Pemeriksaan 46 anggota DPRD Sumut ini juga dibenarkan seorang anggota dewan yang dikonfirmasi tadi malam. Ia membenarkan kalau dirinya akan diperiksa oleh KPK. “Benar, giliran saya diperiksa pada tanggal 31 Januari 2018 nanti,” ujar anggota DPRD Sumut yang meminta namanya tak dipublikasikan itu.
Sementara, Sopar Siburian dari Fraksi Demokrat juga mengakui diperiksa pada Rabu, 31 Januari mendatang. “Ya, giliran saya tanggal 31 Januari 2018 nanti,” kata Sopar Siburian.
Menyikapi rencana KPK menindaklanjuti kasus suap terhadap mantan anggota DPRD Sumut ini, pengamat hukum Muslim Muis mengaku sangat mendukung. Bahkan, KPK dimintanya jangan tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi yang diduga melibatkan seluruh anggota DPRD Sumut itu. “KPK jangan tembang pilih, kalau terbukti segara tetap menjadi tersangka, sesuai dua alat bukti yang ditemukan penyidik KPK dalam proses hukum,” ungkap Muslim Muis kepada Sumut Pos tadi malam.
Muslim Muis menilai, sudah jelas di dalam pertimbangan majelis hakim Pengadilan Tipikor Medan dengan terdakwa Gatot Pudjo Nugroho, ada sejumlah nama yang diduga terlibat untuk ditindaklanjuti sesuai proses hukum yang ada. “Kalau terbukti terlibat semuanya, angkat juga semua anggota dewan itu ke Jakarta (Kantor KPK). Semua jelas, kenapa KPK menunggu lagi. Sudah angkut saja lagi, biar di PAW semua anggota dewan itu,” tutur Muslim Muis.
Muslim Muis menilai, dalam kasus suap ini, KPK terkesan melindungi sejumlah anggota DPRD Sumut dan pejabat tinggi pemprov Sumut. Dengan ini, masyarakat bisa tidak mempercayai lagi KPK sebagai antirasuah untuk melakukan pemberantas korupsi di Sumut ini.
“Ini KPK cuma menangkap ekor Harimau saja, bukan taring atau cakarnya. Di sini diuji KPK untuk betul-betul melakukan pemberantasan di Sumut. Karena, masyarakat sudah capek dihadapkan dengan para pejabatnya yang kerap melakukan korupsi,” tandasnya.
Pengamat Politik dari UISU Alfi Syahri mengatakan, pemanggilan kepada para mantan anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 ini merupakan satu upaya KPK dalam memberikan aspek keadilan sekaligus regenerasi politik kepada calon yang lain. “Bagaimanapun kita tahu, seberapa besar masa lalu di era mereka menjadi legislatif membuat masalah setelahnya. Kita berada dalam krisis hukum yang melibatkan banyak pejabat dan politisi,” ujat Alfi.
Dengan upaya ini kata Alfi, dapat dilihat bagaimana seharusnya mereka yang telah sempat menikmati hasil dari proses berpolitik selama berkuasa, bertanggungjawab terhadap akibat yang muncul setelahnya. Sehingga pada 2019 nanti, pada perhelatan Pileg, diharapkan masalah ini bisa dituntaskan hingga seluruh pihak terkait, mendapatkan ganjaran.
“Dengan begini akan bisa dilihat, mana yang memang menerima atau tidak. Sehingga, mereka yang tidak menerima, juga mendapat tempat di masyarakat. Bagi yang menerima, ya mereka memang harus bertanggungjawab,” katanya.
Diketahui, mantan Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho saat menjadi saksi untuk terdakwa Kamaluddin Harahap mantan Wakil Ketua DPRD Provinsi Sumut, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, 2 Maret 2016 lalu, mengakui adanya ‘uang ketok’ di DPRD Sumut untuk memuluskan pengesahan APBD Sumut Tahun Anggaran 2012. Menurutnya, sejak menjabat Gubernur Sumut pernah memberikan sejumlah ‘uang ketok’ untuk memuluskan APBD 2012.
Gatot menceritakan bahwa uang ketok di DPRD Sumatera Utara adalah ‘tradisi’. Uang ketok tersebut menurutnya sudah berlangsung sejak dirinya menjadi Plt Gubernur Sumut tahun 2011. “Kalau nggak ada uang ketok tidak selesai antara Bandan Anggaran dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) untuk APBD tidak akan dibahas-bahas. Itu sudah tradisi dalam DPRD tahun 2012-2015,” ujarnya di hadapan majelis hakim yang diketuai Sumpeno.