
Handoko dan istrinya Fatimah, majikan Sri Muliati, mendatangi Poldasu, Rabu (4/3/2015). Mereka mengatakan, menyimpan gaji Sri selama 6 tahun.
“Saat ini, kami masih mendalaminya lagi dan akan mengembangkan kasusnya. Soal anaknya yang berbohong, itu haknya. Mau kemanapun si Handoko terbang, akan saya tangkap. Kami akan mendalami keterangan dari korban. Kalau memang mengarah ke arah Handoko, dia akan dijerat pasal 88 UU No. 35 tahun 2014 perubahan UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak (eksploitasi ekonomi). Ancama hukuman 10 tahun penjara. Si Handoko pasti kita panggil. Kita sudah meminta keterangan keluarganya dan korban,” tandasnya.
Nyatanya, sudah beberapa kali Handoko datang memenuhi panggilan penyidik. Namun gaung kasus ini tak kencang lagi. Handoko dan istrinya, Fatimah, masih sebatas berstatus saksi.
Terkait kasus ini, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Sumut, Muslim Harahap meminta polisi serius menangani kasus ini.
Dari keterangan penyidik, terangnya, mereka masih memburu Butet dan Dedeh yang bertugas sebagai penyalurnya. Namun, sejauh ini majikan Sri itu belum pernah membayarkan gajinya sampai sekarang. “Gajinya Sri belum jelas juga,” tuturnya, Selasa (17/3).
Ia menjelaskan, untuk masalah gaji, memang orangtua Sri berharap agar Handoko dan Fatimah mau membayarkan gaji anaknya. Namun, pihaknya tidak mencampurinya. “Kita hanya mendampingi korban terkait proses hukumnya,” pungkasnya.
Dalam kasus ini, sambung Muslim, persoalan gaji ada di ranah penyidik. Sebab, penyidiklah yang bisa meminta gaji Sri dari Handoko dan isterinya Fatimah.
“Kita berharap penyidik bisa memproses kasus ini dengan cepat. Dalam pertemuan gugus tugas (KPAID) nanti, masalah ini akan kami munculkan untuk dibahas. “Belum ada panggilan dari penyidik,” tukasnya.
Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat (Kasubbid Penmas) Polda Sumut, AKBP MP Nainggolan ketika dikonfirmasi mengaku kasus ini masih berjalan. “Masih diproses itu. Nanti saya tanyakan kepada penyidiknya,” bebernya.(gib/trg)