Hampir setiap tahun ada ajang pencarian bakat menyanyi di televisi. Peminatnya tidak pernah surut. Ribuan orang dari berbagai penjuru Indonesia mengadu nasib. Berbicara tentang kompetisi yang menjanjikan ketenaran itu, ada baiknya menengok Veri Afandi kini. Jawara Akademi Fantasi Indosiar (AFI) pertama itu menunjukkan bahwa pemenang tidak lantas mudah menjadi bintang.
Marisqa Ayu K-Zalzilatul Hikmia, Jakarta
Ruko yang dijadikan pujasera kecil di kawasan Ciledug, Tangerang, Selasa sore (14/1) terasa lengang. Tidak terlalu banyak orang yang datang
untuk makan karena akses dari arah Jakarta terhalang banjir dua hari lalu. Veri tengah duduk santai di dalam ruko sederhana itu. Dia sedang bercengkerama dengan Pasha Dina Wijaya, finalis AFI 2, yang membuka usaha serupa di ruko yang sama.
Veri terlihat santai mengenakan kaus merah dipadu jins belel biru dan sandal kulit hitam. Pasha tampak polos tanpa make-up. Tapi, hal itu tidak mengurangi kecantikan wajah orientalnya. Perempuan asli Jakarta tersebut hanya mengenakan polo shirt hitam dan jins hijau tua. Rambut panjangnya dikucir kuda sederhana dan kakinya beralas sandal jepit hitam.
Warung yang diberi nama Yumie71 itu baru berjalan sekitar 2,5 bulan. Jualannya macam-macam, terutama Chinese food. Ada mie dan kwetiau goreng, bakmi, sampai nasi goreng. Ada pula rujak cingur, roti bakar, dan scrambled egg.
Ini adalah kali pertama Veri membuka bisnis setelah kontraknya dengan Indosiar berakhir pada 2007. Dia mengaku memang tertarik pada usaha kuliner dan baru kesampaian saat ini. Sebelumnya, dirinya masih sibuk dengan acara manggung off-air di beberapa pulau di luar Jawa.
“Dia (Pasha) ngajakin karena lumayan juga deket sama rumah di Ciledug. Awalnya idenya join-an. Tapi, karena ada beberapa hal, akhirnya dia buka duluan, terus sekarang aku juga buka di sini,” ungkap Veri.
Saat wawancara, Pasha yang menamai warungnya Bakmi Garing itu beberapa kali melayani pembeli. Meski hari itu tidak terlalu ramai, Pasha dan Veri tampak sedikit repot melayani sendiri. Menurut Veri, mereka berdua sebenarnya memiliki dua karyawan. Tapi, kebetulan hari itu mereka libur. Mereka izin mengikuti audisi Dangdut Akademi di televisi yang pernah melambungkan nama Veri, Indosiar.
Veri menceritakan, karyawannya tersebut memang hobi menyanyi. Bahkan, mereka awalnya merupakan fans Veri dan Pasha yang berasal dari Bandung. Mereka lantas mengajukan diri menjadi karyawan. Veri dan Pasha yang memang ingin mendukung orang-orang yang ingin mengembangkan sayap tentu saja menyetujui keinginan karyawan mereka mengikuti jejaknya. “Pengin ngikutin jejak kami, ya nggak apa-apa lah. Justru kami seneng. Cuma, mereka genrenya dangdut,” tutur Pasha.
Meski usaha yang dirintis itu masih kecil, mereka berdua merasa tidak bisa meninggalkan warungnya. Menurut Veri, sebagian besar pelanggan mau datang ke warung hanya jika ada mereka di sana. “Ya, udah banyak yang tahu saya suka jaga warung ini. Kadang ada yang ngajakin foto,” ujar Veri yang giat mempromosikan usahanya itu lewat akun Twitter-nya.
Setelah menjuarai AFI 1 pada 2004, Veri mulai meniti karir sebagai selebriti di bawah kontrak eksklusif dengan Indosiar selama tiga tahun. Tapi, perjalanan anak mantan tukang becak dari Pangkalan Brandan, Sumatera Utara, tersebut tidak mulus. Dia hanya berhasil merilis dua single. Judulnya Selamanya yang bergenre pop dan Selayang Pandang yang berirama Melayu. Selain itu, dia hanya bermain di beberapa FTV dan sinetron Menuju Puncak yang melibatkan 12 finalis AFI 1.
Lepas kontrak dari televisi yang menaunginya, laki-laki kelahiran 7 Januari 1983 tersebut mulai menjejakkan kaki secara mandiri. Tidak hanya menjadi penyanyi solo, dia juga pernah membuat band dan menghasilkan beberapa album. Sayangnya, sampai saat ini album solo maupun bandnya tidak pernah dirilis karena perbedaan pikiran dengan produser.
“Album sih sebenarnya banyak. Tapi, akhirnya selalu tidak jadi karena terbentur perbedaan idealisme aku dengan produser,” ungkap pria yang masih betah melajang karena belum menemukan sosok yang pas itu.
Veri memang dikenal memiliki cengkok Melayu kental sejak masih menjadi akademia (sebutan finalis AFI). Beberapa musisi yang menjadi juri dalam acara tersebut saat itu selalu memuji suara Veri jika menyanyikan lagu Melayu. Tapi, suara dia kurang cocok saat menyanyikan lagu bergenre lain. “Saya nggak mau juga kalau disuruh nyanyi dengan genre lain,” tegasnya.
Saat ini kesibukan utama Veri hanya mengurus Yumie71. Sesekali dia masih mendapat undangan tampil menyanyi, meski dalam sebulan bisa dihitung dengan jari. Kehidupannya yang sederhana kini tentu jauh berbeda saat namanya masih bersinar bersama AFI. Betapa eksklusifnya dia pada 2004. Ke mana-mana ditunggu penggemar yang selalu berteriak histeris memanggil-manggil namanya.
Media yang ingin mewawancarai pun pasti tidak akan bisa mudah berhadapan langsung dengan dirinya. Penampilan dituntut selalu glamor. Namanya saja artis lagi ngetop. Putaran hidup yang kini berbeda sedang dirasakan Veri. Tapi, dia ternyata tidak menyesali segala yang sudah terjadi.
“Ada hikmahnya ikut AFI. Dulu saya anak kampung bisa pindah ke kota besar. Dapat kesempatan dikenal orang,” ujarnya.
Kalau sekarang belum juga menjadi artis papan atas, dia menegaskan tidak apa-apa. Toh, dirinya menikmati hidup yang sekarang disebut seperti orang normal itu. Dia menyatakan, keindahan menjadi artis itu adalah semu. “Kehidupan di depan kamera itu semua akting. Kita jadi harus hidup dengan image yang dimau orang. Capek lah begitu terus. Sekarang saatnya menjadi diri sendiri,” tuturnya.
Veri mengaku, dirinya setidaknya tiga kali ditawari membuat berita setting-an. Tujuannya apa lagi kalau bukan mengangkat pamor lagi. Dia disuruh berpura-pura menjadi pacar artis A, ketahuan, lalu putus. “Ada lah yang nawarin. Diminta tolong jadi pacarnya si A gitu, terus saya dibayar. Juga, pernah ditawarin dibikinkan kasus apa gitu biar tenar. Tapi, saya harus bayar dulu,” ungkapnya.
Sejauh ini, dia menyatakan tidak tertarik. Menjadi tenar dengan jalan singkat pernah dilaluinya saat ikut AFI. Hasilnya tidak akan bertahan lama. “Untuk apa mengulang ketenaran semu itu? Kalau mau eksis, sekarang pilihan saya cuma bikin album Melayu. Kalau ada produser yang mau, ya saya siap. Kalau nggak, ya jual mie ini saja,” tegasnya.
Nasib Pasha tidak jauh berbeda. Setelah kontrak dengan Indosiar selama dua tahun selesai, dia sempat menjadi presenter sebuah program di TVRI. Panggilan manggung off-air terus mengalir sampai sekarang. Namun, album tidak kunjung didapat karena manajemen yang menaunginya terlalu sibuk meng-handle artis lain.
Veri dan Pasha yang sempat berada di sebuah manajemen yang sama, Broadcast Design Indonesia (BDI), juga pernah membentuk grup vokal yang diberi nama Sunshine. Grup vokal itu beranggota Veri AFI 1, Pasha AFI 2, Anjar AFI 2005, Cinta Mamamia, dan Devie.
Grup vokal tersebut mengincar pangsa pasar anak-anak agar anak kecil memiliki hiburan sendiri, tidak melulu mengikuti tayangan untuk usia yang lebih dewasa. Mereka berlima sempat membuat sebuah album, bahkan sudah menjalani pemotretan dan syuting klip. Tapi, hingga saat ini album mereka tidak pernah dirilis.
“Terlalu banyak yang ditangani, terlalu banyak ide. Akhirnya, satu pun nggak ada yang terwujud,” keluh Veri.
Menurut Pasha, sebagian besar perempuan lulusan AFI saat ini menjadi ibu rumah tangga, meski masih menerima job menyanyi. Beberapa juga memilih menekuni bisnis lain atau kuliah lagi. Misalnya, yang dilakukan Petrus Kia Suban (Kia) yang saat ini berada di New York.
Meski banyak yang sudah terpisah kota dan sibuk dengan pekerjaan sendiri, para lulusan AFI masih menyempatkan diri untuk reuni. Bahkan, baru-baru ini mereka mencetuskan untuk membuat arisan rutin dua bulan sekali agar silaturahmi tetap terjaga.
Kehidupan para lulusan AFI sekarang tidak seindah masa-masa kejayaan mereka beberapa tahun lalu. Bahkan, pernah beredar kabar para finalis sampai terlilit utang ratusan juta rupiah gara-gara mengejar polling SMS yang diadakan televisi.
Pasha maupun Veri tidak menampik kabar itu. Tapi, mereka juga tidak membenarkan desas-desus yang sempat membuat jengah tersebut. “Kalau itu, sebaiknya ditanyakan kepada masing-masing individunya aja. Kami nggak tahu karena mereka juga nggak pernah cerita sampai segitunya. Tapi, kalau aku, ibuku dulu pernah cerita habis sekitar Rp500 ribu untuk SMS itu,” ungkap Veri.
Mengalami pasang surut setelah mengikuti ajang pencarian bakat, Veri dan Pasha sepakat menganggap acara itu tetap menjadi babak penting dalam hidup. Mereka juga mendukung siapa saja yang mengikuti ajang semacam itu.
“Selama ada acaranya dan merasa memiliki bakat, ya ikut saja. Paling nggak bisa jadi batu loncatan untuk kemudian melanjutkan perjalanan menggapai mimpi,” ujar Veri disambut anggukan setuju Pasha. (c5/ayi/jpnn/rbb)