SUMUTPOS.CO – Setelah erupsi pada 3 November lalu, sejumlah desa yang terletak radius 3 kilometer dari Gunung Sina-bung terlihat sepi. Ratusan rumah penduduk terkun-ci rapat. Tak ada hiruk-pikuk seperti biasanya. Ada belasan kepala keluarga dan pemuda desa yang berjaga-jaga.
Tak ada yang tahu dibalik perkampungan yang terkesan ‘mati’ itu ternyata adan
seorang peempuan yang justeru memilih tetap bekerja.
Saat itu Sumut Pos menyusuri sejumlah desa yang dikosongkan, diantaranya Desa Berastepu, Kecamatan Simpangempat. Lebih dari tiga truk memasuki desa yang diimbau segera dikosongkan itu. Setelah diikuti ternyata truk tersebut mengambil pasir dan batu dari Pantai Rumah Sendi yang dikumpulkan oleh beberapa buruh penambang pasir dan batu. Di antara sekian banyak buruh itu ada seorang perempuan bernama Wati (33).
Warga Sei Buluh, Perbaungan, yang merantau ke Tanahkaro tiga tahun lalu itu menjadi satu-satunya buruh perempuan di lokasi rawan tersebut. Wati tak sendiri. Anak pertamanya Yuda (15) juga ikut membantu.
Saat ribuan masyarakat mengungsi, Wati memilih tinggal dikontrakkan dan bekerja memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meskipun diimbau mengungsi, Wati dan sejumlah buruh lainnya nekat tinggal untuk bekerja.
Jarak Desa Berastepu ke Gunung Sinabung memang melebihi tiga kilometer. Akan tetapi tetap saja desa itu dikategorikan wilayah rawan oleh Tim Tanggap Darurat Dandim 0205 Tanahkaro.
Mengenakan sepatu boot, Wati terlihat lincah memindahkan pasir ke beko untuk selanjutnya diangkut ke dalam truk. Ia melakukan hal yang sama untuk mengumpulkan sirtu (batu kerikil). Yuda, si anak yang putus sekolah itu, ikut membantunya mengangkut pasir ke atas truk.
Hasil tambang ini dibagi-bagi oleh pemilik lahan. Sehari bila cuaca bersahabat Wati bisa membawa uang hingga Rp100 ribu hingga Rp200 ribu. Pendapatan itu juga tak sepenuhnya dapat ia terima. Pasalnya, dia juga harus membeli bensin untuk mesin pompa air yang airnya dialirkan di tanah bekas erupsi agar lebih mudah diangkut.
Areal pertambangan pasir dan sirtu yang terletak tak jauh dari kaki Gunung Sinabung diperkirakan hasil erupsi ribuan tahun lalu. Hal ini bisa dilihat dari batang pohon kokoh yang muncul dari dasar tanah yang ditambang.
Membayangkan erupsi yang rawan menimbun puluhan pohon itu, Wati mengaku cukup takut. Dia tetap memilih bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.
“Membayangkannya takut juga. Kalau nanti erupsi bisa kayak gitu juga. Tapi ya, berdoa aja. Semoga nggak terjadi apa-apa. Kami di sini mengontrak. Jadi mau gak mau harus kerja cari duit,” ujar ibu tiga anak ini.
Menjadi penambang pasir dan sirtu memang bukan pekerjaan lazim bagi seorang perempuan. Tapi Wati mengaku menikmati pekerjaan tersebut. Begitupun apa pun beratnya pekerjannya, dia mengaku Wati berusaha melakoni.
“Kalau kerja berat begini udah biasa. Saya dulu ikut nenek saya di Pekanbaru menderes sawit, mengutip biji sawit, sampai jualan roti,” ujar perempuan yang suaminya juga ikut bekerja sebagai supir truk pengangkut pasir dan sirtu.
“Anak saya ikut suami. Dia ngawani bapaknya nyupir. Sekitar jam 1 suami saya bawa truk untuk angkut pasir dan batu. Sejak kecil anak-anak kami ajarkan bekerja. Saya ajari masak air, nasi, nyuci pakaian, dan kerja rumahan,” ujarnya.
Wati ingin pada masa tuanya memiliki tempat tinggal sendiri. Alasan itu pula yang membuatnya nekat bekerja, meskipun terkadang suara gemuruh Gunung Sinabung menggentarkan hatinya. “Saya pelan-pelan simpan uang untuk menyicil tanah yang sudah saya beli di Binjai. Ada satu pertapakan buat masa tua nanti,” katanya terseyum.
Meliala, pemilik areal pertambangan, mengakui Wati sudah tiga tahun ikut bekerja dengannya. Meliala juga mengaku terpaksa bekerja di lokasi rawan tersebut karena harus membayar kebutuhan sekolah empat anaknya, disamping tanggungjawab menggaji para pekerjanya.
“Ketika tanggal 3 November Gunung Sinabung erupsi lagi, kami juga diimbau untuk mengungsi. Tapi yang kami lihat erupsinya cuma debu dan batu kecil. Tapi kami kan sudah biasa berhadapan dengan batu besar. Sebagian ada jutga memilih tak bekerja, tapi terserah saja. Saya tak pernah memaksa,” ujar Meliala.
Meliala meyakinkan erupsi yang menghasilkan debu vulkanik dan hujan batu itu tak sampai ke wilayah Berastepu. Ia menyayangkan pemberitaan sejumlah media nasional yang terlalu berlebihan melaporkan perkembangan Gunung Sinabung.
“Sebenarnya kami juga mau mengungsi, tapi di sana kami dapat apa? Anak kami ada yang kuliah, perlu uang untuk bayar uang kuliah dan kos. Ibu kosnya di sana mana peduli apa orangtuanya mengungsi atau tidak. Tapi karena berita-berita di media, banyak warga memilih tinggal di pengungsian,” katanya.
Ketua Tim Tanggap Darurat Dandim 0205 Tanahkaro, Letkol Prince Meyer Putong, mengatakan, pengungsian diperpanjang bila erupsi masih terjadi.
“Kami perpanjang kalau masih terjadi erupsi. Untuk itu kami selalu berkomunikasi dengan Badan Vulkanologi. Saat ini TNI dan Polres dibantu pemuda setempat melakukan pengamanan terhadap rumah yang ditinggal warga,” katanya. Meyer mengharapkan doa pembaca Sumut Pos untuk seluruh pengungsi. (*)