25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Sumut Kembangkan Transfer Antibodi Pasien, Metode Penyembuhan Pasien Covid-19

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sumatera Utara melalui Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik (HAM) Medan, tengah mengembangkan penanganan pasien Covid-19 dengan metode convalescent plasma. Metode ini dilakukan dengan cara mentransfer atau memasukkan plasma darah penuh antibodi milik pasien yang telah sembuh, ke tubuh penderita Covid-19.

“TIM yang mengembangkan metode convalescent plasma sudah dibentuk. Rencana ke depan, RSUP H Adam Malik akan menjadi model penanganan efektif untuk kesembuhan pasien Covid-19. Kita akan menjadi pusat plasma compalationn

Baru-baru ini, sudah ada datang staf ahli menteri (kesehatan) untuk menguatkan ini,” ujar Direktur Utama (Dirut) RSUPHAM, dr Zainal Safri SpPD-KKV SpJP (K), saat diwawancarai, Rabu (16/9).

Dijelaskan Zainal, metode convalescent plasma itu adalah mengambil antibodi pasien Covid-19 yang telah sembuh, dan memasukkannya ke tubuh pasien yang terinfeksi virus corona. Sebab, pasien Covid-19 yang sembuh sudah memiliki antibodi sehingga sifatnya dapat menguatkan. “Jadi, convalescent plasma ini mentransfer antibodi, itu sudah dilakukan dan plasmanya dibawa dari RSPAD Gatot Subroto (Jakarta),” terangnya.

Zainal menyebutkan, selama ini pengobatan yang dilakukan di RSUP H Adam Malik terhadap penderita Covid-19 sesuai standar protokol. Untuk yang khusus, ada antivirus aluvia. “Makanya, ke depan kita mau ke metode convalescent plasma,” ucapnya.

Meski demikian, tambah Zainal, sejauh ini dibandingkan angka kematian, persentase kesembuhan pasien Covid-19 yang dirawat di RSUP H Adam Malik mencapai 95%. “Dari rata-rata 100 orang yang dirawat, hanya 5 atau 6 orang yang meninggal,” tandasnya.

Sebelumnya, Prof David Muljono selaku Deputy Director Eijkman Institute of Molecular Biology pada situs pihak Administrasi Obat-obatan dan Pangan AS (FDA) menyebutkan, convalescent plasma sangat mungkin dilakukan termasuk di Indonesia. “Plasma diambil dari darah pasien yang sembuh, tetapi ada kriterianya,” kata David saat webinar yang digelar oleh The Conversation Indonesia bertajuk ‘Mengukur Efektivitas Intervensi Pemerintah dalam Penanganan Covid-19’, April lalu.

Kriteria yang harus dimiliki mantan pasien Covid-19 antara lain usia 18-55 tahun, berat badan lebih dari 50 kilogram, tidak memiliki penyakit penyerta serta mampu mendonorkan darahnya. “RNA (Ribonucleic Acid) pasien harus pernah positif, dengan indikasi pasien tersebut harus yang memiliki progress (penyembuhan) yang cepat dan penyakitnya tidak lebih dari tiga minggu,” paparnya.

Terapi convalescent plasma bukanlah kali pertama dilakukan untuk beberapa jenis penyakit. David menjelaskan, sebelumnya terapi ini dilakukan untuk mengobati penyakit SARS, MERS, hantavirus, dan flu burung. Untuk kasus Covid-19, convalescent plasma pertama kali dipraktekkan di China. “Awalnya ada 5 orang diberi terapi itu di China, kemudian ditambah 10 orang lagi. Kemudian ada 2 orang lagi di China. Itu artinya di dunia sampai saat ini baru ada 17 orang yang diberikan terapi tersebut,” sebut David.

Berdasarkan data terbatas itu, tingkat keberhasilan convalescent plasma memang cukup tinggi. Para pasien di China yang telah diberikan convalescent plasma mengalami penyembuhan yang lebih cepat, serta keparahan yang berkurang terutama pada saluran pernapasan.

Kendati begitu, David mengatakan terlalu dini untuk berkesimpulan seperti itu. Itulah mengapa Infectious Diseases Society of America (IDSA) telah mengeluarkan rekomendasi no 7 yang menyebutkan convalescent plasma bukanlah pengobatan terakhir, dan masih belum banyak pengalaman klinis. “Butuh studi lebih banyak yang diobservasi secara ketat untuk membuktikan efektivitasnya,” pungkas dia.

Tambah 33 Ruang Isolasi

Selain mengembangkan metode convalescent plasma, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUPHAM) juga kembali melakukan penambahan ruang isolasi bagi pasien Covid-19. Sebanyak 33 ruang isolasi sedang dibangun, yang direncanakan bisa digunakan bulan depan atau Oktober mendatang.

Direktur Utama (Dirut) RSUPHAM, dr Zainal Safri SpPD-KKV SpJP (K) mengatakan, semasa awal penanganan pasien Covid-19 yaitu pada bulan Maret lalu hanya ada 11 ruang isolasi. Namun, seiring berjalannya waktu saat ini sudah bertambah menjadi 65 ruangan. Dengan penambahan ini, maka rumah sakit milik Kementerian Kesehatan tersebut total akan memiliki 98 ruang isolasi khusus untuk pasien sedang dan berat penderita Covid-19.

“Penambahan ruang isolasi tersebut karena memang situasinya lebih sering penuh. Setelah dilakukan rapat direksi, diputuskan untuk menambah sebanyak 33 ruangan kembali,” ungkap Zainal, Rabu (16/9).

Menurut dia, ruangan untuk penanganan pasien Covid-19 dibangun di Instalasi Rindu A. Gedungnya, saat ini sudah 3 lantai. Apabila memang diperlukan lagi untuk ditambah, maka akan dibangun lagi 1 lantai. “Kami sengaja memilih lokasi di sebelah kanan area gedung rumah sakit yaitu di Rindu A. Artinya, secara lokasi berada di pinggir sehingga penanganan pasien non-Covid-19 tidak terkontaminasi dengan pasien Covid-19,” sebut Zainal didampingi Direktur SDM, Pendidikan dan Umum Dr dr Fajrinur MKed (Paru) SpP (K) dan Direktur Keuangan Supomo SE MKes.

Diutarakan Zainal, dalam membangun fasilitas penanganan Covid-19 ini pihaknya benar-benar menjaga dan mencegah agar tenaga kesehatan, pasien, peralatan, dan sebagainya tidak terkontaminasi virus corona. “Kami sangat menjaga zona, agar tidak bercampur penanganan pasien non-Covid-19 dengan Covid-19,” jelas Zainal.

Ruangan perawatan bagi pasien Covid-19 terbagi menjadi tiga bagian yaitu untuk kondisi pasien berat, sedang dan ringan. Untuk pasien dengan kondisi berat berada di ruang isolasi bertekanan negatif. “Dari hasil prevalensi yang kita hitung, frekuensinya hampir 50 persen kondisi berat karena rumah sakit ini merupakan rujukan. Memang kita banyak yang pasien kritis dan berat, akan tetapi angka kematiannya kecil sekitar 6 persen. Misalnya, ada 100 yang dirawat, ada 5 hingga 6 pasien yang meninggal. Artinya, angka kesembuhan mencapai lebih dari 90 persen,” terangnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, selain menambah ruang isolasi juga akan menambah 1 unit alat swab PCR. Sebab, dari 2 unit alat swab PCR yang ada saat ini hanya 1 unit yang produktif dikarenakan komponennya terbatas. “Insya Allah akhir bulan ini kita bisa beli 1 unit alat swab PCR,” ucapnya.

Zainal menambahkan, alat swab PCR yang dimiliki tersebut tidak hanya menguji sampel swab pasien RSUPHAM. Melainkan, juga menerima sampel swab dari rumah sakit lain, seperti RSU Martha Friska dan beberapa lainnya. “Rata-rata yang bisa kita kerjakan dari satu alat sekitar 190 sampel swab,” tukasnya. (ris)

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Sumatera Utara melalui Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik (HAM) Medan, tengah mengembangkan penanganan pasien Covid-19 dengan metode convalescent plasma. Metode ini dilakukan dengan cara mentransfer atau memasukkan plasma darah penuh antibodi milik pasien yang telah sembuh, ke tubuh penderita Covid-19.

“TIM yang mengembangkan metode convalescent plasma sudah dibentuk. Rencana ke depan, RSUP H Adam Malik akan menjadi model penanganan efektif untuk kesembuhan pasien Covid-19. Kita akan menjadi pusat plasma compalationn

Baru-baru ini, sudah ada datang staf ahli menteri (kesehatan) untuk menguatkan ini,” ujar Direktur Utama (Dirut) RSUPHAM, dr Zainal Safri SpPD-KKV SpJP (K), saat diwawancarai, Rabu (16/9).

Dijelaskan Zainal, metode convalescent plasma itu adalah mengambil antibodi pasien Covid-19 yang telah sembuh, dan memasukkannya ke tubuh pasien yang terinfeksi virus corona. Sebab, pasien Covid-19 yang sembuh sudah memiliki antibodi sehingga sifatnya dapat menguatkan. “Jadi, convalescent plasma ini mentransfer antibodi, itu sudah dilakukan dan plasmanya dibawa dari RSPAD Gatot Subroto (Jakarta),” terangnya.

Zainal menyebutkan, selama ini pengobatan yang dilakukan di RSUP H Adam Malik terhadap penderita Covid-19 sesuai standar protokol. Untuk yang khusus, ada antivirus aluvia. “Makanya, ke depan kita mau ke metode convalescent plasma,” ucapnya.

Meski demikian, tambah Zainal, sejauh ini dibandingkan angka kematian, persentase kesembuhan pasien Covid-19 yang dirawat di RSUP H Adam Malik mencapai 95%. “Dari rata-rata 100 orang yang dirawat, hanya 5 atau 6 orang yang meninggal,” tandasnya.

Sebelumnya, Prof David Muljono selaku Deputy Director Eijkman Institute of Molecular Biology pada situs pihak Administrasi Obat-obatan dan Pangan AS (FDA) menyebutkan, convalescent plasma sangat mungkin dilakukan termasuk di Indonesia. “Plasma diambil dari darah pasien yang sembuh, tetapi ada kriterianya,” kata David saat webinar yang digelar oleh The Conversation Indonesia bertajuk ‘Mengukur Efektivitas Intervensi Pemerintah dalam Penanganan Covid-19’, April lalu.

Kriteria yang harus dimiliki mantan pasien Covid-19 antara lain usia 18-55 tahun, berat badan lebih dari 50 kilogram, tidak memiliki penyakit penyerta serta mampu mendonorkan darahnya. “RNA (Ribonucleic Acid) pasien harus pernah positif, dengan indikasi pasien tersebut harus yang memiliki progress (penyembuhan) yang cepat dan penyakitnya tidak lebih dari tiga minggu,” paparnya.

Terapi convalescent plasma bukanlah kali pertama dilakukan untuk beberapa jenis penyakit. David menjelaskan, sebelumnya terapi ini dilakukan untuk mengobati penyakit SARS, MERS, hantavirus, dan flu burung. Untuk kasus Covid-19, convalescent plasma pertama kali dipraktekkan di China. “Awalnya ada 5 orang diberi terapi itu di China, kemudian ditambah 10 orang lagi. Kemudian ada 2 orang lagi di China. Itu artinya di dunia sampai saat ini baru ada 17 orang yang diberikan terapi tersebut,” sebut David.

Berdasarkan data terbatas itu, tingkat keberhasilan convalescent plasma memang cukup tinggi. Para pasien di China yang telah diberikan convalescent plasma mengalami penyembuhan yang lebih cepat, serta keparahan yang berkurang terutama pada saluran pernapasan.

Kendati begitu, David mengatakan terlalu dini untuk berkesimpulan seperti itu. Itulah mengapa Infectious Diseases Society of America (IDSA) telah mengeluarkan rekomendasi no 7 yang menyebutkan convalescent plasma bukanlah pengobatan terakhir, dan masih belum banyak pengalaman klinis. “Butuh studi lebih banyak yang diobservasi secara ketat untuk membuktikan efektivitasnya,” pungkas dia.

Tambah 33 Ruang Isolasi

Selain mengembangkan metode convalescent plasma, Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUPHAM) juga kembali melakukan penambahan ruang isolasi bagi pasien Covid-19. Sebanyak 33 ruang isolasi sedang dibangun, yang direncanakan bisa digunakan bulan depan atau Oktober mendatang.

Direktur Utama (Dirut) RSUPHAM, dr Zainal Safri SpPD-KKV SpJP (K) mengatakan, semasa awal penanganan pasien Covid-19 yaitu pada bulan Maret lalu hanya ada 11 ruang isolasi. Namun, seiring berjalannya waktu saat ini sudah bertambah menjadi 65 ruangan. Dengan penambahan ini, maka rumah sakit milik Kementerian Kesehatan tersebut total akan memiliki 98 ruang isolasi khusus untuk pasien sedang dan berat penderita Covid-19.

“Penambahan ruang isolasi tersebut karena memang situasinya lebih sering penuh. Setelah dilakukan rapat direksi, diputuskan untuk menambah sebanyak 33 ruangan kembali,” ungkap Zainal, Rabu (16/9).

Menurut dia, ruangan untuk penanganan pasien Covid-19 dibangun di Instalasi Rindu A. Gedungnya, saat ini sudah 3 lantai. Apabila memang diperlukan lagi untuk ditambah, maka akan dibangun lagi 1 lantai. “Kami sengaja memilih lokasi di sebelah kanan area gedung rumah sakit yaitu di Rindu A. Artinya, secara lokasi berada di pinggir sehingga penanganan pasien non-Covid-19 tidak terkontaminasi dengan pasien Covid-19,” sebut Zainal didampingi Direktur SDM, Pendidikan dan Umum Dr dr Fajrinur MKed (Paru) SpP (K) dan Direktur Keuangan Supomo SE MKes.

Diutarakan Zainal, dalam membangun fasilitas penanganan Covid-19 ini pihaknya benar-benar menjaga dan mencegah agar tenaga kesehatan, pasien, peralatan, dan sebagainya tidak terkontaminasi virus corona. “Kami sangat menjaga zona, agar tidak bercampur penanganan pasien non-Covid-19 dengan Covid-19,” jelas Zainal.

Ruangan perawatan bagi pasien Covid-19 terbagi menjadi tiga bagian yaitu untuk kondisi pasien berat, sedang dan ringan. Untuk pasien dengan kondisi berat berada di ruang isolasi bertekanan negatif. “Dari hasil prevalensi yang kita hitung, frekuensinya hampir 50 persen kondisi berat karena rumah sakit ini merupakan rujukan. Memang kita banyak yang pasien kritis dan berat, akan tetapi angka kematiannya kecil sekitar 6 persen. Misalnya, ada 100 yang dirawat, ada 5 hingga 6 pasien yang meninggal. Artinya, angka kesembuhan mencapai lebih dari 90 persen,” terangnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, selain menambah ruang isolasi juga akan menambah 1 unit alat swab PCR. Sebab, dari 2 unit alat swab PCR yang ada saat ini hanya 1 unit yang produktif dikarenakan komponennya terbatas. “Insya Allah akhir bulan ini kita bisa beli 1 unit alat swab PCR,” ucapnya.

Zainal menambahkan, alat swab PCR yang dimiliki tersebut tidak hanya menguji sampel swab pasien RSUPHAM. Melainkan, juga menerima sampel swab dari rumah sakit lain, seperti RSU Martha Friska dan beberapa lainnya. “Rata-rata yang bisa kita kerjakan dari satu alat sekitar 190 sampel swab,” tukasnya. (ris)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/