26 C
Medan
Sunday, December 22, 2024
spot_img

Hai…Mau Ngapain setelah Lulus SMA?

Masalahnya, lanjut Vivi, para warga usia muda kesulitan mengakses informasi soal lapangan pekerjaan. Akhirnya banyak lulusan SMA yang bersedia melakoni pekerjaan yang seharusnya diperuntukkan bagi lulusan SD dan SMP.

”Sekitar 20 persen lulusan SMA rela bekerja di sektor tanpa keterampilan, 65 persen semiskilled,” kata Vivi. Fenomena tersebut imbas dari kegagalan lulusan pendidikan tinggi, khususnya para sarjana, yang juga menganggur dan akhirnya mengambil jatah lulusan SMA.

Senada dengan Anies, Vivi juga menyebutkan, salah satu solusi jangka pendek supaya lulusan SMA tidak lagi masuk pasar kerja tenaga tidak terampil adalah pelatihan setelah lulus sekolah.

Hal itu bisa difasilitasi pemerintah ataupun pelaku usaha. ”Pemberi kerja biasanya menuntut kualitas SDM. Sementara di sini, bagi lulusan SMA atau di bawahnya, tidak ada kesempatan meningkatkan keterampilan setelah lulus,” ungkapnya.

Sementara itu, Teguh Juwarno (anggota Komisi X DPR yang membidangipendidikan, pemuda, olahraga, dan pariwisata) mengatakan bahwa salah satu yang menjadi penyebab siswa sulit diterima di dunia kerja adalah minimnya SMK. Kebijakan menteri pendidikan pada tahun-tahun sebelumnya adalah selalu membangun SMA lebih banyak daripada SMK. ”Perbandingannya 70 persen SMA dan SMK hanya 30 persen,” ujarnya.

Praktisi entrepreneurship Jaya Setiabudi menjelaskan, seharusnya program pemerintah tidak sekadar mendorong lulusannya bisa terserap sebagai pekerja di dunia industri. Namun, lulusan SMA sederajat juga harus didorong mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk diri sendiri.

Masalahnya, sejauh ini Jaya melihat kurikulum pendidikan menengah atas di Indonesia belum mampu mendorong lulusannya memiliki kemampuan sebagai seorang wirausahawan.

”Lulusan SMK memang secara skill banyak yang mumpuni. Namun, mindset mereka masih sebagai seorang pekerja, bukan pengusaha,” ucap pendiri Young Entrepreneur Academy (YEA) tersebut.

Dari pengalamannya menjadi pembicara, Jaya melihat kurikulum wirausaha di SMA sederajat hanya teori. Kebanyakan pengajarnya juga diambilkan dari guru sekolah tersebut, bukan praktisi yang kenyang pengalaman.

Karena itu, penulis sejumlah buku entrepreneurship tersebut mendorong pemerintah tak sekadar membuat program untuk kesiapan kerja bagi lulusan SMA sederajat. Namun, juga ada program-program yang menciptakan mindset bahwa lulusan SMA sederajat mampu menjadi pengusaha.

Jaya memberikan saran agar penilaian tingkat kelulusan diubah. Bukan lagi sekadar berdasar penilaian hasil-hasil tes tulis, tapi juga dari penilaian action siswa bersangkutan. ”Misalnya, untuk pelajaran wirausaha, seharusnya ada dong penilaian dari omzet yang mereka capai. Bukan hanya penilaian dari hasil tes-tes teori,” tuturnya. (gun/mia/aph/c9/kim)

Masalahnya, lanjut Vivi, para warga usia muda kesulitan mengakses informasi soal lapangan pekerjaan. Akhirnya banyak lulusan SMA yang bersedia melakoni pekerjaan yang seharusnya diperuntukkan bagi lulusan SD dan SMP.

”Sekitar 20 persen lulusan SMA rela bekerja di sektor tanpa keterampilan, 65 persen semiskilled,” kata Vivi. Fenomena tersebut imbas dari kegagalan lulusan pendidikan tinggi, khususnya para sarjana, yang juga menganggur dan akhirnya mengambil jatah lulusan SMA.

Senada dengan Anies, Vivi juga menyebutkan, salah satu solusi jangka pendek supaya lulusan SMA tidak lagi masuk pasar kerja tenaga tidak terampil adalah pelatihan setelah lulus sekolah.

Hal itu bisa difasilitasi pemerintah ataupun pelaku usaha. ”Pemberi kerja biasanya menuntut kualitas SDM. Sementara di sini, bagi lulusan SMA atau di bawahnya, tidak ada kesempatan meningkatkan keterampilan setelah lulus,” ungkapnya.

Sementara itu, Teguh Juwarno (anggota Komisi X DPR yang membidangipendidikan, pemuda, olahraga, dan pariwisata) mengatakan bahwa salah satu yang menjadi penyebab siswa sulit diterima di dunia kerja adalah minimnya SMK. Kebijakan menteri pendidikan pada tahun-tahun sebelumnya adalah selalu membangun SMA lebih banyak daripada SMK. ”Perbandingannya 70 persen SMA dan SMK hanya 30 persen,” ujarnya.

Praktisi entrepreneurship Jaya Setiabudi menjelaskan, seharusnya program pemerintah tidak sekadar mendorong lulusannya bisa terserap sebagai pekerja di dunia industri. Namun, lulusan SMA sederajat juga harus didorong mampu menciptakan lapangan pekerjaan untuk diri sendiri.

Masalahnya, sejauh ini Jaya melihat kurikulum pendidikan menengah atas di Indonesia belum mampu mendorong lulusannya memiliki kemampuan sebagai seorang wirausahawan.

”Lulusan SMK memang secara skill banyak yang mumpuni. Namun, mindset mereka masih sebagai seorang pekerja, bukan pengusaha,” ucap pendiri Young Entrepreneur Academy (YEA) tersebut.

Dari pengalamannya menjadi pembicara, Jaya melihat kurikulum wirausaha di SMA sederajat hanya teori. Kebanyakan pengajarnya juga diambilkan dari guru sekolah tersebut, bukan praktisi yang kenyang pengalaman.

Karena itu, penulis sejumlah buku entrepreneurship tersebut mendorong pemerintah tak sekadar membuat program untuk kesiapan kerja bagi lulusan SMA sederajat. Namun, juga ada program-program yang menciptakan mindset bahwa lulusan SMA sederajat mampu menjadi pengusaha.

Jaya memberikan saran agar penilaian tingkat kelulusan diubah. Bukan lagi sekadar berdasar penilaian hasil-hasil tes tulis, tapi juga dari penilaian action siswa bersangkutan. ”Misalnya, untuk pelajaran wirausaha, seharusnya ada dong penilaian dari omzet yang mereka capai. Bukan hanya penilaian dari hasil tes-tes teori,” tuturnya. (gun/mia/aph/c9/kim)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/