25 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Sering Diajak Berkelahi Pengendara Motor yang Mokong

Sudah sekitar dua tahun ini sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Pejalan Kaki konsisten memperjuangkan hak-hak pedestrian. Mereka menggelar aksi turun ke jalan dan advokasi kepentingan pejalan kaki. Kini komunitas itu telah memiliki ribuan anggota yang tersebar di sepuluh kota di Indonesia.

PERJUANGKAN HAK: Koalisi Pejalan Kaki saat beraksi beberapa waktu lalu di Jakarta.  Komunitas ini konsisten memperjuangkan hak-hak pedestrian.
PERJUANGKAN HAK: Koalisi Pejalan Kaki saat beraksi beberapa waktu lalu di Jakarta. Komunitas ini konsisten memperjuangkan hak-hak pedestrian.

GUNAWAN SUTANTO, Jakarta

Personal computer di ruang sekretariat itu menjadi bukti kegigihan Koalisi Pejalan Kaki memperjuangkan hak-hak para pedestrian. Dalam komputer tersebut ada ratusan file foto dokumentasi kegiatan Koalisi Pejalan Kaki selama ini. Foto-foto itu dikelompokkan rapi dengan nama folder sesuai dengan tempat kegiatan digelar.

Sejak berdiri pada Juli 2012, koalisi tersebut memang lantang menyuarakan hak-hak pejalan kaki. Upaya itu dilakukan melalui aksi nyata dengan melawan mereka yang mengokupansi ruang pejalan kaki. Yang rutin dilakukan adalah aksi menghalau para pengendara motor yang seenaknya melintas di trotoar.

“Kami biasa menggelar aksi setiap Jumat sore. Kalau kawan-kawan di daerah waktunya berbeda-beda,” ujar Koordinator Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus saat ditemui di sekretariat, Gedung Sarinah lantai 12, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Rabu (14/5). Alfred termasuk satu di antara delapan penggagas berdirinya gerakan yang memperjuangkan hak-hak publik itu.

Alfred mengatakan, ada beberapa hal yang mendasari berdirinya Koalisi Pejalan Kaki. Yang utama, para pendiri komunitas tersebut merupakan para komuter. Mereka adalah pengguna transportasi publik untuk aktivitas sehari-hari.

Berdasar latar belakang itu, mereka merasa memiliki permasalahan yang sama. Yakni, hak-hak mereka sebagai pejalan kaki yang tergusur. Hak-hak mereka “dirampas”. Juga, berubah fungsi menjadi lahan parkir, tempat berjualan, hingga jalan pintas sepeda motor yang sedang terjebak kemacetan.

“Contohnya ketika para penumpang kereta api turun dari stasiun dan melanjutkan perjalanan ke tempat kerja masing-masing. Kami sangat merasakan bagaimana tersitanya trotoar, hilangnya zebra cross, dan fasilitas pejalan kaki lainnya,” terang dia.

Kondisi itu tentu saja sangat membahayakan keselamatan para pejalan kaki. Sebab, tidak sedikit yang menjadi korban kecelakaan karena harus berjalan di bahu jalan yang juga ramai lalu lintas kendaraan.

Berdasar analisis Koalisi Pejalan Kaki, kesemrawutan di trotoar terjadi karena ketidaktegasan pemerintah dalam mengelola ruang publik itu. Terutama mereka yang berada di instansi pekerjaan umum, perhubungan, kepolisian, hingga satuan pamong praja.

“Mereka tidak menjalankan tupoksi baik dalam hal pembangunan maupun penjagaan fasilitas umum,” ujarnya.

“Ketika ada laporan trotoar yang hilang karena pelebaran jalan atau rusak, mereka saling lempar tanggung jawab. Yang satu bilang itu jalan nasional, yang lain bilang jalan provinsi atau milik kota. Intinya, tidak ada yang mau direpoti. Masalah seperti ini terjadi di seluruh Indonesia,” jelas pria kelahiran 21 November itu.

Berangkat dari problem-problem tersebut, Koalisi Pejalan Kaki terus mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengembalikan hak-hak pejalan kaki. Mereka menggunakan media sosial seperti Twitter dan Facebook untuk alat kampanye. Dalam dua tahun, respons masyarakat luar biasa. Buktinya, komunitas yang sama kini bermunculan di kota-kota lain. Setidaknya sudah sepuluh kota yang memiliki komunitas yang memperjuangkan hak-hak pengguna trotoar itu.

Komunitas tersebut biasanya melakukan aksi secara rutin dengan mengakomodasi laporan masyarakat yang masuk via social media.

“Tiap laporan kami fasilitasi. Mereka yang melapor kami dorong menjadi koordinator aksi dan kami support dari belakang. Jadwalnya rutin kami tentukan tiap Jumat jam 4 sore,” jelas pria yang pernah bekerja di Clean Air Sri Lanka itu.

Sejauh ini aksi yang paling banyak dilakukan berhubungan dengan masalah trotoar yang berubah fungsi. Misalnya, trotoar di kawasan Grogol, Jakarta Barat, yang dihancurkan untuk pelebaran jalan. Akibatnya, para pejalan kaki yang melintas harus berimpitan dengan kendaraan di jalan. Karena itu, Koalisi Pejalan Kaki mereaksi dengan menggelar aksi di trotoar tersebut sambil membeber poster bertulisan, “Di Mana Trotoar Kita?”.

Ada juga aksi menghalau motor yang melintas di trotoar sekitar Kasablanka. Dalam aksi itu, para anggota komunitas mengedukasi pengendara agar kembali ke jalan yang benar.

“Memang kami kerap menghadapi masalah. Kami sering dicaci maki, bahkan diajak berkelahi pamakai jalan yang mokong,” terang bapak satu anak itu.

Untung, masih banyak pengendara yang mau memahami aksi yang diperjuangkan Koalisi Pejalan Kaki. Mereka bahkan bersedia membantu aksi komunitas tersebut.

“Dari kejadian itu kami melihat sebenarnya ada kesadaran masyarakat. Hanya penegakan aturan yang tidak jalan ini yang membuat kesadaran masyarakat jadi luntur,” ungkapnya.

Berbagai cara memang digunakan anggota komunitas tersebut untuk menghalau kendaraan yang melintas di trotoar. Mulai mengingatkan, menurunkan motor pengendara, hingga melakukan aksi tiduran di trotoar karena masih ada pengendara yang nekat melaju di trotoar.

Bukan hanya itu. Alfred pernah hampir menjadi korban juru parkir yang tidak terima diingatkan karena menggunakan trotoar sebagai lahan parkir. Kejadian itu berlangsung di sekitar gedung Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) di Rasuna Said.

“Saat aksi, ada preman yang tidak terima dan mengancam saya dengan pisau. Untung, saya diselamatkan satpam Kum HAM,” katanya.

Menurut Alfred, di sejumlah kota aksi anggota Koalisi Pejalan Kaki telah menghasilkan tindakan positif. Misalnya, di Bogor aksi komunitas yang terkait dengan hilangnya fasilitas pejalan kaki di sekitar stasiun akhirnya didengarkan pemda. Trotoar untuk pejalan kaki yang hendak ke stasiun pun kembali difungsikan.

“Begitu juga teman-teman di Jogjakarta. Mereka berhasil mendorong pemda membuat perda terkait kawasan pejalan kaki di Malioboro hingga Titik Nol,” tuturnya.

Sayang, di Jakarta belum banyak masukan dari komunitas itu yang diakomodasi Pemprov DKI. Malah, trotoar di kompleks kantor gubernur kini berubah menjadi lahan parkir.

“Kondisi itu terjadi sejak Pak Jokowi belum jadi gubernur sampai sekarang maju capres,” tuturnya. (*/c10/ari/jpnn)

Sudah sekitar dua tahun ini sejumlah aktivis yang tergabung dalam Koalisi Pejalan Kaki konsisten memperjuangkan hak-hak pedestrian. Mereka menggelar aksi turun ke jalan dan advokasi kepentingan pejalan kaki. Kini komunitas itu telah memiliki ribuan anggota yang tersebar di sepuluh kota di Indonesia.

PERJUANGKAN HAK: Koalisi Pejalan Kaki saat beraksi beberapa waktu lalu di Jakarta.  Komunitas ini konsisten memperjuangkan hak-hak pedestrian.
PERJUANGKAN HAK: Koalisi Pejalan Kaki saat beraksi beberapa waktu lalu di Jakarta. Komunitas ini konsisten memperjuangkan hak-hak pedestrian.

GUNAWAN SUTANTO, Jakarta

Personal computer di ruang sekretariat itu menjadi bukti kegigihan Koalisi Pejalan Kaki memperjuangkan hak-hak para pedestrian. Dalam komputer tersebut ada ratusan file foto dokumentasi kegiatan Koalisi Pejalan Kaki selama ini. Foto-foto itu dikelompokkan rapi dengan nama folder sesuai dengan tempat kegiatan digelar.

Sejak berdiri pada Juli 2012, koalisi tersebut memang lantang menyuarakan hak-hak pejalan kaki. Upaya itu dilakukan melalui aksi nyata dengan melawan mereka yang mengokupansi ruang pejalan kaki. Yang rutin dilakukan adalah aksi menghalau para pengendara motor yang seenaknya melintas di trotoar.

“Kami biasa menggelar aksi setiap Jumat sore. Kalau kawan-kawan di daerah waktunya berbeda-beda,” ujar Koordinator Koalisi Pejalan Kaki Alfred Sitorus saat ditemui di sekretariat, Gedung Sarinah lantai 12, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Rabu (14/5). Alfred termasuk satu di antara delapan penggagas berdirinya gerakan yang memperjuangkan hak-hak publik itu.

Alfred mengatakan, ada beberapa hal yang mendasari berdirinya Koalisi Pejalan Kaki. Yang utama, para pendiri komunitas tersebut merupakan para komuter. Mereka adalah pengguna transportasi publik untuk aktivitas sehari-hari.

Berdasar latar belakang itu, mereka merasa memiliki permasalahan yang sama. Yakni, hak-hak mereka sebagai pejalan kaki yang tergusur. Hak-hak mereka “dirampas”. Juga, berubah fungsi menjadi lahan parkir, tempat berjualan, hingga jalan pintas sepeda motor yang sedang terjebak kemacetan.

“Contohnya ketika para penumpang kereta api turun dari stasiun dan melanjutkan perjalanan ke tempat kerja masing-masing. Kami sangat merasakan bagaimana tersitanya trotoar, hilangnya zebra cross, dan fasilitas pejalan kaki lainnya,” terang dia.

Kondisi itu tentu saja sangat membahayakan keselamatan para pejalan kaki. Sebab, tidak sedikit yang menjadi korban kecelakaan karena harus berjalan di bahu jalan yang juga ramai lalu lintas kendaraan.

Berdasar analisis Koalisi Pejalan Kaki, kesemrawutan di trotoar terjadi karena ketidaktegasan pemerintah dalam mengelola ruang publik itu. Terutama mereka yang berada di instansi pekerjaan umum, perhubungan, kepolisian, hingga satuan pamong praja.

“Mereka tidak menjalankan tupoksi baik dalam hal pembangunan maupun penjagaan fasilitas umum,” ujarnya.

“Ketika ada laporan trotoar yang hilang karena pelebaran jalan atau rusak, mereka saling lempar tanggung jawab. Yang satu bilang itu jalan nasional, yang lain bilang jalan provinsi atau milik kota. Intinya, tidak ada yang mau direpoti. Masalah seperti ini terjadi di seluruh Indonesia,” jelas pria kelahiran 21 November itu.

Berangkat dari problem-problem tersebut, Koalisi Pejalan Kaki terus mengajak masyarakat untuk bersama-sama mengembalikan hak-hak pejalan kaki. Mereka menggunakan media sosial seperti Twitter dan Facebook untuk alat kampanye. Dalam dua tahun, respons masyarakat luar biasa. Buktinya, komunitas yang sama kini bermunculan di kota-kota lain. Setidaknya sudah sepuluh kota yang memiliki komunitas yang memperjuangkan hak-hak pengguna trotoar itu.

Komunitas tersebut biasanya melakukan aksi secara rutin dengan mengakomodasi laporan masyarakat yang masuk via social media.

“Tiap laporan kami fasilitasi. Mereka yang melapor kami dorong menjadi koordinator aksi dan kami support dari belakang. Jadwalnya rutin kami tentukan tiap Jumat jam 4 sore,” jelas pria yang pernah bekerja di Clean Air Sri Lanka itu.

Sejauh ini aksi yang paling banyak dilakukan berhubungan dengan masalah trotoar yang berubah fungsi. Misalnya, trotoar di kawasan Grogol, Jakarta Barat, yang dihancurkan untuk pelebaran jalan. Akibatnya, para pejalan kaki yang melintas harus berimpitan dengan kendaraan di jalan. Karena itu, Koalisi Pejalan Kaki mereaksi dengan menggelar aksi di trotoar tersebut sambil membeber poster bertulisan, “Di Mana Trotoar Kita?”.

Ada juga aksi menghalau motor yang melintas di trotoar sekitar Kasablanka. Dalam aksi itu, para anggota komunitas mengedukasi pengendara agar kembali ke jalan yang benar.

“Memang kami kerap menghadapi masalah. Kami sering dicaci maki, bahkan diajak berkelahi pamakai jalan yang mokong,” terang bapak satu anak itu.

Untung, masih banyak pengendara yang mau memahami aksi yang diperjuangkan Koalisi Pejalan Kaki. Mereka bahkan bersedia membantu aksi komunitas tersebut.

“Dari kejadian itu kami melihat sebenarnya ada kesadaran masyarakat. Hanya penegakan aturan yang tidak jalan ini yang membuat kesadaran masyarakat jadi luntur,” ungkapnya.

Berbagai cara memang digunakan anggota komunitas tersebut untuk menghalau kendaraan yang melintas di trotoar. Mulai mengingatkan, menurunkan motor pengendara, hingga melakukan aksi tiduran di trotoar karena masih ada pengendara yang nekat melaju di trotoar.

Bukan hanya itu. Alfred pernah hampir menjadi korban juru parkir yang tidak terima diingatkan karena menggunakan trotoar sebagai lahan parkir. Kejadian itu berlangsung di sekitar gedung Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) di Rasuna Said.

“Saat aksi, ada preman yang tidak terima dan mengancam saya dengan pisau. Untung, saya diselamatkan satpam Kum HAM,” katanya.

Menurut Alfred, di sejumlah kota aksi anggota Koalisi Pejalan Kaki telah menghasilkan tindakan positif. Misalnya, di Bogor aksi komunitas yang terkait dengan hilangnya fasilitas pejalan kaki di sekitar stasiun akhirnya didengarkan pemda. Trotoar untuk pejalan kaki yang hendak ke stasiun pun kembali difungsikan.

“Begitu juga teman-teman di Jogjakarta. Mereka berhasil mendorong pemda membuat perda terkait kawasan pejalan kaki di Malioboro hingga Titik Nol,” tuturnya.

Sayang, di Jakarta belum banyak masukan dari komunitas itu yang diakomodasi Pemprov DKI. Malah, trotoar di kompleks kantor gubernur kini berubah menjadi lahan parkir.

“Kondisi itu terjadi sejak Pak Jokowi belum jadi gubernur sampai sekarang maju capres,” tuturnya. (*/c10/ari/jpnn)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/