Sebagaimana yang dimuat dalam Jelajah Semenanjung Raja-Raja edisi 15 Juli lalu, sistem itulah yang membentuk kerukunan umat beragama di Fakfak. “Di Fakfak tidak ada masalah. Aman sudah,” tegas Kabes.
Dalam edisi yang sama disebutkan pula, seorang Nasrani Fakfak bahkan mempunyai dua alat masak dan piring. Yang satu untuk sehari-hari dan satu lagi khusus untuk menjamu saudara mereka yang muslim. Hal itu ditujukan untuk melindungi tamu agar tetap menyantap makanan dari piring dan gelas yang tidak pernah dipakai menghidangkan masakan yang tidak halal.
Namun, Kabes menegaskan, yang membuat pusing adalah pemberitaan di media-media. “Kami sempat dengar, katanya ada muslim Jawa yang mau ke sini. Ngapain? Malah hanya memperkeruh suasana. Bisa dianggap tantangan. Biar diselesaikan di sini sudah. Kalau dari luar ikut-ikut, bisa tidak selesai itu dorang pe perkara,” tegasnya dengan sedikit dialek Papua.
Untuk sementara, di Kaimana dan Bintuni, situasi harmonis seperti di Fakfak juga terjadi. Mereka juga menganut ideologi yang sama, yakni satu tungku tiga batu.
Hal yang sama terjadi di Raja Ampat. Meski tidak mengenal prinsip satu tungku tiga batu seperti di Fakfak, masyarakat Raja Ampat mempunyai tingkat kerukunan beragama yang tidak kalah akrab. “Di sini memang biasa jika ada satu keluarga yang campur-campur. Tidak hanya di Raja Ampat, tetapi hampir di semua tempat di Papua,” tutur Imam Masjid Agung Waisai Raja Ampat H M. Hanafing.
Menurut dia, begitu mendengar konflik Tolikara meletus, dirinya melakukan sejumlah antisipasi. Antara lain, memberikan sosialisasi kepada umatnya dan pemuka agama lain. Tetapi, itu dilakukan masih secara informal. “Masih banyak yang belum tahu. Kecuali pengakses internet. Karena itu, saya tidak gegabah untuk memberikan sosialisasi menyeluruh,” ucapnya.
Hanafing mengungkapkan, pihaknya baru akan memberikan sosialisasi menyeluruh kepada umat jika informasi sudah tersebar luas. “Jelas, saya akan imbau jamaah untuk memahami bahwa ini bukan konflik agama. Kalau saya lihat, kecenderungannya politis. Lagi pula, kalaupun ini memang konflik agama, kedatangan orang luar justru membuat makin rumit,” tambahnya.
Hanya, Hanafing menyesalkan pemberitaan di sejumlah media online yang isinya dianggap sangat memanas-manasi. “Misalnya, mempertanyakan bagaimana sikap umat muslim, ajakan jihad, atau komentar menyerang gereja. Menurut saya, jika terus-menerus dicekoki seperti ini, siapa pun bisa dengan gampang tersulut emosinya. Susah bagi kami untuk menahannya,” tegasnya.