28.9 C
Medan
Sunday, June 16, 2024

Tebus Inalum, Sumut Butuh Rp4,45 Triliun

  • Untuk Jatah Saham 60 Persen
  • Gatot: Pinjam dari Bank

MEDAN-Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut setidaknya harus menyiapkan dana segar sebesar Rp3,004 triliun, jika memang benar nantinya mendapat jatah 40 persen saham PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum). Sedang ke-10 kabupaten/kota di sekitar Danau Toba, jika diberi jatah saham 20 persen, harus menyiapkan Rp1,45 triliun. Jika angka itu dibagi 10 kabupaten/kota, maka masing-masing kabupaten/kota harus merogoh Rp145 miliar.
Bila ditotal, Sumut butuh dana Rp4,45 triliun. Angka itu masih merupakan angka minimal, belum termasuk dana yang diperlukan untuk pengembangan Inalum agar bisa mencapai target peningkatan produksi.

Dari mana angka-angka itu? Ketua Otorita Asahan Effendi Sirait dalam sebuah diskusi pertengahan 2010 menjelaskan, pemerintah sudah siap dana jika harus mengambil alih 100 persen saham Inalum. Pemerintah juga sudah membuat kalkulasi kasar.

Effendi Sirait, yang juga anggota tim nego bentukan pemerintah, saat itu menyebutkan, aset Inalum kini sekitar 1,2 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, uang cash yang menjadi hak pemerintah RI mencapai 627 juta dollar AS. Sedang untuk mengambil alih semuanya dibutuhkan dana 726 juta dollar AS. Kekurangannya ditaksir 220 juta dollar AS, itu sudah termasuk dana operasional dan lain-lain.

Maka, hitungan kasar, jika Pemprov Sumut mendapat jatah 40 persen saham, maka logikanya dihitung dari angka 726 juta dollar AS, atau jatuhnya 300,4 juta dollar AS. Dengan kurs Rp10 ribu per dollar, nilainya Rp3,004 triliun. Sedang 10 kabupaten/kota harus siap 145,2 juta dollar AS atau setara Rp1,45 triliun. Jadi, masing-masing harus siap Rp145 miliar.

Effendi Sirait menjelaskan angka-angka itu saat menjadi pembicara di seminar bertema “Pengelolaan Saham Inalum: Oleh Negara untuk Rakyat” di gedung DPR, Senayan, Jakarta, 23 Juni 2010. Saat itu, Effendi Sirait juga menjelaskan, angka-angka tersebut merupakan angka taksiran minimal. Untuk modal pengembangan Inalum pasca putus kontrak 2013, diperlukan modal yang lebih besar lagi.

Kata Effendi Sirait, tidak mungkin kapasitas produksi alumuniumnya stagnan, yakni 225.000 ton per tahun. Paling tidak, ke depan harus bisa dua kali lipat. “Dan itu memerlukan dana besar,” ujar Effendi Sirait.

Sebagai gambaran dana tambahan yang diperlukan untuk pengembangan, dalam proposalnya, Jepang ingin melanjutkan kontrak, dengan menawarkan akan mengucurkan dana tambahan 367 juta dollar AS. Selain itu, dalam proposalnya, Jepang juga siap mambantu pembangunan PLTA-PLTA yang baru di kawasan Danau Toba. “Kesiapan membantu itu di luar yang 367 juta dollar AS,” ujar Sirait. Dengan demikian, dana yang harus dikucurkan oleh pemprov dan 10 kabupaten/kota, bisa membengkak sekitar  separohnya lagi.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri, Yuswandi A Tumenggung menjelaskan Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota yang berada di sekitar danau Toba harus membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) jika ingin dilibatkan mengelola Inalum pasca 2013. Pasalnya, hanya BUMD yang boleh terlibat dalam bisnis.
Alasannya, kata Yuswandi menjelaskan, pengelolaan Inalum merupakan ranah bisnis. “Pemda tak boleh bisnis. Harus lewat BUMD. BUMD merupakan aset yang dipisahkan. Pemda menyertakan modal ke BUMD, lantas BUMD yang menjalankan bisnis dengan BUMN (yang nantinya menaungi Inalum, red). Ini bisnis to bisnis,” terang Yuswandi A Tumenggung kepada koran ini di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Jika Inalum mendapatkan keuntungan, maka BUMD milik pemda itu akan mendapatkan deviden, yang selanjutnya masuk sebagai pendapatan pemda. Untuk bisa menyertakan modal ke BUMD yang akan terlibat mengelola BUMN, harus ada perda sebagai payung hukumnya.

Dengan dasar penjelasan tersebut, Yuswandi berpendapat, gagasan pemda menggandeng swasta dalam pengelolaan Inalum, tidak tepat. Alasannya, bisnis itu harus dengan penyertaan modal pemda. “Jika pemda melibatkan swasta, bagaimana penyertaan modalnya dan bagaimana dengan devidennya? Masuk ke mana devidennya itu?” terang Yuswandi.

Ke-10 pemkab/kota itu terdiri tujuh kabupaten/kota yang bersentuhan langsung dengan kawasan Danau Toba, yakni Taput, Tobasa, Samosir, Humbahas, Simalungun, Karo, dan Dairi. Sedang tiga kabupaten/kota di bagian hilir Danau Toba yakni Asahan, Batubara, dan Kota Tanjung Balai.

Bisakah Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota itu membentuk satu BUMD saja untuk bisa dilibatkan mengelola Inalum? Yuswandi mengatakan tidak bisa. Dalihnya, BUMD merupakan milik suatu daerah sebagai sebuah daerah otonom. “Masing-masing pemda itu harus membuat BUMD sendiri-sendiri, dengan besaran penyertaan modal yang bisa saja berbeda-beda. Buat saja lah BUMD, apa susahnya,” cetus Yuswandi.

Gatot Bantah Hatta Rajasa

Pelaksana Tugas Gubernur Sumut (Plt Gubsu) Gatot Pujo Nugroho membantah pernyataan Menteri Perekonomian Hatta Rajasa terkait share saham Inalum, dimana Hatta Rajasa menyatakan, tidak pernah memperbincangkan persoalan bagi-bagi saham dengan Gatot. Bantahan Gatot ditegaskan saat dikonfirmasi Sumut Pos di rumah dinasnya di Taman Setia Budi Indah Blok YY No 29 Medan, Sabtu malam (16/4) seusai acara jamuan makan malam bersama sutradara Film Tanda Tanya Hanung Bramantyo.

Kembali ditegaskan Gatot, dia mendiskusikan persoalan Inalum saat bertemu di acara alumni IPB beberapa waktu lalu. Bahkan, Gatot menegaskan, perbincangan persoalan share saham Inalum tersebut dikemukakannya kepada Hatta saat sedang satu meja makan pada acara itu.

“Saya tidak tahu, mungkin Pak Hatta terlupa. Tapi seingat saya, saat table manner. Di saat itu, saya sampaikan Inalum ditake over oleh pemerintah adalah baik. Waktu itu saya bilang, kenapa kok Pemerintah Provinsi Sumut tidak dilibatkan dalam proses negosiasi. Nah respon Pak Hatta waktu itu, bukan persoalan negosiasi tapi persoalan take over di Tahun 2013 mendatang dan dalam pengelolaannya nanti melibatkan pemerintah daerah,” terangnya.
Kemudian dia memberikan penawaran mengenai persentase pengelolaan. “Mengenai persentase pengelolaan memang domain pemerintah pusat. Tapi, apa yang saya tawarkan adalah sebuah bentuk harapan. Dan itu kita pikir proporsional. Pemerintah pusat dapat 40 persen, Pemprovsu dapat 20 persen dan kabupaten/kota dapat 40 persen,” tegasnya.

Pernyataan Gatot juga dibenarkan Wakil Ketua DPRD Sumut Chaidir Ritonga yang saat itu juga hadir. “Tawaran proporsional dan relevan,” katanya.Gatot menambahkan, kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah, akan membuat fungsi koordinasi pengelolaan Inalum lebih baik. Ini juga untuk menghapus kesan bahwa Sumut tidak mampu mengelola Inalum.

“Ada imej di masyarakat, kita tidak bisa mengelolanya. Seperti ini, saat ini saham pemerintah di Inalum sebesar 42 persen. Sementara kontrak Jepang dengan Inalum berkahir 2013 mendatang. Kalau kemudian di-take over dan Pemerintah Sumut diberikan saham pengelolaan itu, saya pikir kita tidak perlu hutang untuk menanam saham. Saya juga sudah diskusi dengan pihak Inalum. Dan jawabannya, Sumut tidak perlu hutang untuk menanam saham di Inalum,” tuturnya.

Dijelaskannya, Pemerintah Sumut hanya membutuhkan modal awal saja. “Kita hanya butuh modal awal, dan itu akan kita jalin dengan pihak perbankan,” tegasnya.

Pengamat ekonomi asal Universitas Sumatera Utara (USU) John Tafbu Ritonga menilai, pernyataan Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu Gatot Pujo Nugroho adalah sebuah pernyataan yang perlu dipertanyakan realisasinya ke depan. “Persoalan Inalum ini adalah aspirasi bersama. Ini persoalan ambil alih saham, perlu dana triliunan. Siapa yang akan membayar, apakah pemerintah provinsi atau kabupaten/kota? Bagaimana dengan pusat sendiri. Saya pikir, untuk mengelola Inalum, belum tentu Indonesia bisa,” katanya.

John mengingatkan, saat ini perekonomian di Sumut tidak stabil. Hal itu ditandai dengan banyaknya perusahaan daerah di Sumut yang kekurangan modal. Ditambah lagi dengan persoalan disharmonisasi antara eksekutif dengan legislatif, yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempersulit pengelolaan Inalum nantinya.
“Sekarang timbul pertanyaan, apa sangat diperlukan menyertakan modal ke Inalum sebesar 60 persen dan apakah lebih penting menyertakan modal ke perusahaan daerah? Memang, kalau soal logis dan tidaknya, tergantung kesepahaman. Tapi, nanti dikhawatirkan muncul persepsi Sumut ini Nafsu Besar Tenaga Kurang,” tegasnya.(sam/ari)

  • Untuk Jatah Saham 60 Persen
  • Gatot: Pinjam dari Bank

MEDAN-Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumut setidaknya harus menyiapkan dana segar sebesar Rp3,004 triliun, jika memang benar nantinya mendapat jatah 40 persen saham PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum). Sedang ke-10 kabupaten/kota di sekitar Danau Toba, jika diberi jatah saham 20 persen, harus menyiapkan Rp1,45 triliun. Jika angka itu dibagi 10 kabupaten/kota, maka masing-masing kabupaten/kota harus merogoh Rp145 miliar.
Bila ditotal, Sumut butuh dana Rp4,45 triliun. Angka itu masih merupakan angka minimal, belum termasuk dana yang diperlukan untuk pengembangan Inalum agar bisa mencapai target peningkatan produksi.

Dari mana angka-angka itu? Ketua Otorita Asahan Effendi Sirait dalam sebuah diskusi pertengahan 2010 menjelaskan, pemerintah sudah siap dana jika harus mengambil alih 100 persen saham Inalum. Pemerintah juga sudah membuat kalkulasi kasar.

Effendi Sirait, yang juga anggota tim nego bentukan pemerintah, saat itu menyebutkan, aset Inalum kini sekitar 1,2 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, uang cash yang menjadi hak pemerintah RI mencapai 627 juta dollar AS. Sedang untuk mengambil alih semuanya dibutuhkan dana 726 juta dollar AS. Kekurangannya ditaksir 220 juta dollar AS, itu sudah termasuk dana operasional dan lain-lain.

Maka, hitungan kasar, jika Pemprov Sumut mendapat jatah 40 persen saham, maka logikanya dihitung dari angka 726 juta dollar AS, atau jatuhnya 300,4 juta dollar AS. Dengan kurs Rp10 ribu per dollar, nilainya Rp3,004 triliun. Sedang 10 kabupaten/kota harus siap 145,2 juta dollar AS atau setara Rp1,45 triliun. Jadi, masing-masing harus siap Rp145 miliar.

Effendi Sirait menjelaskan angka-angka itu saat menjadi pembicara di seminar bertema “Pengelolaan Saham Inalum: Oleh Negara untuk Rakyat” di gedung DPR, Senayan, Jakarta, 23 Juni 2010. Saat itu, Effendi Sirait juga menjelaskan, angka-angka tersebut merupakan angka taksiran minimal. Untuk modal pengembangan Inalum pasca putus kontrak 2013, diperlukan modal yang lebih besar lagi.

Kata Effendi Sirait, tidak mungkin kapasitas produksi alumuniumnya stagnan, yakni 225.000 ton per tahun. Paling tidak, ke depan harus bisa dua kali lipat. “Dan itu memerlukan dana besar,” ujar Effendi Sirait.

Sebagai gambaran dana tambahan yang diperlukan untuk pengembangan, dalam proposalnya, Jepang ingin melanjutkan kontrak, dengan menawarkan akan mengucurkan dana tambahan 367 juta dollar AS. Selain itu, dalam proposalnya, Jepang juga siap mambantu pembangunan PLTA-PLTA yang baru di kawasan Danau Toba. “Kesiapan membantu itu di luar yang 367 juta dollar AS,” ujar Sirait. Dengan demikian, dana yang harus dikucurkan oleh pemprov dan 10 kabupaten/kota, bisa membengkak sekitar  separohnya lagi.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Keuangan Daerah Kemendagri, Yuswandi A Tumenggung menjelaskan Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota yang berada di sekitar danau Toba harus membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) jika ingin dilibatkan mengelola Inalum pasca 2013. Pasalnya, hanya BUMD yang boleh terlibat dalam bisnis.
Alasannya, kata Yuswandi menjelaskan, pengelolaan Inalum merupakan ranah bisnis. “Pemda tak boleh bisnis. Harus lewat BUMD. BUMD merupakan aset yang dipisahkan. Pemda menyertakan modal ke BUMD, lantas BUMD yang menjalankan bisnis dengan BUMN (yang nantinya menaungi Inalum, red). Ini bisnis to bisnis,” terang Yuswandi A Tumenggung kepada koran ini di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Jika Inalum mendapatkan keuntungan, maka BUMD milik pemda itu akan mendapatkan deviden, yang selanjutnya masuk sebagai pendapatan pemda. Untuk bisa menyertakan modal ke BUMD yang akan terlibat mengelola BUMN, harus ada perda sebagai payung hukumnya.

Dengan dasar penjelasan tersebut, Yuswandi berpendapat, gagasan pemda menggandeng swasta dalam pengelolaan Inalum, tidak tepat. Alasannya, bisnis itu harus dengan penyertaan modal pemda. “Jika pemda melibatkan swasta, bagaimana penyertaan modalnya dan bagaimana dengan devidennya? Masuk ke mana devidennya itu?” terang Yuswandi.

Ke-10 pemkab/kota itu terdiri tujuh kabupaten/kota yang bersentuhan langsung dengan kawasan Danau Toba, yakni Taput, Tobasa, Samosir, Humbahas, Simalungun, Karo, dan Dairi. Sedang tiga kabupaten/kota di bagian hilir Danau Toba yakni Asahan, Batubara, dan Kota Tanjung Balai.

Bisakah Pemprov Sumut dan 10 kabupaten/kota itu membentuk satu BUMD saja untuk bisa dilibatkan mengelola Inalum? Yuswandi mengatakan tidak bisa. Dalihnya, BUMD merupakan milik suatu daerah sebagai sebuah daerah otonom. “Masing-masing pemda itu harus membuat BUMD sendiri-sendiri, dengan besaran penyertaan modal yang bisa saja berbeda-beda. Buat saja lah BUMD, apa susahnya,” cetus Yuswandi.

Gatot Bantah Hatta Rajasa

Pelaksana Tugas Gubernur Sumut (Plt Gubsu) Gatot Pujo Nugroho membantah pernyataan Menteri Perekonomian Hatta Rajasa terkait share saham Inalum, dimana Hatta Rajasa menyatakan, tidak pernah memperbincangkan persoalan bagi-bagi saham dengan Gatot. Bantahan Gatot ditegaskan saat dikonfirmasi Sumut Pos di rumah dinasnya di Taman Setia Budi Indah Blok YY No 29 Medan, Sabtu malam (16/4) seusai acara jamuan makan malam bersama sutradara Film Tanda Tanya Hanung Bramantyo.

Kembali ditegaskan Gatot, dia mendiskusikan persoalan Inalum saat bertemu di acara alumni IPB beberapa waktu lalu. Bahkan, Gatot menegaskan, perbincangan persoalan share saham Inalum tersebut dikemukakannya kepada Hatta saat sedang satu meja makan pada acara itu.

“Saya tidak tahu, mungkin Pak Hatta terlupa. Tapi seingat saya, saat table manner. Di saat itu, saya sampaikan Inalum ditake over oleh pemerintah adalah baik. Waktu itu saya bilang, kenapa kok Pemerintah Provinsi Sumut tidak dilibatkan dalam proses negosiasi. Nah respon Pak Hatta waktu itu, bukan persoalan negosiasi tapi persoalan take over di Tahun 2013 mendatang dan dalam pengelolaannya nanti melibatkan pemerintah daerah,” terangnya.
Kemudian dia memberikan penawaran mengenai persentase pengelolaan. “Mengenai persentase pengelolaan memang domain pemerintah pusat. Tapi, apa yang saya tawarkan adalah sebuah bentuk harapan. Dan itu kita pikir proporsional. Pemerintah pusat dapat 40 persen, Pemprovsu dapat 20 persen dan kabupaten/kota dapat 40 persen,” tegasnya.

Pernyataan Gatot juga dibenarkan Wakil Ketua DPRD Sumut Chaidir Ritonga yang saat itu juga hadir. “Tawaran proporsional dan relevan,” katanya.Gatot menambahkan, kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah, akan membuat fungsi koordinasi pengelolaan Inalum lebih baik. Ini juga untuk menghapus kesan bahwa Sumut tidak mampu mengelola Inalum.

“Ada imej di masyarakat, kita tidak bisa mengelolanya. Seperti ini, saat ini saham pemerintah di Inalum sebesar 42 persen. Sementara kontrak Jepang dengan Inalum berkahir 2013 mendatang. Kalau kemudian di-take over dan Pemerintah Sumut diberikan saham pengelolaan itu, saya pikir kita tidak perlu hutang untuk menanam saham. Saya juga sudah diskusi dengan pihak Inalum. Dan jawabannya, Sumut tidak perlu hutang untuk menanam saham di Inalum,” tuturnya.

Dijelaskannya, Pemerintah Sumut hanya membutuhkan modal awal saja. “Kita hanya butuh modal awal, dan itu akan kita jalin dengan pihak perbankan,” tegasnya.

Pengamat ekonomi asal Universitas Sumatera Utara (USU) John Tafbu Ritonga menilai, pernyataan Pelaksana Tugas (Plt) Gubsu Gatot Pujo Nugroho adalah sebuah pernyataan yang perlu dipertanyakan realisasinya ke depan. “Persoalan Inalum ini adalah aspirasi bersama. Ini persoalan ambil alih saham, perlu dana triliunan. Siapa yang akan membayar, apakah pemerintah provinsi atau kabupaten/kota? Bagaimana dengan pusat sendiri. Saya pikir, untuk mengelola Inalum, belum tentu Indonesia bisa,” katanya.

John mengingatkan, saat ini perekonomian di Sumut tidak stabil. Hal itu ditandai dengan banyaknya perusahaan daerah di Sumut yang kekurangan modal. Ditambah lagi dengan persoalan disharmonisasi antara eksekutif dengan legislatif, yang secara langsung maupun tidak langsung akan mempersulit pengelolaan Inalum nantinya.
“Sekarang timbul pertanyaan, apa sangat diperlukan menyertakan modal ke Inalum sebesar 60 persen dan apakah lebih penting menyertakan modal ke perusahaan daerah? Memang, kalau soal logis dan tidaknya, tergantung kesepahaman. Tapi, nanti dikhawatirkan muncul persepsi Sumut ini Nafsu Besar Tenaga Kurang,” tegasnya.(sam/ari)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/