Kini juga mulai banyak anak muda ke masjid. Tidak seperti dulu. Yang datang ke masjid hanya orang-orang tua.
Kelas belajar membaca Alquran pun penuh sekali. Memanfaatkan waktu antara asar dan magrib. Ditambah antara magrib dan isya.
Menjelang jam enam sore, saya tiba di masjid. Siap-siap salat Magrib. Ternyata magribnya jam delapan malam. Azan barusan untuk salat Asar. Habis salat, saya diminta masuk kelas belajar membaca Alquran. Di salah satu dari banyak ruangan yang melingkari halaman.
Di kelas itu saya diminta duduk di depan. Dekat guru. Diminta memberi contoh membaca satu ayat panjang. Kelas itu penuh. Kebanyakan orang tua. Satu per satu dapat giliran membaca. Untuk disimak kebenaran membacanya. Sesekali ustad yang ada di depan membetulkan tajwidnya. Dan menjelaskan mengapa huruf tertentu kalau ketemu huruf tertentu berubah bunyi.
Dua anak kecil di sebelah saya dapat giliran terakhir. Bacaannya lebih sempurna. Lidahnya masih mudah dibentuk.
Ketika azan Magrib terdengar, kelas berakhir. Gerak cepat. Harus bergegas masuk masjid. Di masjid-masjid Tiongkok harus begitu. Tidak banyak waktu. Habis azan, langsung ikamah dan salat. Tidak ada jeda. Mazhab mereka adalah Hanafi.
Kini saya sudah terbiasa salat di masjid Tiongkok. Dengan cara Hanafi. Tidak seperti dulu. Bikin kaget. Yakni ketika imam selesai membaca Fatihah. Otomatis, dengan refleks, saya menyahutnya dengan suara keras: amiiiiiin! Seperti di Indonesia.
Ternyata hanya saya sendiri yang meneriakkan amiiin dengan keras. Jamaah yang lain, semua hanya diam. Atau mengucapkan ”amin” dalam hati. Setelah itu saya kapok. Sampai sekarang. (*)
Kini juga mulai banyak anak muda ke masjid. Tidak seperti dulu. Yang datang ke masjid hanya orang-orang tua.
Kelas belajar membaca Alquran pun penuh sekali. Memanfaatkan waktu antara asar dan magrib. Ditambah antara magrib dan isya.
Menjelang jam enam sore, saya tiba di masjid. Siap-siap salat Magrib. Ternyata magribnya jam delapan malam. Azan barusan untuk salat Asar. Habis salat, saya diminta masuk kelas belajar membaca Alquran. Di salah satu dari banyak ruangan yang melingkari halaman.
Di kelas itu saya diminta duduk di depan. Dekat guru. Diminta memberi contoh membaca satu ayat panjang. Kelas itu penuh. Kebanyakan orang tua. Satu per satu dapat giliran membaca. Untuk disimak kebenaran membacanya. Sesekali ustad yang ada di depan membetulkan tajwidnya. Dan menjelaskan mengapa huruf tertentu kalau ketemu huruf tertentu berubah bunyi.
Dua anak kecil di sebelah saya dapat giliran terakhir. Bacaannya lebih sempurna. Lidahnya masih mudah dibentuk.
Ketika azan Magrib terdengar, kelas berakhir. Gerak cepat. Harus bergegas masuk masjid. Di masjid-masjid Tiongkok harus begitu. Tidak banyak waktu. Habis azan, langsung ikamah dan salat. Tidak ada jeda. Mazhab mereka adalah Hanafi.
Kini saya sudah terbiasa salat di masjid Tiongkok. Dengan cara Hanafi. Tidak seperti dulu. Bikin kaget. Yakni ketika imam selesai membaca Fatihah. Otomatis, dengan refleks, saya menyahutnya dengan suara keras: amiiiiiin! Seperti di Indonesia.
Ternyata hanya saya sendiri yang meneriakkan amiiin dengan keras. Jamaah yang lain, semua hanya diam. Atau mengucapkan ”amin” dalam hati. Setelah itu saya kapok. Sampai sekarang. (*)