26 C
Medan
Friday, November 22, 2024
spot_img

Orangtua Nab Tempuh Jalur Hukum

Foto: Gatha Ginting/PM Suasana di SD Negeri Percobaan, Jalan Sei Petani Medan. Di sekolah ini, dua murid perempuan menyiksa teman sekelasnya secara seksual.
Foto: Gatha Ginting/PM
Suasana di SD Negeri Percobaan, Jalan Sei Petani Medan. Di sekolah ini, dua murid perempuan menyiksa teman sekelasnya secara seksual.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Orangtua Nab (9), korban kekerasan seksual di SD Negeri Percobaan Medan tampaknya tak main-main terhadap kasus yang menimpa buah hatinya. Setelah melaporkan peristiwa itu ke Polresta Medan melalui Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) pada Selasa (14/10) kemarin, pihak keluarga pun segera menunjuk kuasa hukum guna menuntaskan kasus tersebut.

Hal itu dilakukan lantaran beberapa kali upaya mediasi yang dilakukan pihak sekolah, tak kunjung menemukan kata sepakat. Di samping tidak tegasnya Kepala Sekolah dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan dalam menyikapi persoalan ini, keluarga yang diduga pelaku yakni Irwansyah Harahap terkesan menganggap sepele kejadian tersebut.

“Saya kepingin pelakunya dikeluarkan dari sekolah. Masa kasus ini dianggap sepele. Kami akan segera menunjuk kuasa hukum,” kata Sri, orangtua Nab usai pertemuan dengan pihak sekolah, Jumat (17/10).

Syasa, tante korban mengatakan, langkah strategis yang sebelumnya dilakukan Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan Marasutan Siregar bersama pihak sekolah, inspektorat dan komite sekolah dengan memanggil kedua belah, kemudian membuat perjanjian dan jika melakukan perbuatan yang sama akan memanggil orangtua justru dinilai bukan solusi tepat. Dia bahkan menganggap bahasa sang kadis seperti orang yang tidak mengerti persoalan.

“Itu kepala dinas ngerti masalah gak? Kalau enggak ngerti mending diam aja. Masa itu dikatakan sebagai upaya strategis yang mau dilakukannya? Copot sajalah kepala dinas itu,” sesalnya.

Hal itu kata dia mengisyaratkan Marasutan tidak memahami prilaku dan psikologi anak, terutama yang jadi korban kekerasan. “Kepada DPRD kami minta juga harus tergerak hatinya. Ini bukan kasus kecil. Ini kasus besar di mana anak bangsa yang menyimpang dan harus disekapi tegas para pemimpin di kota ini,” ungkapnya.

Dia beranggapan peran tenaga pendidik termasuk kepala dinas sangat lambat mengambil solusi atau penanggulangan dalam kasus ini. “Jadi kami tak mengerti apa yang mereka pikirkan. Kok bahasanya cuma ditegur saja, tanpa ada penanggulangan yang dilakukan. Kemudian bagaimana psikologis si anak, juga harus dipikirkan. Berarti gak pantas mereka jadi pendidik bukan?” ungkapnya.

Ia mengatakan tidak pantas saja selevel kepala dinas mengatakan kalau anak tersebut mengulangi perbuatannya sekali lagi, maka akan dipulangkan kepada orangtuanya. Kemudian bahasa wali kota yang akan menegur keras kepala sekolah juga rancu menurut pihaknya. “Bahasa itu sangat nyakiti hati rakyat. Makanya kalau gak pandai ngomong, mending diam saja,” tegas Saysa.

Menurut dia faktor psikologis anak menjadi poin terpenting yang harus diperhatikan. Sebab jika mereka masih berada dalam satu lokal dan anak yang dianggap pelaku masih bersekolah, adakah yang menjamin prilaku seperti itu tidak terulang lagi.

“Belajarlah para pemimpin-pemimpin kita ini menjadi orangtua. Belajarlah bagaimana memahami prilaku anak itu mana yang normal dan abnormal,” ujar dia. Pihaknya beber Sasa, akan melakukan segala upaya agar kasus ini mendapat titik terang. Artinya, tuntutan mereka agar anak (pelaku) dipindahkan dari sekolah, benar-benar dapat terealisasi.

“Ke jalur manapun akan kita tempuh. Kalau bisa dewan-dewan itu juga tergerak menyelesaikan persoalan ini,” ucapnya. Mengenai upaya mediasi kembali yang akan dilakukan pihak sekolah, dia menolak wacana tersebut.

Menurutnya pihak-pihak terkait tidak mengerti langkah apa yang harus diambil. “Yang ingin mereka lakukan itu bagaimana mereka nyaman dan masalah ini selesai. Bukan bagaimana menanggulangi supaya persoalan ini tidak terjadi lagi. Masa wali kota ngomongnya akan menegur keras kepala sekolah? Bukan itu yang kami mau. Jadi kami anggap itu hanya bahasa-bahasa kiasan saja. Ya dipanggil para pakar psikolog yang paham permasalahan itu,” pungkasnya.

Foto: Gatha Ginting/PM Suasana di SD Negeri Percobaan, Jalan Sei Petani Medan. Di sekolah ini, dua murid perempuan menyiksa teman sekelasnya secara seksual.
Foto: Gatha Ginting/PM
Suasana di SD Negeri Percobaan, Jalan Sei Petani Medan. Di sekolah ini, dua murid perempuan menyiksa teman sekelasnya secara seksual.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Orangtua Nab (9), korban kekerasan seksual di SD Negeri Percobaan Medan tampaknya tak main-main terhadap kasus yang menimpa buah hatinya. Setelah melaporkan peristiwa itu ke Polresta Medan melalui Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) pada Selasa (14/10) kemarin, pihak keluarga pun segera menunjuk kuasa hukum guna menuntaskan kasus tersebut.

Hal itu dilakukan lantaran beberapa kali upaya mediasi yang dilakukan pihak sekolah, tak kunjung menemukan kata sepakat. Di samping tidak tegasnya Kepala Sekolah dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan dalam menyikapi persoalan ini, keluarga yang diduga pelaku yakni Irwansyah Harahap terkesan menganggap sepele kejadian tersebut.

“Saya kepingin pelakunya dikeluarkan dari sekolah. Masa kasus ini dianggap sepele. Kami akan segera menunjuk kuasa hukum,” kata Sri, orangtua Nab usai pertemuan dengan pihak sekolah, Jumat (17/10).

Syasa, tante korban mengatakan, langkah strategis yang sebelumnya dilakukan Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan Marasutan Siregar bersama pihak sekolah, inspektorat dan komite sekolah dengan memanggil kedua belah, kemudian membuat perjanjian dan jika melakukan perbuatan yang sama akan memanggil orangtua justru dinilai bukan solusi tepat. Dia bahkan menganggap bahasa sang kadis seperti orang yang tidak mengerti persoalan.

“Itu kepala dinas ngerti masalah gak? Kalau enggak ngerti mending diam aja. Masa itu dikatakan sebagai upaya strategis yang mau dilakukannya? Copot sajalah kepala dinas itu,” sesalnya.

Hal itu kata dia mengisyaratkan Marasutan tidak memahami prilaku dan psikologi anak, terutama yang jadi korban kekerasan. “Kepada DPRD kami minta juga harus tergerak hatinya. Ini bukan kasus kecil. Ini kasus besar di mana anak bangsa yang menyimpang dan harus disekapi tegas para pemimpin di kota ini,” ungkapnya.

Dia beranggapan peran tenaga pendidik termasuk kepala dinas sangat lambat mengambil solusi atau penanggulangan dalam kasus ini. “Jadi kami tak mengerti apa yang mereka pikirkan. Kok bahasanya cuma ditegur saja, tanpa ada penanggulangan yang dilakukan. Kemudian bagaimana psikologis si anak, juga harus dipikirkan. Berarti gak pantas mereka jadi pendidik bukan?” ungkapnya.

Ia mengatakan tidak pantas saja selevel kepala dinas mengatakan kalau anak tersebut mengulangi perbuatannya sekali lagi, maka akan dipulangkan kepada orangtuanya. Kemudian bahasa wali kota yang akan menegur keras kepala sekolah juga rancu menurut pihaknya. “Bahasa itu sangat nyakiti hati rakyat. Makanya kalau gak pandai ngomong, mending diam saja,” tegas Saysa.

Menurut dia faktor psikologis anak menjadi poin terpenting yang harus diperhatikan. Sebab jika mereka masih berada dalam satu lokal dan anak yang dianggap pelaku masih bersekolah, adakah yang menjamin prilaku seperti itu tidak terulang lagi.

“Belajarlah para pemimpin-pemimpin kita ini menjadi orangtua. Belajarlah bagaimana memahami prilaku anak itu mana yang normal dan abnormal,” ujar dia. Pihaknya beber Sasa, akan melakukan segala upaya agar kasus ini mendapat titik terang. Artinya, tuntutan mereka agar anak (pelaku) dipindahkan dari sekolah, benar-benar dapat terealisasi.

“Ke jalur manapun akan kita tempuh. Kalau bisa dewan-dewan itu juga tergerak menyelesaikan persoalan ini,” ucapnya. Mengenai upaya mediasi kembali yang akan dilakukan pihak sekolah, dia menolak wacana tersebut.

Menurutnya pihak-pihak terkait tidak mengerti langkah apa yang harus diambil. “Yang ingin mereka lakukan itu bagaimana mereka nyaman dan masalah ini selesai. Bukan bagaimana menanggulangi supaya persoalan ini tidak terjadi lagi. Masa wali kota ngomongnya akan menegur keras kepala sekolah? Bukan itu yang kami mau. Jadi kami anggap itu hanya bahasa-bahasa kiasan saja. Ya dipanggil para pakar psikolog yang paham permasalahan itu,” pungkasnya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/