30 C
Medan
Wednesday, June 26, 2024

Kurangi Jatah Pulsa, Menanti Beasiswa

Tidak hanya di pengungsian Sinabung, kepedihan juga tampak di sebuah kamar kost berukuran 4X4 di Jalan Ampera 9, Glugur Darat. Anak-anak korban erupsi gunung Sinabung ini harus rela meninggalkan orangtua, nenek, dan adiknya di pengungsian demi meraih cita-cita di Medan.

Puput Julianti Damanik, Medan

Selain harus menahan sedih karena harus melihat keluarga di pengungsian, mereka juga resah. Apakah kuliah dapat dilanjutkan atau tidak. Mereka adalah Rimilka Sari br Sembiring (20) asal Desa Gorki Kecamatan Payung, Lilis Suganda br Sitepu (19) asal Desa Pintumbesi Kecamatan Simpang Empat, dan  Sumiati br Sinulingga (19) asal  Desa Nangbelawan Kecamatan Simpang Empat. Ketiganya berasal dari SMA yang sama, sehingga saat memilih kuliah di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) mereka memutuskan untuk satu kos bersama pula.

DI KOS: Rimilka dan Lilis saat ditemui di kosnya.//puput julianti damanik/sumut pos
DI KOS: Rimilka dan Lilis saat ditemui di kosnya.//puput julianti damanik/sumut pos

Saat ditemui Sumut Pos, Minggu (19/1), mereka tengah manikmati makan siang yang baru saja diambil dari tukang katring. “Kami katring di sini, Kak, sebulan Rp200 ribu. Uang kost Rp300 ribu per bulan. Sebulannya habis Rp500 ribu buat bisa tidur dan makan dengan tenang,” ujar Milka.

Kamar mereka sedikit lebar bila dibandingkan kamar lainnya. Bukan karena spesial atau mahal, tapi karena di dalam ada sebuah dapur kecil yang juga tempat mencuci piring wastafel yang sudah tidak dipergunakan lagi. Dinding kamarnya terbuat dari triplek tipis, tanpa jendela, begitu panas dan tanpa kipas angin. Tapi, mereka tampaknya sudah terbiasa.

“Kipas kami rusak, Kak, maklum sudah tua. Itu juga dikasih sama kakak kos yang sudah tamat dan pindah. Tapi kami mulai terbiasa, meskipun awal-awalnya susah apalagi biasanya di kampung hawanya dingin. Mau minta duit beli kipas baru segan, Kak, mintanya sama orangtua,” ujar Sumi, mahasiswa semester 3 jurusan Bahasa Inggris UMSU ini.

Tak hanya itu, anak dari pasangan Aminah Ginting dan Ganti Sinulingga ini pun mulai mengubah pola hidupnya. Bila dalam sebulan ia dapat 2 atau 3 kali menerima kiriman uang dari kampung, kali ini ia hanya mencukupkan uang yang dikirimkan tiap bulan oleh orangtuanya.

“Biasanya dikirimi Rp 1 juta, buat kos dan makan habis Rp500 ribu, belum lagi beli buku dan kadang pengen beli tas atau jilbab, dikirimi lagi. Tapi sudah 2 bulan terakhir ini, Rp1 juta itu dicukup-cukupi. Pemakaian pulsa juga sudah berkurang, biasanya beli pulsa sekalian buat internetan, ini sudah tidak lagi. Gak ada tas baru, baju baru semua harus irit,” kata Sumi.

Desa asal Sumi, Nangbelawan, memang masih baru beberapa hari ini diperintahkan mengungsi. Namun hasil ladang sudah sejak lama tak bisa di panen. “Kami ladang jeruk sama cabe, tomat itu pun sudah sejak berapa bulan lalu ‘gak bisa dipanen, Kak, karena debu,” ujar anak bungsu dari bersaudara ini.

Senada dengan Sumi, Lilispun ikut bercerita, kadang ia mulai tak semangat belajar bila ingat kondisi orangtuanya. Sehari-hari ibu dan ayah Lilis bekerja sebagai petani, uang kuliah dan kebutuhan sehari-hari hanya berasal dari hasil ladang. Namun, sudah 3 bulan ladang dan bahkan rumahnya sudah rusak akibat debu vulkanik.

“Tiga bulan ini, masih bisalah kak karena masih ada mungkin simpanan mamak sama bapak. Tapi selanjutnya, ini aja uang bulanan sudah dikurangi. Mau minta lagi pun segan mintanya, gak ada penghasilan orang itu di sana. Kadang malas belajar kak, ‘ntah ‘gak bisanya kulanjutkan kuliahku ini, gitu terus mikirnya Kak,” katanya sedih.

Kedua orangtua mereka sebenarnya tidak pernah mengeluh. Namun, mereka tahu kalau kedua orangtuanya dalam kondisi yang susah. “Mamak itu pesannya, kuliahlah yang bagus, masih bisanya kami biayai. Tapi, mana tahu kita ‘ntah pinjamnya dia untuk biaya kuliah itu,” ujarnya.

Tidak hanya di pengungsian Sinabung, kepedihan juga tampak di sebuah kamar kost berukuran 4X4 di Jalan Ampera 9, Glugur Darat. Anak-anak korban erupsi gunung Sinabung ini harus rela meninggalkan orangtua, nenek, dan adiknya di pengungsian demi meraih cita-cita di Medan.

Puput Julianti Damanik, Medan

Selain harus menahan sedih karena harus melihat keluarga di pengungsian, mereka juga resah. Apakah kuliah dapat dilanjutkan atau tidak. Mereka adalah Rimilka Sari br Sembiring (20) asal Desa Gorki Kecamatan Payung, Lilis Suganda br Sitepu (19) asal Desa Pintumbesi Kecamatan Simpang Empat, dan  Sumiati br Sinulingga (19) asal  Desa Nangbelawan Kecamatan Simpang Empat. Ketiganya berasal dari SMA yang sama, sehingga saat memilih kuliah di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) mereka memutuskan untuk satu kos bersama pula.

DI KOS: Rimilka dan Lilis saat ditemui di kosnya.//puput julianti damanik/sumut pos
DI KOS: Rimilka dan Lilis saat ditemui di kosnya.//puput julianti damanik/sumut pos

Saat ditemui Sumut Pos, Minggu (19/1), mereka tengah manikmati makan siang yang baru saja diambil dari tukang katring. “Kami katring di sini, Kak, sebulan Rp200 ribu. Uang kost Rp300 ribu per bulan. Sebulannya habis Rp500 ribu buat bisa tidur dan makan dengan tenang,” ujar Milka.

Kamar mereka sedikit lebar bila dibandingkan kamar lainnya. Bukan karena spesial atau mahal, tapi karena di dalam ada sebuah dapur kecil yang juga tempat mencuci piring wastafel yang sudah tidak dipergunakan lagi. Dinding kamarnya terbuat dari triplek tipis, tanpa jendela, begitu panas dan tanpa kipas angin. Tapi, mereka tampaknya sudah terbiasa.

“Kipas kami rusak, Kak, maklum sudah tua. Itu juga dikasih sama kakak kos yang sudah tamat dan pindah. Tapi kami mulai terbiasa, meskipun awal-awalnya susah apalagi biasanya di kampung hawanya dingin. Mau minta duit beli kipas baru segan, Kak, mintanya sama orangtua,” ujar Sumi, mahasiswa semester 3 jurusan Bahasa Inggris UMSU ini.

Tak hanya itu, anak dari pasangan Aminah Ginting dan Ganti Sinulingga ini pun mulai mengubah pola hidupnya. Bila dalam sebulan ia dapat 2 atau 3 kali menerima kiriman uang dari kampung, kali ini ia hanya mencukupkan uang yang dikirimkan tiap bulan oleh orangtuanya.

“Biasanya dikirimi Rp 1 juta, buat kos dan makan habis Rp500 ribu, belum lagi beli buku dan kadang pengen beli tas atau jilbab, dikirimi lagi. Tapi sudah 2 bulan terakhir ini, Rp1 juta itu dicukup-cukupi. Pemakaian pulsa juga sudah berkurang, biasanya beli pulsa sekalian buat internetan, ini sudah tidak lagi. Gak ada tas baru, baju baru semua harus irit,” kata Sumi.

Desa asal Sumi, Nangbelawan, memang masih baru beberapa hari ini diperintahkan mengungsi. Namun hasil ladang sudah sejak lama tak bisa di panen. “Kami ladang jeruk sama cabe, tomat itu pun sudah sejak berapa bulan lalu ‘gak bisa dipanen, Kak, karena debu,” ujar anak bungsu dari bersaudara ini.

Senada dengan Sumi, Lilispun ikut bercerita, kadang ia mulai tak semangat belajar bila ingat kondisi orangtuanya. Sehari-hari ibu dan ayah Lilis bekerja sebagai petani, uang kuliah dan kebutuhan sehari-hari hanya berasal dari hasil ladang. Namun, sudah 3 bulan ladang dan bahkan rumahnya sudah rusak akibat debu vulkanik.

“Tiga bulan ini, masih bisalah kak karena masih ada mungkin simpanan mamak sama bapak. Tapi selanjutnya, ini aja uang bulanan sudah dikurangi. Mau minta lagi pun segan mintanya, gak ada penghasilan orang itu di sana. Kadang malas belajar kak, ‘ntah ‘gak bisanya kulanjutkan kuliahku ini, gitu terus mikirnya Kak,” katanya sedih.

Kedua orangtua mereka sebenarnya tidak pernah mengeluh. Namun, mereka tahu kalau kedua orangtuanya dalam kondisi yang susah. “Mamak itu pesannya, kuliahlah yang bagus, masih bisanya kami biayai. Tapi, mana tahu kita ‘ntah pinjamnya dia untuk biaya kuliah itu,” ujarnya.

Artikel Terkait

Terpopuler

Artikel Terbaru

/