27.8 C
Medan
Friday, May 3, 2024

Miris, Tak Dapat JPS, Guru Honorer Non PNS Bukan Kriteria Sejahtera

Ilustrasi: Guru honorer  saat demo soal upah/gaji mereka beberapa waktu lalu. Mereka bukan termasuk sejahtera, namun tidak mendapat bantuan Jaring Pengaman Sosial (JPS).  istimewa/sumut pos.
Ilustrasi: Guru honorer saat demo soal upah/gaji mereka beberapa waktu lalu. Mereka bukan termasuk sejahtera, namun tidak mendapat bantuan Jaring Pengaman Sosial (JPS). istimewa/sumut pos.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Permasalahan penanggulangan wabah Covid-19 tak ayal telah menimbulkan polemik dalam kehidupan bangsa ini. Salah satunya adalah dalam hal penyaluran Jaring Pengaman Sosial (JPS). Bahkan, guru honorer dan non PNS yang bukan masuk kriteria sejahtera justru tidak mendapat bantuan JPS. Miris!.

Wakil Ketua Pansus Covid-19 DPRD Sumut, Ahmad Hadian Kardiadinata mengatakan, kriteria penerima JPS ini di setiap daerah diketahui tidak sama, tergantung kebijakan dari kepala daerah masing-masing.

“Dengan banyaknya masyarakat yang terdampak secara ekonomi dan munculnya orang miskin baru akibat pembatasan sosial dan terhentinya kegiatan ekonomi telah membuat bingung para pengambil kebijakan di negeri ini. Salah satunya dalam menetapkan kriteria siapa yang berhak menerima bantuan JPS khususnya yang selain bantuan pusat yang telah berjalan (PKH, BPNT dan Prakerja),” kata Ahmad Hadian Kardiadinata kepada Sumut Pos, Kamis (18/6).

Diungkapkannya, di beberapa kabupaten/kota muncul surat edaran kepala daerah terkait ini. Di antaranya, ada yang melarang para tenaga honor sekolah (TKS) yang gajinya dibayar dari pemerintah untuk menerima JPS. Akibatnya banyak guru honorer non PNS yang mengeluh dan menyebutkan ini sebagai tidak memenuhi rasa keadilan. “Sebenarnya mereka (guru honorer non PNS) ini termasuk ke dalam kelompok masyarakat yang sangat terdampak ekonomi dari wabah Covid-19 ini. Ini sungguh miris,” ujarnya.

Hadian mengatakan, memang benar bahwa mereka mendapat gaji dari pemerintah melalui APBN. Namun besarannya minim dan masih di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK), kecuali mereka yang sudah menerima dana sertifikasi bulanan sebesar Rp1,5 juta.

“Kalau yang ini bolehlah, penghasilan mereka dari honor bulanan ditambah dengan dana sertifikasi ini sudah mendekati UMK. Tapi bagi yang belum bersertifikat tentunya sangat jauh dari kriteria sejahtera,” katanya.

Belum lagi, lanjut dia, honor bulanan mereka itu bersumber dari dana BOS yang cairnya tiga bulan sekali. Jadi ada masa-masa mereka kosong tidak menerima upah.

“Kalau dihitung-hitung kasar saja, para guru honorer non PNS yang belum bersertifikasi ini rata-rata paling tinggi menerima honor bulanannya maksimal Rp1,5 juta saja. Itu pun setelah diakumulasikan dari honor bulanan yang hanya maksimal Rp1 juta bahkan banyak yang hanya menerima Rp 500 ribu atau kurang dari itu per bulannya,” ujar politisi PKS tersebut.

Sebab honor mereka, kata dia, ditentukan oleh banyaknya murid di sekolahnya. Untuk sekolah-sekolah favorit yang muridnya banyak mereka bisa bergaji lumayan, namun sekolah yang muridnya sedikit mereka rata-rata menerima gaji berkisar 500 ribuan saja bahkan dibawah itu.

“Sangat miris. Makanya banyak guru honorer yang pontang-panting mencari tambahan di luar jam mengajar mereka. Ada yang mengajar les privat, ojek on line, berladang dan lain sebagainya. Sehingga, konsentrasi mereka terbagi dan tidak fokus kepada aktifitas mengajar di sekolahnya,” paparnya.

Menurut dia, bagaimana kualitas pendidikan di Sumut akan baik jika guru-gurunya saja tidak sejahtera seperti itu. Padahal diharapkan pendidikan jadi ujung tombak pembentukan generasi yang lebih baik untuk melanjutkan kehidupan bangsa ini ke depan. “Jadi ibarat pepatah, jauh panggang dari api untuk merealisasikan harapan tersebut,” katanya.

Kembali kepada pokok permasalahan, lanjutnya, guru honorer non PNS dengan honor maksimal hanya Rp1 juta yang notabene di bawah UMK (Rp2,5-Rp2,7 juta), maka mereka ini termasuk kepada golongan orang miskin yang sepatutnya mendapat perhatian pemerintah.

Terkhusus dalam kondisi wabah seperti ini, mereka telah pula kehilangan mata pencaharian tambahan. Oleh karenanya para kepala daerah hendaknya bijaksana dalam menentukan kebijakan terkait bantuan JPS ini.

“Sesungguhnya sangat mudah untuk mendapatkan data siapa saja guru-guru non PNS yang terdampak. Datanya semua ada pada Dinas Pendidikan, mana guru non PNS yang sudah bersertifikasi mana yang belum, berapa honor bulanan mereka juga datanya ada di sana atau disetiap sekolah,” ungkapnya.

Diakui dia, bukan hanya guru honorer non PNS saja yang mengalami nasib seperti ini. Tapi juga termasuk para TKS di semua instansi pemerintah. Mereka menggantungkan nafkahnya melalui pekerjaannya itu, di mana mereka harus bekerja seharian di situ dan tidak bisa beraktivitas lain.

“Jadi kesimpulannya, tidak semua yang menerima honor dari pemerintah itu sudah sejahtera, masih banyak yang jauh dari kata layak. Pemerintah harus bijak dan adil dalam menyikapi hal ini. Khususnya dalam masa pandemi covid ini nasib mereka makin memprihatinkan. Maka mereka sebenarnya layak memperoleh bantuan JPS,” pungkas mantan guru non PNS tersebut. (prn/ila)

Ilustrasi: Guru honorer  saat demo soal upah/gaji mereka beberapa waktu lalu. Mereka bukan termasuk sejahtera, namun tidak mendapat bantuan Jaring Pengaman Sosial (JPS).  istimewa/sumut pos.
Ilustrasi: Guru honorer saat demo soal upah/gaji mereka beberapa waktu lalu. Mereka bukan termasuk sejahtera, namun tidak mendapat bantuan Jaring Pengaman Sosial (JPS). istimewa/sumut pos.

MEDAN, SUMUTPOS.CO – Permasalahan penanggulangan wabah Covid-19 tak ayal telah menimbulkan polemik dalam kehidupan bangsa ini. Salah satunya adalah dalam hal penyaluran Jaring Pengaman Sosial (JPS). Bahkan, guru honorer dan non PNS yang bukan masuk kriteria sejahtera justru tidak mendapat bantuan JPS. Miris!.

Wakil Ketua Pansus Covid-19 DPRD Sumut, Ahmad Hadian Kardiadinata mengatakan, kriteria penerima JPS ini di setiap daerah diketahui tidak sama, tergantung kebijakan dari kepala daerah masing-masing.

“Dengan banyaknya masyarakat yang terdampak secara ekonomi dan munculnya orang miskin baru akibat pembatasan sosial dan terhentinya kegiatan ekonomi telah membuat bingung para pengambil kebijakan di negeri ini. Salah satunya dalam menetapkan kriteria siapa yang berhak menerima bantuan JPS khususnya yang selain bantuan pusat yang telah berjalan (PKH, BPNT dan Prakerja),” kata Ahmad Hadian Kardiadinata kepada Sumut Pos, Kamis (18/6).

Diungkapkannya, di beberapa kabupaten/kota muncul surat edaran kepala daerah terkait ini. Di antaranya, ada yang melarang para tenaga honor sekolah (TKS) yang gajinya dibayar dari pemerintah untuk menerima JPS. Akibatnya banyak guru honorer non PNS yang mengeluh dan menyebutkan ini sebagai tidak memenuhi rasa keadilan. “Sebenarnya mereka (guru honorer non PNS) ini termasuk ke dalam kelompok masyarakat yang sangat terdampak ekonomi dari wabah Covid-19 ini. Ini sungguh miris,” ujarnya.

Hadian mengatakan, memang benar bahwa mereka mendapat gaji dari pemerintah melalui APBN. Namun besarannya minim dan masih di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK), kecuali mereka yang sudah menerima dana sertifikasi bulanan sebesar Rp1,5 juta.

“Kalau yang ini bolehlah, penghasilan mereka dari honor bulanan ditambah dengan dana sertifikasi ini sudah mendekati UMK. Tapi bagi yang belum bersertifikat tentunya sangat jauh dari kriteria sejahtera,” katanya.

Belum lagi, lanjut dia, honor bulanan mereka itu bersumber dari dana BOS yang cairnya tiga bulan sekali. Jadi ada masa-masa mereka kosong tidak menerima upah.

“Kalau dihitung-hitung kasar saja, para guru honorer non PNS yang belum bersertifikasi ini rata-rata paling tinggi menerima honor bulanannya maksimal Rp1,5 juta saja. Itu pun setelah diakumulasikan dari honor bulanan yang hanya maksimal Rp1 juta bahkan banyak yang hanya menerima Rp 500 ribu atau kurang dari itu per bulannya,” ujar politisi PKS tersebut.

Sebab honor mereka, kata dia, ditentukan oleh banyaknya murid di sekolahnya. Untuk sekolah-sekolah favorit yang muridnya banyak mereka bisa bergaji lumayan, namun sekolah yang muridnya sedikit mereka rata-rata menerima gaji berkisar 500 ribuan saja bahkan dibawah itu.

“Sangat miris. Makanya banyak guru honorer yang pontang-panting mencari tambahan di luar jam mengajar mereka. Ada yang mengajar les privat, ojek on line, berladang dan lain sebagainya. Sehingga, konsentrasi mereka terbagi dan tidak fokus kepada aktifitas mengajar di sekolahnya,” paparnya.

Menurut dia, bagaimana kualitas pendidikan di Sumut akan baik jika guru-gurunya saja tidak sejahtera seperti itu. Padahal diharapkan pendidikan jadi ujung tombak pembentukan generasi yang lebih baik untuk melanjutkan kehidupan bangsa ini ke depan. “Jadi ibarat pepatah, jauh panggang dari api untuk merealisasikan harapan tersebut,” katanya.

Kembali kepada pokok permasalahan, lanjutnya, guru honorer non PNS dengan honor maksimal hanya Rp1 juta yang notabene di bawah UMK (Rp2,5-Rp2,7 juta), maka mereka ini termasuk kepada golongan orang miskin yang sepatutnya mendapat perhatian pemerintah.

Terkhusus dalam kondisi wabah seperti ini, mereka telah pula kehilangan mata pencaharian tambahan. Oleh karenanya para kepala daerah hendaknya bijaksana dalam menentukan kebijakan terkait bantuan JPS ini.

“Sesungguhnya sangat mudah untuk mendapatkan data siapa saja guru-guru non PNS yang terdampak. Datanya semua ada pada Dinas Pendidikan, mana guru non PNS yang sudah bersertifikasi mana yang belum, berapa honor bulanan mereka juga datanya ada di sana atau disetiap sekolah,” ungkapnya.

Diakui dia, bukan hanya guru honorer non PNS saja yang mengalami nasib seperti ini. Tapi juga termasuk para TKS di semua instansi pemerintah. Mereka menggantungkan nafkahnya melalui pekerjaannya itu, di mana mereka harus bekerja seharian di situ dan tidak bisa beraktivitas lain.

“Jadi kesimpulannya, tidak semua yang menerima honor dari pemerintah itu sudah sejahtera, masih banyak yang jauh dari kata layak. Pemerintah harus bijak dan adil dalam menyikapi hal ini. Khususnya dalam masa pandemi covid ini nasib mereka makin memprihatinkan. Maka mereka sebenarnya layak memperoleh bantuan JPS,” pungkas mantan guru non PNS tersebut. (prn/ila)

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/