25 C
Medan
Saturday, November 23, 2024
spot_img

Denda dan Sanksi Administratif Menanti

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Meski belum ada melakukan tindakan kepada puluhan badan usaha yang belum membayar atau menunggak iyuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, namun imbauan terus dilakukan agar badan usaha segera melakukan registrasi pembayaran.

Kepala Departemen Pemasaran dan Kepesertaan BPJS Kesehatan Divre I Sumut-Aceh Rita Masyita Ridwan mengimbau untuk segera dilakukan pembayaran.  “Memang, saat ini kita belum ada tindakan, mengingat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan masih berjalan 4 bulan.  Tapi kalau tidak mengindahkan kita, maka kita sudah memiliki ranah kepatuhan berupa raport bagi badan usaha tersebut,” tegasnya.

Sebelumnya Rita mengatakan, pihaknya tidak akan melayani bagi instansi yang terlambat membayar iuran selama tiga bulan. “Bila puluhan badan usaha ini tidak membayar, maka bulan ke 4 akan kami hentikan,” tegasnya.

Meski BPJS wilayah Sumatera Utara belum mengeluarkan sanksi tegas kepada badan usaha atau perusahaan yang membandel dengan menunggak iyuran BPJS, namun sanksi tetap akan menanti, khususnya pelaksaaan BPJS Ketenagakerjaan.Pasalnya, dalam Undang Undang (UU) No.24 tahun 2011 tentang BPJS, masalah sanksi diatur pada pada Pasal 17, yaitu berupa sanksi administratif kepada pemberi kerja.

“Sanksi administrasi tersebut dapat berupa teguran tertulis, denda dan atau tidak mendapat pelayanan publik,” ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, kemarin.

Dia menjabarkan, untuk mengimplementasikan Pasal 17 UU BPJS itu, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 86 tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi kepada pemberi kerja yang melanggar. “Misalnya, saksi denda dikenakan sebesar 0,1 persen setiap bulan dari iuran yang seharusnya dibayar yang dihitung sejak teguran tertulis berakhir,” terangnya.

Sedangkan sanksi tidak mendapat pelayanan publik meliputi perizinan terkait usaha, izin yang diperlukan untuk ikut tender proyek, izin mempekerjakan tenaga kerja asing, izin perusahaan penyedia jasa pekerja (outsourcing), dan izin mendirikan bangunan. “Sanksi tidak mendapat pelayanan publik ini sebenarnya risikonya cukup besar, yaitu dicabutnya izin usaha pemberi kerja. Pengusaha sebagai pemberi kerja akan menghadapi risiko penutupan usaha karena izinnya dicabut pemerintah,” ujar Timboel.

Tak hanya itu, UU BPJS secara gamblang juga mengenakan sanksi pidana kepada pemberi kerja yang melanggar Pasal 19 ayat (1) dan (2) yang mewajibkan pemberi kerja memungut iuran yang menjadi beban peserta dari pekerjanya dan menyetorkannya ke BPJS. “Bila merujuk pada putusan MK yang membolehkan pekerja/buruh mendaftarkan diri langsung ke BPJS dengan membayar iuran yang menjadi kewajibannya ke BPJS serta pasal 19 ayat (2) tersebut, maka BPJS bisa langsung menagih iuran sebagai kewajiban pemberi kerja kepada BPJS,” katanya.

Sementara, BPJS Ketenagakerjaan bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM akan mencekal pengusaha nakal yang tidak mengikutkan pekerjanya menjadi peserta lembaga jaminan sosial tersebut. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.89 tentang Sanksi Administratif terhadap Pelanggaran Kepatuhan BPJS Ketenagakerjaan. “Setelah Jamsostek bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan, kami memiliki wewenang memberikan sanksi kepada mereka yang tidak patuh terhadap regulasi mengenai jaminan sosial, khususnya terhadap pekerja,” kata Direktur Investasi BPJS Ketenagakerjaan Jefry Haryadi.

Dia mengatakan, setelah bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan dari sebelumnya PT Jamsostek, pemerintah telah mengeluarkan 3 peraturan pemerintah, 3 peraturan presiden dan 1 Keppres sebagai acuan pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan.

Adapun PP No.89/2013 mengatur tentang kewenangan BPJS Ketenagakerjaan untuk melakukan penyidikan dan menjatuhkan sanksi bekerjasama dengan instansi terkait.  Karena itu, pihaknya saat ini sudah melakukan perjanjian kerja sama dengan sejumlah instansi untuk pemberian sanksi dengan instansi yang berwenang.

Misalnya, untuk pencabutan paspor atau pencekalan ke luar negeri, BPJS Ketenagakerjaan akan bekerja sama dengan Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Sementara soal perizinan usaha akan bekerja sama dengan Pemprov dan Pemkab/Pemkot. “Kami sebenarnya tidak ingin menggunakan kewenangan ini, tapi ini dilakukan setelah kami melakukan penyidikan,” jelasnya. Menurut Jefry, sanksi itu akan diimplementasikan paling lambat pada 1 Juli 2015 ketika BPJS Ketenagakerjaan beroperasi penuh. (nit/bbs)

MEDAN, SUMUTPOS.CO- Meski belum ada melakukan tindakan kepada puluhan badan usaha yang belum membayar atau menunggak iyuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, namun imbauan terus dilakukan agar badan usaha segera melakukan registrasi pembayaran.

Kepala Departemen Pemasaran dan Kepesertaan BPJS Kesehatan Divre I Sumut-Aceh Rita Masyita Ridwan mengimbau untuk segera dilakukan pembayaran.  “Memang, saat ini kita belum ada tindakan, mengingat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan masih berjalan 4 bulan.  Tapi kalau tidak mengindahkan kita, maka kita sudah memiliki ranah kepatuhan berupa raport bagi badan usaha tersebut,” tegasnya.

Sebelumnya Rita mengatakan, pihaknya tidak akan melayani bagi instansi yang terlambat membayar iuran selama tiga bulan. “Bila puluhan badan usaha ini tidak membayar, maka bulan ke 4 akan kami hentikan,” tegasnya.

Meski BPJS wilayah Sumatera Utara belum mengeluarkan sanksi tegas kepada badan usaha atau perusahaan yang membandel dengan menunggak iyuran BPJS, namun sanksi tetap akan menanti, khususnya pelaksaaan BPJS Ketenagakerjaan.Pasalnya, dalam Undang Undang (UU) No.24 tahun 2011 tentang BPJS, masalah sanksi diatur pada pada Pasal 17, yaitu berupa sanksi administratif kepada pemberi kerja.

“Sanksi administrasi tersebut dapat berupa teguran tertulis, denda dan atau tidak mendapat pelayanan publik,” ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, kemarin.

Dia menjabarkan, untuk mengimplementasikan Pasal 17 UU BPJS itu, pemerintah telah mengeluarkan PP No. 86 tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi kepada pemberi kerja yang melanggar. “Misalnya, saksi denda dikenakan sebesar 0,1 persen setiap bulan dari iuran yang seharusnya dibayar yang dihitung sejak teguran tertulis berakhir,” terangnya.

Sedangkan sanksi tidak mendapat pelayanan publik meliputi perizinan terkait usaha, izin yang diperlukan untuk ikut tender proyek, izin mempekerjakan tenaga kerja asing, izin perusahaan penyedia jasa pekerja (outsourcing), dan izin mendirikan bangunan. “Sanksi tidak mendapat pelayanan publik ini sebenarnya risikonya cukup besar, yaitu dicabutnya izin usaha pemberi kerja. Pengusaha sebagai pemberi kerja akan menghadapi risiko penutupan usaha karena izinnya dicabut pemerintah,” ujar Timboel.

Tak hanya itu, UU BPJS secara gamblang juga mengenakan sanksi pidana kepada pemberi kerja yang melanggar Pasal 19 ayat (1) dan (2) yang mewajibkan pemberi kerja memungut iuran yang menjadi beban peserta dari pekerjanya dan menyetorkannya ke BPJS. “Bila merujuk pada putusan MK yang membolehkan pekerja/buruh mendaftarkan diri langsung ke BPJS dengan membayar iuran yang menjadi kewajibannya ke BPJS serta pasal 19 ayat (2) tersebut, maka BPJS bisa langsung menagih iuran sebagai kewajiban pemberi kerja kepada BPJS,” katanya.

Sementara, BPJS Ketenagakerjaan bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan HAM akan mencekal pengusaha nakal yang tidak mengikutkan pekerjanya menjadi peserta lembaga jaminan sosial tersebut. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) No.89 tentang Sanksi Administratif terhadap Pelanggaran Kepatuhan BPJS Ketenagakerjaan. “Setelah Jamsostek bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan, kami memiliki wewenang memberikan sanksi kepada mereka yang tidak patuh terhadap regulasi mengenai jaminan sosial, khususnya terhadap pekerja,” kata Direktur Investasi BPJS Ketenagakerjaan Jefry Haryadi.

Dia mengatakan, setelah bertransformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan dari sebelumnya PT Jamsostek, pemerintah telah mengeluarkan 3 peraturan pemerintah, 3 peraturan presiden dan 1 Keppres sebagai acuan pelaksanaan BPJS Ketenagakerjaan.

Adapun PP No.89/2013 mengatur tentang kewenangan BPJS Ketenagakerjaan untuk melakukan penyidikan dan menjatuhkan sanksi bekerjasama dengan instansi terkait.  Karena itu, pihaknya saat ini sudah melakukan perjanjian kerja sama dengan sejumlah instansi untuk pemberian sanksi dengan instansi yang berwenang.

Misalnya, untuk pencabutan paspor atau pencekalan ke luar negeri, BPJS Ketenagakerjaan akan bekerja sama dengan Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Sementara soal perizinan usaha akan bekerja sama dengan Pemprov dan Pemkab/Pemkot. “Kami sebenarnya tidak ingin menggunakan kewenangan ini, tapi ini dilakukan setelah kami melakukan penyidikan,” jelasnya. Menurut Jefry, sanksi itu akan diimplementasikan paling lambat pada 1 Juli 2015 ketika BPJS Ketenagakerjaan beroperasi penuh. (nit/bbs)

Artikel Terkait

spot_imgspot_imgspot_img

Terpopuler

Artikel Terbaru

/