah masyarakat,” ungkapnya.

Di saat penyidik tidak mengembangkan kasus tersebut kepada pasal-pasal yang lain seperti dalam undang-undang perdagangan manusia menyebabkan masyarakat akan berpandangan negatif terhadap penyidik. Dimana, masyarakat akan beranggapan kalau penyidik ada main dengan pengelola.

“Seharusnya ini jangan dianggap sepele sama polisi. Sebab, dampak yang akan ditimbulkan atas pasal yang diberikan penyidik membuat masyarakat beropini kalau polisi ada main. Pasalnya, selain menyediakan tempat, pengelolah juga telah melegalkan adanya perdagangan manusia. “Untuk itu, penyidik kita minta lebih bijak dalam menangani kasus seperti ini,” pungkasnya. (ind/deo)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/