25 C
Medan
Sunday, September 29, 2024

Pungli Jembatan Timbang, Kasus di Sumut Tergolong Parah

JAKARTA – Praktik pungutan liar (pungli) di jembatan timbang yang berada di wilayah Sumut tergolong parah. Ini bukan sekedar asumsi, tapi merupakan hasil penelitian ‘The Asian Foundation’.

TIMBANG: Suasana  sebuah jembatan timbang, belum lama ini.//BATARA/SUMUT POS
TIMBANG: Suasana di sebuah jembatan timbang,
belum lama ini.//BATARA/SUMUT POS

Memang ini bukan penelitian terbaru. Namun, hasil penelitian yang dirilis April 2008 ini bisa dijadikan gambaran buruknya perilaku aparat Dinas Perhubungan di wilayah Sumut.

Penelitian lembaga level internasional ini di sembilan rute, yakni tiga rute di Sulawesi Selatan yaitu Bulukumba – Makassar, Parepare – Makassar, dan Palopo – Parepare. Juga di Sulawesi Selatan/Barat yakni rute Mamuju – Parepare.

Di Gorontalo rute Marisa – Gorontalo, Sulawesi Utara rute Kotamobagu – Manado, Nusa Tenggara Barat rute Sumbawa Besar – Mataram, Jawa Timur rute Malang – Surabaya, dan Sumut rute Rantau Parapat – Medan.

Nah, untuk rute Rantau Parapat-Medan ini, ada tiga jembatan timbang yakni di Aek Kanopan, Lima Puluh, dan Tanjung Morawa.

Hasil penelitian berjudul Biaya Transportasi Barang Angkutan, Regulasi, dan Pungutan Jalan di Indonesia, itu, menyebutkan, “ Pembayaran di jembatan timbang yang paling tinggi ada di dua rute di luar Sulawesi, yaitu Sumbawa Besar-Mataram dan Rantau Parapat-Medan”.

Di tiga jembatan timbang di rute Rantau Parapat-Medan itu, rata-rata total pembayaran untuk semua Rp47.875. Ini peringkat kedua setelah Sumbawa Besar-Mataram yang Rp70.029.

“Karena beberapa perjalanan di setiap rute dilengkapi dengan peralatan GPS, kami dapat melakukan pemetaan secara akurat terhadap tempat-tempat pemungutan berbagai jenis retribusi.

Hasil penelitian juga menyebutkan, untuk rute Rantau Prapat-Medan, daya angkut muatan, tidak termasuk truk, mencapai 13 ton. Rata-rata terjadi berat lebih 4 ton atau 33 persen. Dari rata-rata 33 truk yang ditimbang, 17 truk mengalami kelebihan muatan, atau 52 persen.

“Walaupun truk masuk jembatan timbang, mereka tidak ditimbang sebagaimana mestinya, didenda, atau diminta untuk menurunkan muatan mereka. Kebanyakan dari truk-truk tersebut melintasi begitu saja dan memberikan sejum lah uang kepada aparat yang sedang bertugas,” demikian tertuang di hasil penelitian itu.

Kebanyakan truk merupakan jenis bak terbuka, karena ini akan memudahkan pemilik atau supir untuk menaikkan beban muat di atas kapasitas maksimal. Baik pemilik maupun supir menga takan bahwa hal ini diperlukan agar mereka bisa mendapatkan keuntungan.

Namun, disimpulkan, kegagalan dalam penerapan batas muatan ini akan menyebabkan kerusakan jalan yang lebih parah dibandingkan dengan besarnya keuntungan yang dinikmati oleh perusahaan angkutan barang dan oknum di jembatan timbang.

Dampak lain truk dengan kelebihan beban muatan yakni akan menyebabkan terjadinya kecelakaan adalah karena terjadinya wakt u reaksi untuk menghentikan kendaraan menjadi lebih lambat.

“Di Indonesia, bahaya ini menjadi semakin besar karena umur truk yang sudah relatif tua, paling sedikit 8 tahun dengan perawatan yang buruk. Jadi, lemahnya penerapan ketentuan mengenai batas beban muatan akan menyebabkan situasi jalan yang sangat membahayakan,” demikian hasil penelitian itu.

Menanggapi buruknya petugas jembatan timbang, pihak Kementerian Perhubungan mengaku tidak bisa berbuat banyak.

Alasannya, di era otonomi daerah seperti sekarang ini, Pemda lah yang berhak menindak aparatnya yang bertindak nakal.

“Pusat tidak bisa lagi melakukan penindakan.

Mestinya gubernur atau Kepala Dinas Perhungan yang menertibkan. Kita hanya menyiapkan regulasi, yang dijabarkan dengan Perda di masing-masing daerah,” ujar Jubir Kemenhub, Bambang Ervan, kepada koran ini di Jakarta, kemarin. (sam)

JAKARTA – Praktik pungutan liar (pungli) di jembatan timbang yang berada di wilayah Sumut tergolong parah. Ini bukan sekedar asumsi, tapi merupakan hasil penelitian ‘The Asian Foundation’.

TIMBANG: Suasana  sebuah jembatan timbang, belum lama ini.//BATARA/SUMUT POS
TIMBANG: Suasana di sebuah jembatan timbang,
belum lama ini.//BATARA/SUMUT POS

Memang ini bukan penelitian terbaru. Namun, hasil penelitian yang dirilis April 2008 ini bisa dijadikan gambaran buruknya perilaku aparat Dinas Perhubungan di wilayah Sumut.

Penelitian lembaga level internasional ini di sembilan rute, yakni tiga rute di Sulawesi Selatan yaitu Bulukumba – Makassar, Parepare – Makassar, dan Palopo – Parepare. Juga di Sulawesi Selatan/Barat yakni rute Mamuju – Parepare.

Di Gorontalo rute Marisa – Gorontalo, Sulawesi Utara rute Kotamobagu – Manado, Nusa Tenggara Barat rute Sumbawa Besar – Mataram, Jawa Timur rute Malang – Surabaya, dan Sumut rute Rantau Parapat – Medan.

Nah, untuk rute Rantau Parapat-Medan ini, ada tiga jembatan timbang yakni di Aek Kanopan, Lima Puluh, dan Tanjung Morawa.

Hasil penelitian berjudul Biaya Transportasi Barang Angkutan, Regulasi, dan Pungutan Jalan di Indonesia, itu, menyebutkan, “ Pembayaran di jembatan timbang yang paling tinggi ada di dua rute di luar Sulawesi, yaitu Sumbawa Besar-Mataram dan Rantau Parapat-Medan”.

Di tiga jembatan timbang di rute Rantau Parapat-Medan itu, rata-rata total pembayaran untuk semua Rp47.875. Ini peringkat kedua setelah Sumbawa Besar-Mataram yang Rp70.029.

“Karena beberapa perjalanan di setiap rute dilengkapi dengan peralatan GPS, kami dapat melakukan pemetaan secara akurat terhadap tempat-tempat pemungutan berbagai jenis retribusi.

Hasil penelitian juga menyebutkan, untuk rute Rantau Prapat-Medan, daya angkut muatan, tidak termasuk truk, mencapai 13 ton. Rata-rata terjadi berat lebih 4 ton atau 33 persen. Dari rata-rata 33 truk yang ditimbang, 17 truk mengalami kelebihan muatan, atau 52 persen.

“Walaupun truk masuk jembatan timbang, mereka tidak ditimbang sebagaimana mestinya, didenda, atau diminta untuk menurunkan muatan mereka. Kebanyakan dari truk-truk tersebut melintasi begitu saja dan memberikan sejum lah uang kepada aparat yang sedang bertugas,” demikian tertuang di hasil penelitian itu.

Kebanyakan truk merupakan jenis bak terbuka, karena ini akan memudahkan pemilik atau supir untuk menaikkan beban muat di atas kapasitas maksimal. Baik pemilik maupun supir menga takan bahwa hal ini diperlukan agar mereka bisa mendapatkan keuntungan.

Namun, disimpulkan, kegagalan dalam penerapan batas muatan ini akan menyebabkan kerusakan jalan yang lebih parah dibandingkan dengan besarnya keuntungan yang dinikmati oleh perusahaan angkutan barang dan oknum di jembatan timbang.

Dampak lain truk dengan kelebihan beban muatan yakni akan menyebabkan terjadinya kecelakaan adalah karena terjadinya wakt u reaksi untuk menghentikan kendaraan menjadi lebih lambat.

“Di Indonesia, bahaya ini menjadi semakin besar karena umur truk yang sudah relatif tua, paling sedikit 8 tahun dengan perawatan yang buruk. Jadi, lemahnya penerapan ketentuan mengenai batas beban muatan akan menyebabkan situasi jalan yang sangat membahayakan,” demikian hasil penelitian itu.

Menanggapi buruknya petugas jembatan timbang, pihak Kementerian Perhubungan mengaku tidak bisa berbuat banyak.

Alasannya, di era otonomi daerah seperti sekarang ini, Pemda lah yang berhak menindak aparatnya yang bertindak nakal.

“Pusat tidak bisa lagi melakukan penindakan.

Mestinya gubernur atau Kepala Dinas Perhungan yang menertibkan. Kita hanya menyiapkan regulasi, yang dijabarkan dengan Perda di masing-masing daerah,” ujar Jubir Kemenhub, Bambang Ervan, kepada koran ini di Jakarta, kemarin. (sam)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/