Nasionalisasi PT Inalum Butuh Rp6,192 T
MEDAN-Pemprovsu bersama 10 kabupaten/kota harus menggelar konsorsium dalam usaha mendapatkan 60 persen saham di PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum) pasca penyerahan perusahaan tersebut oleh pihak Jepang kepada Indonesia.
Untuk menggelar konsorsium dibutuhkan dana yang tak sedikit. Menteri BUMN Mustafa Abubakar mengatakan, untuk mengambil alih saham NAA (Nippon Asahan Alumminium) besarnya 58,9 persen, dibutuhkan dana sekitar 720 juta dolar AS. Bila dirupiahkan dengan kurs Rp8.600 per dolar, nilainya mencapai Rp6,192 triliun.
Nah, langkah konkrit dan riil yang dapat dilakukan Pemprovsu dan 10 kabupaten/kota dengan cara yang paling mudah adalah menggunakan dana silpa. “Ini suatu hal sangat mudah,” terang anggota dewan dari Fraksi PKS, Amsal, Jumat (17/6).
Lebih lanjut anggota pansus PT Inalum ini menjelaskan, Pemprovsu beserta 10 kabupaten/kota tersebut dapat melakukan pemakaian dana sisa lebih penggunaan anggaran (silpa) asal tetap bisa menekan jumlah dana silpa pada tahun berikutnya. “Saya rasa hal itu tak akan mengganggu anggaran. Karena silpa itu kan sisa anggaran yang tak terpakai pada akhir tahun dan dapat digunakan pada tahun berikutnya. Tapi, jika memakai anggaran tersebut, Pemprovsu dan 10 kabupaten/kota harus mampu menekan dana silpa untuk tahun berikutnya,” katanya.
Dengan begitu, sambungnya, pemerintah pusat dapat melihat keseriusan pihak Pemprovsu dan 10 kabupaten/kota yang ingin mengelola PT Inalum tersebut. “Jadi kita bisa membuktikan kepada pemerintah pusat, bukan sekedar omongan saja,” jelas Amsal.
Atau bisa dengan cara diberikan cuma-cuma oleh negara kepada Pemprovsu dan 10 kabupaten/kota. “Namun, hal ini bukan semata-mata dilihat dari tinjauan bisnis. Ya kalau mau beli lah. Cara lain adalah dengan membayar belakangan, nantinya baru dibayar dari perolehan keuntungan dari saham,” tutur Amsal lagi.
Sebenarnya, menurut Amsal, Pemprovsu bersama 10 kabupaten/kota ini layak mendapatkan asset tersebut dan itu dapat dilakukan. “Karena ini merupakan SDA yang ada di Sumut. Sudah sepatutnya dikelola oleh Sumut, kan lucu kalau dikelola daerah lain. Karena pemerintah pusat sempat mewacanakan untuk mentenderkan perusahaan ini agar dapat dikelola daerah lain. Tentunya kalau ini dilakukan, bukan hanya tak adil, tapi juga kita bisa kehilangan kesempatan untuk mengelola asset yang cukup potensial,” ujarnya.
Jadi, Pemprovsu beserta 10 kabupaten/kota ini harus menunjukkan keseriusan kepada pihak pusat. Bisa dengan menampung pernyataan-pernyataan masyarakat yang menginginkan dikelolanya perusahaan tersebut, pemda dan seluruh unsur terkait di Sumut. “Jadi, Pemprovsu beserta 10 kabupaten/kota ini harus bisa mempertimbangkan cara dengan sebaik-baiknya. Kita harus membangun wacana kepada seluruh elemen masyarakat maupun pemerintah, kalau Sumut memang memerlukan saham di perusahaan tersebut pasca penyerahan oleh pihak Jepang,” ungkap Amsal.
Pemerintah pusat juga harus komitmen dengan kebijakan-kebijakan yang telah disampaikan. “Pemerintah harus membiarkan Pemda yang mengelola perusahaan tersebut nantinya. Jadi harus sama-sama jujur. Pemda berusaha semaksimal mungkin mendapatkan dana untuk menggelar konsorsium, dan pemerintah pusat juga berkomitmen menyerahkan pengelolaan ke Pemda. Jangan setelah diserahkan pemerintah Jepang akhirnya pemerintah pusat malah menutup kemungkinan untuk Pemprovsu dan 10 kabupaten/kota mengelola perusahaan itu,” harapnya. (saz)