25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Yang Untung Dapat ‘Gajah’, Yang Sial Dapat Kerikil

Sejak setahun lalu, ketika batu giok diburu kolektor, banyak warga Nagan Raya yang beralih profesi. Yang semula menjadi petani, pekerja kebun, atau kuli bangunan memilih menjadi pencari batu giok Aceh. Salah satunya Siddin.

Bagi pencari giok pemula seperti Siddin, yang bisa didapatkan selama seharian hanya bongkahan-bongkahan kecil. Namun, bagi pencari giok kawakan seperti Gusti Nurja, 42, lain lagi. Nurja menekuni pekerjaan tersebut sejak 2003. Waktu itu giok belum banyak dikenal seperti sekarang. Namun, bapak dua anak tersebut setia menekuni pekerjaan mencari giok yang sangat berat itu hingga kini.

Saat ini Nurja sedang disibukkan oleh bongkahan giok sebesar “gajah” yang ditemukannya beberapa waktu lalu. “Saya bersama teman-teman menemukan giok ini di sungai. Caranya, ya dengan mengetok setiap batu yang kami temukan. Jadi, di sini banyak batu di sungai bekas pukulan palu,” katanya sembari tersenyum.

Nurja ditemui Jawa Pos saat sedang memecah batu besar di depan rumahnya yang sederhana. Dia menduga batu itu berisi giok jenis super, yaitu nefrit, neon, dan indocrase.

“Ini kami dapatkan setelah berhari-hari menyusuri sungai. Tapi, saya belum tahu jenis gioknya,” tutur dia.

Menurut warga Meunasah Teungoh itu, kalau lagi beruntung, pencari giok yang sudah “ahli” bisa mendapat bongkahan batu besar. “Kami ambil dari sungai dengan backhoe dan dibawa ke rumah dengan truk,” katanya.

Secara manual pula, Nurja dan teman-temannya membelah batu superkeras itu. Mereka hanya menggunakan gerinda, palu, dan air. “Air ini untuk melihat apakah batu itu berkilat atau tidak,” ujarnya. Nurja menyatakan sangat hafal karakter batu giok.

Meski ahli mencari batu giok, Nurja tidak menyadari bahwa kini harga batu yang biasa dipakai untuk hiasan cincin atau bandul kalung itu melambung tinggi. Misalnya, giok Nagan dengan ukuran keliling 2 cm di Banda Aceh dijual Rp 700 ribu untuk jenis neon atau biosolar.

“Biasanya, orang sini mencari batu sudah dibiayai orang lain. Jadi, setelah mendapat giok, ya diserahkan ke orang yang membiayai,” katanya.

Nurja mencontohkan, batu giok sebesar “gajah” akan dihargai sekitar Rp 70 juta oleh para pemodal. Tapi, setelah diolah menjadi bongkahan-bongkahan kecil atau berbentuk hiasan cincin, harganya bisa berlipat menjadi ratusan juta rupiah.

Menurut bapak dua anak itu, mencari giok di Alur Tengku tidaklah mudah. Umumnya para pencari berkelompok. Setiap kelompok berisi sekitar lima orang. Dengan alat seadanya, mereka menyusuri sungai dari hulu ke hilir. Mereka biasa menginap berhari-hari di hutan atau di pinggir-pinggir sungai dengan mendirikan kemah dari plastik. Tentu saja, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka membawa bekal dari bawah.

Pencari batu giok yang sudah ahli memang bisa cepat menemukan lokasi batu mulia itu. “Batu mulia ini kan endapan mineral di bumi. Endapan itu terbentuk karena adanya kabut di pegunungan. Kalau saya sudah hafal. Di mana lokasi itu diselimuti kabut, pasti ada gioknya di sana,” terang Tengku Naufal, 45, pencari giok lainnya.

Naufal bisa jadi merupakan pencari giok yang berhasil. Dia kini sudah menjadi “bos” dan memiliki 15 anak buah yang dibagi dalam tiga kelompok untuk mencari batu giok.

“Pada 2014, saya mendapat batu topas. Batu itu dibeli orang Korea Rp 300 juta per kilo. Alhamdulillah, bisa untuk beli tanah di Meulaboh,” tuturnya.

Sejak setahun lalu, ketika batu giok diburu kolektor, banyak warga Nagan Raya yang beralih profesi. Yang semula menjadi petani, pekerja kebun, atau kuli bangunan memilih menjadi pencari batu giok Aceh. Salah satunya Siddin.

Bagi pencari giok pemula seperti Siddin, yang bisa didapatkan selama seharian hanya bongkahan-bongkahan kecil. Namun, bagi pencari giok kawakan seperti Gusti Nurja, 42, lain lagi. Nurja menekuni pekerjaan tersebut sejak 2003. Waktu itu giok belum banyak dikenal seperti sekarang. Namun, bapak dua anak tersebut setia menekuni pekerjaan mencari giok yang sangat berat itu hingga kini.

Saat ini Nurja sedang disibukkan oleh bongkahan giok sebesar “gajah” yang ditemukannya beberapa waktu lalu. “Saya bersama teman-teman menemukan giok ini di sungai. Caranya, ya dengan mengetok setiap batu yang kami temukan. Jadi, di sini banyak batu di sungai bekas pukulan palu,” katanya sembari tersenyum.

Nurja ditemui Jawa Pos saat sedang memecah batu besar di depan rumahnya yang sederhana. Dia menduga batu itu berisi giok jenis super, yaitu nefrit, neon, dan indocrase.

“Ini kami dapatkan setelah berhari-hari menyusuri sungai. Tapi, saya belum tahu jenis gioknya,” tutur dia.

Menurut warga Meunasah Teungoh itu, kalau lagi beruntung, pencari giok yang sudah “ahli” bisa mendapat bongkahan batu besar. “Kami ambil dari sungai dengan backhoe dan dibawa ke rumah dengan truk,” katanya.

Secara manual pula, Nurja dan teman-temannya membelah batu superkeras itu. Mereka hanya menggunakan gerinda, palu, dan air. “Air ini untuk melihat apakah batu itu berkilat atau tidak,” ujarnya. Nurja menyatakan sangat hafal karakter batu giok.

Meski ahli mencari batu giok, Nurja tidak menyadari bahwa kini harga batu yang biasa dipakai untuk hiasan cincin atau bandul kalung itu melambung tinggi. Misalnya, giok Nagan dengan ukuran keliling 2 cm di Banda Aceh dijual Rp 700 ribu untuk jenis neon atau biosolar.

“Biasanya, orang sini mencari batu sudah dibiayai orang lain. Jadi, setelah mendapat giok, ya diserahkan ke orang yang membiayai,” katanya.

Nurja mencontohkan, batu giok sebesar “gajah” akan dihargai sekitar Rp 70 juta oleh para pemodal. Tapi, setelah diolah menjadi bongkahan-bongkahan kecil atau berbentuk hiasan cincin, harganya bisa berlipat menjadi ratusan juta rupiah.

Menurut bapak dua anak itu, mencari giok di Alur Tengku tidaklah mudah. Umumnya para pencari berkelompok. Setiap kelompok berisi sekitar lima orang. Dengan alat seadanya, mereka menyusuri sungai dari hulu ke hilir. Mereka biasa menginap berhari-hari di hutan atau di pinggir-pinggir sungai dengan mendirikan kemah dari plastik. Tentu saja, untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka membawa bekal dari bawah.

Pencari batu giok yang sudah ahli memang bisa cepat menemukan lokasi batu mulia itu. “Batu mulia ini kan endapan mineral di bumi. Endapan itu terbentuk karena adanya kabut di pegunungan. Kalau saya sudah hafal. Di mana lokasi itu diselimuti kabut, pasti ada gioknya di sana,” terang Tengku Naufal, 45, pencari giok lainnya.

Naufal bisa jadi merupakan pencari giok yang berhasil. Dia kini sudah menjadi “bos” dan memiliki 15 anak buah yang dibagi dalam tiga kelompok untuk mencari batu giok.

“Pada 2014, saya mendapat batu topas. Batu itu dibeli orang Korea Rp 300 juta per kilo. Alhamdulillah, bisa untuk beli tanah di Meulaboh,” tuturnya.

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/