30 C
Medan
Monday, July 1, 2024

LBHWI Inisiasi FGD Penanggulangan LGBT, Terbentur HAM, Rangkul Melalui Agama

prans/Sumut pos
DISKUSI: LBHWI saat berdiskusi FGD seputar penanggulangan LGBT di Hotel Saka Medan, Jalan Gajah Mada Medan, Kamis (15/11).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kehadiran Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau lebih dikenal LGBT, hampir semua ada di belahan dunia. Kehadiran mereka masih menjadi perdebatan di forum internasional. Penanggulangannya adalah dengan merangkul mereka melalui pendekatan agama.

Tak dipungkiri, pola hidup hedonis dinilai sebagai salah satu pemicu prilaku LGBT. Kembali kepada aturan agama dan mencintai budaya lokal itulah, dianggap akan dapat memulihkan prilaku menyimpang tersebut. Sebab, mereka juga memiliki Hak Azasi Manusia (HAM).

“Pembahasan soal LGBT memang lagi viral dibicarakan di belahan dunia manapunn
termasuk Indonesia. Dan sejauh ini pemerintah kita belum menunjukkan sikap tegas soal LGBT,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Warga Indonesia (LBHWI), Adamsyah kepada Sumut Pos di sela-sela Fokus Grup Diskusi (FGD) membahas tentang penanggulangan LGBT dari berbagai aspek, di Hotel Saka Medan, Jalan Gajah Mada Medan, Kamis (15/11).

Adamsyah mengungkapkan, pembahasan LGBT penting untuk terus disampaikan kepada masyarakat luas di Indonesia, terkhusus Kota Medan, agar para orang tua, stakeholder terkait dan pemerintah, mampu bersinergi meminimalisir ‘wabah’ berbahaya itu di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

“Banyak faktor kenapa prilaku LGBT santer terjadi dewasa ini. Salah satu yang sudah kami kaji dari berbagai aspek dan juga diskusi dengan banyak komunitas, lantaran prilaku hedonis dari kalangan milineal kita. Lalu faktor lingkungan juga tidak dapat dikesampingkan. Contoh, dia dulunya datang dari kampung dan masih lugu, ketika sampai di kota semua budaya dan kearifan lokalnya hilang terikut arus pergaulan,” ungkapnya.

Pada diskusi kali ini, pihaknya sengaja menghadirkan para narasumber yang pro akan adanya komunitas LGBT namun menolak keras prilaku LGBT. Baik dari perspektif agama, psikologis, ideologis/filosofis, sosiologis dan yuridis. “Diskusi seperti ini akan coba rutin kami adakan ke depan. Tujuannya bakal membuat sebuah buku tentang pendekatan dan penanggulangan LGBT di Indonesia. FGD ini terselenggara juga berkat kerja sama dengan Pusat Studi Konstitusi dan Perundang-undangan “ATRYNAMS” dan DPD Kongres Advokat Indonesia Sumut,” katanya.

Dalam diskusi dihadirkan para narasumber untuk melihat permasalahan ini dari berbagai aspek. Antara lain, Kepala Pusat Studi HAM (Pusham) Universitas Negeri Medan, Majda El Muhtaj, membahas perspektif HAM, Ramlan membahas perspektif agama, ideologis/filosofis, dan Eka N.A.M Sihombing dari unsur akademisi membahas aspek yuridis.

Majda El Muhtaj mengungkapkan LGBT hampir ada di semua negara. Bahkan dari literatur yang dia baca, komunitas LGBT harus dianggap bagian dari komunitas positif lainnya. “Dalam konteks HAM, semua orang yang dilahirkan itu harus merdeka. Dan memang persoalan transgender ini masih menjadi perdebatan di forum internasional,” katanya.

Menurutnya tidak ada satu regulasi apapun di Indonesia yang bisa menghukum komunitas LGBT. Malah negara harus hadir untuk melindungi mereka, dengan merangkul atau melibatkan banyak stakeholder di dalamnya. “Yang dibangun itu adalah dialog, tidak mengecap mereka sebagai umat Nabi Luth. Kita berbeda seperti Thailand, yang nilai dan norma-norma negaranya bisa menganut paham seperti itu. Namun kita sepakat bahwa prilaku LGBT dapat merusak moral bangsa, ini yang harus kita pikirkan bersama formulanya,” katanya.

Pembicara kedua, Ramlan, lebih banyak mengupas korelasi antara prilaku LGBT dengan pengalaman pancasila. Kemudian dia menyatukan kehadiran komunitas itu sesuai perspektif agama yang ada di Indonesia. Kesimpulannya, ia menegaskan tidak ada satu pun agama yang memperbolehkan prilaku keji seperti LGBT untuk dianut dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Begitu juga tentang pendekatan pancasila, di mana keseluruhan sila merupakan satu kesatuan yang bulat sehingga tidak ada di dalamnya yang mendukung kehadiran prilaku LGBT.

Sementara Eka N.A.M Sihombing, sepakat dengan dua pembicara sebelumnya. Ia menyebutkan konstitusi justu mengalir dari ideologi dan falsafah bangsa yakni Pancasila. “Konstitusi kita mengandung/terkandung pengakuan atas ketuhanan. Implementasi sinar ketuhanan bahwa setiap membentuk perundang-undangan tidak sebatas slogan, tetapi mesti diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.

Bahkan sesuai hukum yang ada di negeri ini, sebut dia, perkawinan yang sah itu antara laki-laki dan perempuan meski hak semua orang pula untuk melakukan perkawinan. “Di sini yang sering berbenturan. Ketika orang ingin melakukan perkawinan sesama jenis, dia wajib mengikuti aturan konstitusi yang berlaku. Sebab Adam diciptakan untuk Hawa, bukan Adam untuk Jordan,” katanya yang disambut tawa peserta FGD dari elemen mahasiswa Kota Medan. (prn/ila)

prans/Sumut pos
DISKUSI: LBHWI saat berdiskusi FGD seputar penanggulangan LGBT di Hotel Saka Medan, Jalan Gajah Mada Medan, Kamis (15/11).

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Kehadiran Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender atau lebih dikenal LGBT, hampir semua ada di belahan dunia. Kehadiran mereka masih menjadi perdebatan di forum internasional. Penanggulangannya adalah dengan merangkul mereka melalui pendekatan agama.

Tak dipungkiri, pola hidup hedonis dinilai sebagai salah satu pemicu prilaku LGBT. Kembali kepada aturan agama dan mencintai budaya lokal itulah, dianggap akan dapat memulihkan prilaku menyimpang tersebut. Sebab, mereka juga memiliki Hak Azasi Manusia (HAM).

“Pembahasan soal LGBT memang lagi viral dibicarakan di belahan dunia manapunn
termasuk Indonesia. Dan sejauh ini pemerintah kita belum menunjukkan sikap tegas soal LGBT,” kata Direktur Lembaga Bantuan Hukum Warga Indonesia (LBHWI), Adamsyah kepada Sumut Pos di sela-sela Fokus Grup Diskusi (FGD) membahas tentang penanggulangan LGBT dari berbagai aspek, di Hotel Saka Medan, Jalan Gajah Mada Medan, Kamis (15/11).

Adamsyah mengungkapkan, pembahasan LGBT penting untuk terus disampaikan kepada masyarakat luas di Indonesia, terkhusus Kota Medan, agar para orang tua, stakeholder terkait dan pemerintah, mampu bersinergi meminimalisir ‘wabah’ berbahaya itu di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

“Banyak faktor kenapa prilaku LGBT santer terjadi dewasa ini. Salah satu yang sudah kami kaji dari berbagai aspek dan juga diskusi dengan banyak komunitas, lantaran prilaku hedonis dari kalangan milineal kita. Lalu faktor lingkungan juga tidak dapat dikesampingkan. Contoh, dia dulunya datang dari kampung dan masih lugu, ketika sampai di kota semua budaya dan kearifan lokalnya hilang terikut arus pergaulan,” ungkapnya.

Pada diskusi kali ini, pihaknya sengaja menghadirkan para narasumber yang pro akan adanya komunitas LGBT namun menolak keras prilaku LGBT. Baik dari perspektif agama, psikologis, ideologis/filosofis, sosiologis dan yuridis. “Diskusi seperti ini akan coba rutin kami adakan ke depan. Tujuannya bakal membuat sebuah buku tentang pendekatan dan penanggulangan LGBT di Indonesia. FGD ini terselenggara juga berkat kerja sama dengan Pusat Studi Konstitusi dan Perundang-undangan “ATRYNAMS” dan DPD Kongres Advokat Indonesia Sumut,” katanya.

Dalam diskusi dihadirkan para narasumber untuk melihat permasalahan ini dari berbagai aspek. Antara lain, Kepala Pusat Studi HAM (Pusham) Universitas Negeri Medan, Majda El Muhtaj, membahas perspektif HAM, Ramlan membahas perspektif agama, ideologis/filosofis, dan Eka N.A.M Sihombing dari unsur akademisi membahas aspek yuridis.

Majda El Muhtaj mengungkapkan LGBT hampir ada di semua negara. Bahkan dari literatur yang dia baca, komunitas LGBT harus dianggap bagian dari komunitas positif lainnya. “Dalam konteks HAM, semua orang yang dilahirkan itu harus merdeka. Dan memang persoalan transgender ini masih menjadi perdebatan di forum internasional,” katanya.

Menurutnya tidak ada satu regulasi apapun di Indonesia yang bisa menghukum komunitas LGBT. Malah negara harus hadir untuk melindungi mereka, dengan merangkul atau melibatkan banyak stakeholder di dalamnya. “Yang dibangun itu adalah dialog, tidak mengecap mereka sebagai umat Nabi Luth. Kita berbeda seperti Thailand, yang nilai dan norma-norma negaranya bisa menganut paham seperti itu. Namun kita sepakat bahwa prilaku LGBT dapat merusak moral bangsa, ini yang harus kita pikirkan bersama formulanya,” katanya.

Pembicara kedua, Ramlan, lebih banyak mengupas korelasi antara prilaku LGBT dengan pengalaman pancasila. Kemudian dia menyatukan kehadiran komunitas itu sesuai perspektif agama yang ada di Indonesia. Kesimpulannya, ia menegaskan tidak ada satu pun agama yang memperbolehkan prilaku keji seperti LGBT untuk dianut dalam kehidupan pribadi dan bermasyarakat. Begitu juga tentang pendekatan pancasila, di mana keseluruhan sila merupakan satu kesatuan yang bulat sehingga tidak ada di dalamnya yang mendukung kehadiran prilaku LGBT.

Sementara Eka N.A.M Sihombing, sepakat dengan dua pembicara sebelumnya. Ia menyebutkan konstitusi justu mengalir dari ideologi dan falsafah bangsa yakni Pancasila. “Konstitusi kita mengandung/terkandung pengakuan atas ketuhanan. Implementasi sinar ketuhanan bahwa setiap membentuk perundang-undangan tidak sebatas slogan, tetapi mesti diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.

Bahkan sesuai hukum yang ada di negeri ini, sebut dia, perkawinan yang sah itu antara laki-laki dan perempuan meski hak semua orang pula untuk melakukan perkawinan. “Di sini yang sering berbenturan. Ketika orang ingin melakukan perkawinan sesama jenis, dia wajib mengikuti aturan konstitusi yang berlaku. Sebab Adam diciptakan untuk Hawa, bukan Adam untuk Jordan,” katanya yang disambut tawa peserta FGD dari elemen mahasiswa Kota Medan. (prn/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/