31.7 C
Medan
Monday, May 20, 2024

Jika Keluarga “Terlalu Banyak” yang Muslim, Satu Diminta Jadi Nasrani dan Sebaliknya

Konflik berdarah di Tolikara, Papua, membuat kawasan lain berjaga-jaga. Mereka menganggap penyebab konflik itu bukan murni agama. Yang paling dikhawatirkan adalah pemberitaan yang provokatif.

KARDONO SETYORAKHMADI, Fakfak

“ASSALAMUALAIKUM.” Demikian salam spontan dari Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Fakfak, Papua Barat, Falentinus Kabes ketika menjawab telepon saya. Padahal, pria yang akrab dipanggil Falen tersebut adalah seorang Nasrani. Sebuah sapaan yang mengesankan toleransi.

Dia memang saya telepon terkait dengan meletusnya konflik Tolikara. Saya meminta pandangan dia tentang konflik tersebut dan bagaimana imbasnya ke Fakfak. Sebab, Fakfak adalah kabupaten dengan populasi muslim terbanyak di Papua. Di antara total 100 ribuan warga, lebih dari 80 persen adalah muslim.

Namun, warga Fakfak sangat dewasa. Mereka justru sudah saling berkomunikasi. “Kami sudah saling menjaga. Salat Id dan tradisi Lebaran muslim di sini justru dijaga orang Nasrani. Begitu pula misa. Nanti (kemarin, Red) dan besok (hari ini, Red) giliran misa yang dijaga saudara kami yang muslim,” jelas Kabes.

Mekanisme satu tungku tiga batu kembali berjalan.

Satu tungku tiga batu adalah sebuah konsep yang dianut masyarakat Fakfak. Di Fakfak, ada tujuh petuanan (semacam kerajaan) yang masih diturut masyarakat. Yakni, Petuanan Ati-Ati, Petuanan Fatagar, Petuanan Piq-Piq, Petuanan Arguni, Petuanan Teluk Patipi, Petuanan Wertuer, dan Petuanan Rumbati.

Sistem adat tersebut berkolaborasi dengan tiga agama yang dianut masyarakat. Yakni, Islam, Kristen, serta Katolik.

Para petuanan itu berkolaborasi dengan sistem agama dengan cara yang khas Papua. Yaitu, jika ada satu marga/petuanan yang anggota keluarganya “terlalu banyak” yang muslim, para tetuanya kemudian menyuruh salah seorang anggota keluarga untuk memeluk Kristen atau Katolik. Begitu pula sebaliknya. Jika terlalu banyak yang Nasrani, sebagian disuruh masuk Islam.

Konflik berdarah di Tolikara, Papua, membuat kawasan lain berjaga-jaga. Mereka menganggap penyebab konflik itu bukan murni agama. Yang paling dikhawatirkan adalah pemberitaan yang provokatif.

KARDONO SETYORAKHMADI, Fakfak

“ASSALAMUALAIKUM.” Demikian salam spontan dari Sekretaris Lembaga Masyarakat Adat Fakfak, Papua Barat, Falentinus Kabes ketika menjawab telepon saya. Padahal, pria yang akrab dipanggil Falen tersebut adalah seorang Nasrani. Sebuah sapaan yang mengesankan toleransi.

Dia memang saya telepon terkait dengan meletusnya konflik Tolikara. Saya meminta pandangan dia tentang konflik tersebut dan bagaimana imbasnya ke Fakfak. Sebab, Fakfak adalah kabupaten dengan populasi muslim terbanyak di Papua. Di antara total 100 ribuan warga, lebih dari 80 persen adalah muslim.

Namun, warga Fakfak sangat dewasa. Mereka justru sudah saling berkomunikasi. “Kami sudah saling menjaga. Salat Id dan tradisi Lebaran muslim di sini justru dijaga orang Nasrani. Begitu pula misa. Nanti (kemarin, Red) dan besok (hari ini, Red) giliran misa yang dijaga saudara kami yang muslim,” jelas Kabes.

Mekanisme satu tungku tiga batu kembali berjalan.

Satu tungku tiga batu adalah sebuah konsep yang dianut masyarakat Fakfak. Di Fakfak, ada tujuh petuanan (semacam kerajaan) yang masih diturut masyarakat. Yakni, Petuanan Ati-Ati, Petuanan Fatagar, Petuanan Piq-Piq, Petuanan Arguni, Petuanan Teluk Patipi, Petuanan Wertuer, dan Petuanan Rumbati.

Sistem adat tersebut berkolaborasi dengan tiga agama yang dianut masyarakat. Yakni, Islam, Kristen, serta Katolik.

Para petuanan itu berkolaborasi dengan sistem agama dengan cara yang khas Papua. Yaitu, jika ada satu marga/petuanan yang anggota keluarganya “terlalu banyak” yang muslim, para tetuanya kemudian menyuruh salah seorang anggota keluarga untuk memeluk Kristen atau Katolik. Begitu pula sebaliknya. Jika terlalu banyak yang Nasrani, sebagian disuruh masuk Islam.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/