MEDAN-Anggota DPD RI asal Sumatera Utara DR H Rahmat Shah menegaskan, sudah saatnya pemerintah serius menyelesaikan permasalahan pertanahan di Sumatera Utara. “Dibutuhkan konsentrasi ekstra serta transparansi dan kepedulian yang sungguh-sungguh dari semua intansi terkait dalam upaya penyelesaian konflik hingga tuntas segera,” ujar Rahmat Shah pada acara Rapat Koordinasi Mengenai masalah pertanahan di Aula Kamtibmas Mapoldasu , (16/01).
Rahmat juga menegaskan, pemerintah jangan sampai pilih kasih dalam menyelesaikan kasus tanah dan jangan sampai ingkar janji apalagi sampai pembohongan publik.
“Untuk itu DPD RI siap menjadi pihak terdepan dalam upaya solusi permasalahan yang ada. Terlebih, DPD RI telah membentuk Pansus untuk permasalahan agraria dan sumber daya alam di Indonesia,” tambah Rahmat di hadapan Plt Gubsu Gatot Pujo Nugroho, Unsur Forum Komunikasi Pimpinan Daerah, anggota DPR RI dan beberapa bupati dan walikota serta perwakilan masyarakat lainnya.
Menurut Rahmat, di antara pengingkaran janji yang pernah dilakukan BPN adalah ketika saat adanya kunjungan lapangan delegasi DPD RI sebanyak 11 orang ke Sumatera Utara dipimpin olehnya tahun lalu. Delegasi DPD RI selanjutnya mengadakan pertemuan dengan seluruh jajaran BPN se-Sumut di kantor BPN Sumut.
Dalam pertemuan itu, kata Rahmat, BPN berjanji untuk segera menyelesaikan hingga tuntas konflik tanah di Sumut dalam waktu tertentu, termasuk berjanji menyelesaikan mapping/pemetaan areal eks HGU PTPN II. Namun kenyataannya, dari dua peta yang dijanjikan, satu lagi belum direalisasikan. “Itu hanya salah satu bentuk pelangaran komitmen yang ada di dalam pengelolaaan kasus pertanahan di Sumut. Belum lagi pelanggaran-pelanggaran lain yang bahkan dilakukan oleh pejabat setingkat menteri negara,” papar Rahmat.
Rahmat yang hadir dalam kapasitas sebagai anggota Komite I DPD RI yang bertugas menjadi solusi bagi masalah pertanahan, mengapresiasi pertemuan dan rapat koordinasi yang digagas bersama Kapoldasu.
Kata dia, secara bertahap, permasalahan pertanahan di Sumatera Utara dapat diselesaikan dengan tuntas dan menyeluruh. Untuk tahapan pertama, Rahmat meminta agar seluruh kasus dan konflik pertanahan yang telah mendapat kepastian hukum yang tetap dan inkrah agar segera diselesaikan proses serah terima dan penerbitan sertifikat maupun aktenya.
Rahmat bahkan mengingatkan bahwa pada saat Surat Keputusan mengenai lahan yang dikeluarkan dari perpanjangan HGU PTPN II seluas 5.873,06 Ha, tentunya, luasan lahan yang telah ditentukan tersebut merupakan ukuran yang jelas dan telah dimapping letak lokasinya karena didasarkan kepada data dan ukuran yang pasti.
Angka tersebut bukan berasal dari angka yang direka-reka ataupun fiktif. Karenanya, menjadi sebuah pertanyaan bagi publik, mengapa permasalahan letak dan ukuran saja tidak pernah tuntas hingga memakan waktu 10 tahun.
Dalam kesempatan tersebut, Rahmat yang merupakan anggota Komite I DPD RI mengingatkan kembali perjuangan permasalahan tanah di Sumut telah dibawa ke tingkat nasional. Misalnya kasus tanah Masyarakat Sari Rejo yang berjuang hingga ke Senayan Jakarta dan dengan difasilitasi Komite I DPD RI. “Dimana ditandatangani kesepakatan instansi terkait untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dalam waktu dua bulan, namun hingga kini tidak juga tuntas,” bilang Rahmat lagi.
Rahmat menyesalkan rendahnya komitmen kebersamaan sesama pengelola negara di dalam proses pembangunan. Rahmat mencontohkan kasus rencana pembangunan Madrasah Bertaraf Internasional di kabupaten Serdang Bedagai.
Awalnya, sambung Rahmat, segala proses ke arah pembangunan tersebut tidak bermasalah terutama dalam hal lokasi karena tidak termasuk ke dalam areal lokasi yang diperpanjang HGU-nya. Belakangan ketika dana bantuan presiden sebesar Rp50 miliar yang diserahkan langsung dalam acara Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2009 di Bandung, untuk pembangunan madrasah tersebut, hendak direalisasikan pembangunannya.
“Nyatanya pembangunannya tidak dapat dilanjutkan karena adanya pernyataan BPN bahwa areal rencana lokasi madrasah masih termasuk ke dalam lokasi HGU PTPN. Ini menunjukkan bahwa untuk kepentingan atas nama negara melalui Kementerian BUMN dan Kementerian Agama saja, BPN tidak kooperatif,” tegas Rahmat.
Rahmat juga mencontohkan adanya sekelompok warga yang dipimpin seorang pendeta yang datang kepadanya dan mengadukan nasib penggusuran tanah mereka yang berstatus hak milik dan belum pernah bersengketa dan belum dibatalkan oleh BPN di Kota Medan. tanah tersebut dieksekusi oleh Pengadilan negeri sedang mereka tidak tersangkut dalam perkara tersebut.
Kenyataannya, di atas tanah tersebut berdiri sebuah sekolah yang dibantu sebesar Rp6 miliar oleh negara Korea. “Hal ini sangat memperihatinkan karena saat dunia pendidikan kita masih dibantu negara luar pun, kita masih mempersulitnya dan bahkan ingin menghancurkannya,” tegasnya.
Karenanya, Rahmat menegaskan kini saatnya semua komponen daerah untuk fokus dan sungguh-sungguh menuntaskan permasalahan sengketa maupun konflik pertanahan yang ada di Sumatera Utara dengan niat yang tulus yang bukan didasarkan kepada kepentingan politik ataupun pencitraan untuk tujuan-tujuan tertentu.
“Kerja ini harus dilakukan secara komprehensif dan melibatkan segenap komponen masyarakat yang kompeten dan berwenang langsung agar hasilnya baik. Tentunya kita tidak ingin mengulangi cara lama yang keliru, yakni kita telah berkali-kali mengadakan pertemuan dengan berbagai pihak, akan tetapi, jalan keluar dari permasalahan selalu terhambat dan yang dominan menghambat adalah BPN,” bilang Rahmat.
Di akhir pernyataannya Rahmat berpesan kepada seluruh komponen masyarakat untuk tidak mempergunakan cara-cara kekerasan dan anarkis dalam menyelesaikan masalah, dan kepada para mafia tanah agar sadar bahwa sekecil apapun. “Tanah adalah sumber kehidupan masyarakat kecil. Jadi para mafia tanah jangan mengambil keuntungan di atas penderitaan masyarakat kecil,” harapnya. (*/ila)